Menyimak
webinar -lebih tepatnya booktalks- yang membedah buku The Art of
Reading dua hari yang lalu memberiku beberapa wawasan baru. Buku ini
dibedah oleh penulisnya langsung: Yogi Theo Rinaldi. Selain ketertarikanku yang
besar mengenai literasi dasar baca dan tulis, rasa penasaran pada diksi “art” dalam judul buku itu pula yang membuatku klik registrasi untuk gabung dalam acara ini. Aku
cukup fokus menyimak paparan Pak Yogi sepanjang lebih kurang 40 menit, mencatat
beberapa hal menarik, dan coba mengikat poin-poin penting versiku via
tulisan ini.
Paparan
diawali dari eksplorasi atas beberapa problem yang menghinggapi daya literasi
masyarakat di Indonesia sampai dengan saat ini. Seperti biasa, data faktual
yang sering dimunculkan untuk mengawali adalah data soal minat baca. Agak
sedikit berbeda, Pak Yogi menambahkan kata “buku” setelah kata “baca”: minat
baca buku! Artinya, bisa jadi aktivitas membaca hal lain, seperti membaca komentar dan
takarir (caption) di media sosial, tekstual minim yang menyertai unggahan
berita, judul-judul click-bait di portal-portal media masih memiliki banyak
peminat. Namun, kalau objek bacanya adalah buku, hmmm... belum tentu 😊 Beberapa bagian dari buku ini terinspirasi, diadaptasi, dan diintegrasikan dari How to Read a Book-nya Adler dan Doren. Secara anatomi tidak terlalu tebal, terdiri atas introduction dan 4 chapters.
Selain
fenomena itu, pilihan kata “art” pada kajian buku ini mengingatkanku kembali
bahwa membaca adalah sebuah keterampilan (skill). Pada tataran akademis,
skill ini sepertinya belum diasah dengan tajam, baru sebatas pada tataran bisa
(baca) belum sampai pada tataran mahir (baca). Oleh karena itu,
banyak yang bisa baca, beberapa yang mau baca, tetapi tidak
sampai pada pemahaman maksimal atas objek baca. Bahkan, belum ada sikap
kritis pascabaca. Nah, “art”-nya baca atau teknik praktik baca seharusnya diajarkan,
dikuasai, dan dipraktikkan sebagai alat atau modal untuk mencapai keterampilan
membaca. Kita perlu membaca buku tentang cara membaca buku untuk sampai pada lancarnya metabolisme pikiran! 😊
Sejauh ini, gap tersebut tidak serta merta diindahkan pemerintah. Hadirnya Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang merujuk pada tiga lingkup, yaitu keluarga
(GLK), sekolah (GLS), dan masyarakat (GLM), yang salah satu programnya
menekankan pada upaya peningkatan minat baca sudah coba diimplementasikan dan
dikawal, walaupun hasilnya (diakui) belum cukup maksimal. Selain soal kebijakan, aktivitas membaca juga butuh sosok untuk dihadirkan. Artinya, kesiapan diri-individu pembaca lah solusi utama dari stimulan baca, yang ditenggarai efektif membawa pergerakan diri ke arah kemauan. Mampu memaknai terlebih dahulu bahwa membaca bukan sekadar aktivitas mata, melainkan juga bagian dari siklus belajar dan berpikir. Hal lain seperti buku yang "bernutrisi", lingkungan baca, pengalaman baca, dan keteladanan orang-orang sekitar adalah amunisi tambahan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar