![]() |
https://www.idntimes.com/ |
Hai... artikel ini sengaja di-rewrite dan repost (blogpost pertama akhir 2017 lalu) begitu
H-1 lebaran kemarin lihat baliho promo film Ghost Writer (ala Indonesia,
hiehie). Oh ya, masih masa tayang di beberapa bioskop juga di Semarang nih. Aku sudah nonton barusan. Film garapan Ernest Prakasa dan Chand Parwez ini, secara letterlijk menggambarkan judulnya: hantu penulis, :)
Sebenarnya berasa dejavu sih,
2 tahun lalu ketika menulis draft artikel ini terpikir kalau awam mendengar kata
Ghost Writer, pasti fokusnya ke kata "Ghost". So, kalau kata itu
menjadi judul novel, yang terpikir kemungkinan besar novel horor atau minimal ada sentuhan misteri, begitupun
bila merupakan judul film. Sementara, Ghost Writer dari artikel yang saya tulis
pada artikel awal ialah sebuah istilah dalam dunia
penulisan. Makna istilah tersebut terejawantah dengan sempurna pada film The
Ghost Writer (ala luar negeri, hiehie) berikut ini!
=============================================================
![]() |
ghostwriter-themovie.com |
Hmm… tenang guys,
tak ada hantu di sini! Lha apaan tuh? mengapa namanya begitu?
******************
Buku pertama yang selesai terbaca
awal tahun ini (2017) adalah novel-nya Robert Harris, The Ghost Writer. Novel lawas
ini di-publish GPU akhir 2008 lalu. Aku mendapatkannya dengan sangat
murah, second-an di sebuah toko buku online, haha.
Ketika hunting rutin, langsung terprovokasi dengan judulnya.
Istilah ini tak asing buatku. Pertama tahu istilah ghost writing dari
suhu editing a.k.a Mr. Bambang Trimansyah. So, sebelum membaca, ada
sedikit gambaran “apa” yang akan diceritakan.
******************
Well, dalam dunia kepenulisan, ghost
writer (GW) atau penulis bayangan punya posisi tersendiri. GW menjadi
semacam penyedia jasa kepenulisan, baik bentuk buku, artikel, teks pidato, dll.
Hmmm... no name adalah pembeda hasil kerja GW dari
penulis-penulis pada umumnya. Yaps, bila penulis buku umumnya kemudian begitu
bangga mencantumkan namanya di halaman sampul buku, nama si GW akan tergantikan
dengan nama klien yang menyewa jasanya tersebut. Buku tersebut menjadi “hak
milik” klien.
Sebagai contoh, bila kalian mencermati atau membaca autobiografi
atau memoar beberapa tokoh nasional, politisi, atau selebriti, bisa jadi tidak
ada yang janggal. Standar. Biasa-biasa saja kan ya? Padahal sudah menjadi
rahasia umum, walaupun bentuknya adalah autobiografi ada yang tak pernah
menulis draft bukunya itu sendiri. Deretan autobiografi di rak-rak toko buku
itu sebagian besar adalah hasil kerja GW. Hal tersebut sesuatu yang wajar, bila
ditilik mendalam. Bisa jadi lebih karena kemampuan menulis dan sempitnya waktu
si klien.
Beberapa negarawan misalnya, bisa jadi memiliki ide atau konsep pemikiran yang bernas, cerdas, dan berlimpah. Namun, beberapa dari mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan dalam bentuk tulisan, pun tak sanggup lagi membagi waktu diantara jubelan aktivitas keseharian. Jadi, perlu digarisbawahi, GW yang “beradab” memiliki komitmen kerja berdasarkan ide atau konsep si klien. Bahkan harus sepenuhnya mengikuti gaya klien, pun seolah “menjelma” menjadi pribadi si klien.
Beberapa negarawan misalnya, bisa jadi memiliki ide atau konsep pemikiran yang bernas, cerdas, dan berlimpah. Namun, beberapa dari mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan dalam bentuk tulisan, pun tak sanggup lagi membagi waktu diantara jubelan aktivitas keseharian. Jadi, perlu digarisbawahi, GW yang “beradab” memiliki komitmen kerja berdasarkan ide atau konsep si klien. Bahkan harus sepenuhnya mengikuti gaya klien, pun seolah “menjelma” menjadi pribadi si klien.
Saat ini, beberapa pihak mulai terbuka terhadap profesi GW. Di
negara maju, USA misalnya, GW ialah profesi yang bergengsi. Banyak yang
mengidamkan berprofesi laiknya Jonathan Favreau (Jon Fav), pemuda klimis
(hahaha) yang berposisi sebagai White House Director of Speechwriting.
GW-nya Presiden Barack Obama. Hampir keseluruhan pidato mulai dari masa
kampanye dulu ialah hasil “olahan”-nya, bahkan konon termasuk tagline Obama
yang sangat melekat dan memikat: “Yes, We Can!”. Dalam perkembangannya memang
ada istilah khusus speech writer untuk GW khusus penulisan
naskah pidato. Pun belakangan muncul pula istilah online ghost writer,
khusus untuk penyedia jasa penulisan dalam bentuk daring (online),
penulis laman bagi suatu perusahaan besar misalnya.
Walau banyak pihak (klien) yang terbantu dengan adanya GW, ada
baiknya si klien tetap mengecek keseluruhan draft sebelum naik cetak ataupun
sekadar publish di media cetak maupun daring. Banyak contoh
tulisan atas nama tokoh (apalagi yang berlatar belakang akademisi) yang justru
meruntuhkan kariernya karena tersandung plagiasi. Setelah ditelisik lebih
dalam, ternyata tulisan itu hasil kerja asistennya. Yepp, ada pula secara tidak
langsung asisten seseorang adalah GW pribadinya. Walau pola kerjanya sama
dengan GW profesional, bisa jadi beda kompensasi yang diterimanya.
*******************************
Gambaran
mengenai pola kerja GW bisa dinikmati pada film The Ghost Writer. Film produksi
2010 ini adalah adaptasi dari novel dengan judul yang sama. Pierce Brosnan
berperan sebagai Adam Lang, Perdana Menteri Inggris yang berkenan dibuatkan
memoar-nya oleh seorang GW profesional dengan perantara agen penerbitan di kota
London. Konflik muncul ketika ada bagian dari sejarah yang ingin “dipelintir”
demi pencitraan. Sementara si GW, punya naluri ada ketidakberesan selama proses
mendapatkan data melalui wawancara mendalam.
Alur ceritanya tenang khas film adaptasi lah (hahaha), tentu itu
pendapat pribadi, guys! Karena masih ku pertahankan idealisme lama: tak
akan menonton film-nya sebelum membaca novel/buku yang diadaptasinya! Menyitir pernyataan Einstein: your imagination is your preview.
Lebih merdeka, lebih suka. See u!