MINIMALKAN LITERACY SHAMING!
Tribun Jateng, 13 November 2019 |
Keterampilan menulis merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki
guru profesional. Selain sebagai upaya Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan
(PKB), menulis juga merupakan bentuk aktualisasi diri, episentrum peningkatan
kualitas pembelajaran, dan simpul profesionalisme guru dalam berkontribusi
secara konstruktif bagi peningkatan kualitas pendidikan secara luas. Dalam
menjalankan tugas profesi pun, aktivitas menulis selalu dilakukan guru.
Aktivitas tersebut dimulai dari mempersiapkan silabus, menyusun program tahunan
dan semester, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, saat pelaksanaan
proses pembelajaran, serta dalam proses evaluasi.
Namun, problem mulai muncul ketika guru dituntut untuk menyusun karya
tulis ilmiah (KTI), dalam bentuk apapun. Contohnya penyusunan artikel ilmiah
populer, artikel konseptual, esai, artikel hasil penelitian, atau jenis tulisan
ilmiah lain. Penyusunan karya tulis ilmiah bagi guru berkaitan dengan
pengembangan profesi, aktualisasi diri, dan mendukung kegiatan literasi
bermakna. Belum cakapnya guru dalam penyusunan karya ilmiah tergambar pada data
Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) yang menyatakan
30,4% guru terhambat kenaikan pangkatnya karena kendala penyusunan dan
publikasi karya ilmiah (Sulistiyo, 2014).
Sebenarnya, para guru menyadari benar pentingnya aktivitas menulis. Namun, presentase guru yang telah memproduk
tulisan ilmiah, khususnya bentuk artikel ilmiah populer masih sangat minim,
itupun belum dilakukan secara kontinu. Selain itu, sebenarnya para guru juga memahami
teori-teori menulis dengan baik, mengetahui tahapan-tahapan menulis, serta
mengerti arti penting aktivitas menulis bagi kebutuhan profesi guru. Namun, keengganan untuk menulis artikel
ilmiah populer tetap saja besar.
Literacy
Shaming
Keengganan tersebut mengarah kepada perilaku literacy-shaming, yaitu merasa tidak mampu menulis meskipun sudah
menguasai teori menulis dan memahami berbagai bentuk tulisan (Dewayani dan
Retnaningdyah, 2017). Perilaku literacy-shaming
akan membawa akibat buruk apabila tidak ada upaya masif untuk meminimalisasi.
Salah satu dampaknya, para guru seolah melegitimasi bahwa tugas
profesinya hanya sekadar menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam
proses belajar mengajar saja. Kemudian, para guru cenderung mengabaikan makna
dan tugas guru yang sesungguhnya yaitu memberi keteladanan, termasuk dalam hal
berliterasi. Tiga kendala utama yang menyebabkan perilaku literacy-shaming, yaitu kendala kesulitan menemukan ide, kesulitan
mengeksekusi ide (no action), dan
kesulitan mendapatkan media publikasi.
Pertama, kendala kesulitan ide sering dialami para
guru utamanya ketika hendak memulai menulis. Sebagian besar guru merasa blank, tidak tahu apa yang akan ditulis,
ide dan imajinasi tiba-tiba “mampet”. Setelah berlama-lama tanpa arah tujuan tulisan,
para guru biasanya kemudian memutuskan berhenti menulis. Produk tulisan ilmiah
tersebut akhirnya hanya sebatas angan-angan saja.
Kedua, kendala sulitnya mengeksekusi ide. Ketika ide
atau gagasan sudah muncul, para guru tidak percaya diri untuk memulai
menuliskan ide tersebut. Selain referensi yang dangkal, sering kali para guru
mengalami writer block, kondisi
dimana aktivitas menulis berhenti karena tidak siap untuk menuliskan ide yang
sudah ditemukan.
Ketiga, kendala berkenaan dengan media publikasi.
Beberapa guru pernah mengirimkan artikel populer ke media massa, tetapi tidak
dimuat atau dinyatakan tidak layak muat. Setelah beberapa kali mencoba dan
gagal, para guru cenderung putus asa. Bila menilik jumlah kolom atau halaman
yang disediakan bagi penulis lepas, memang seleksi pemuatan artikel populer di
media massa cetak sangat ketat dengan jumlah kompetitor yang tidak sedikit
pula. Keterbatasan media publikasi tersebut kemudian menjadi kendala besar yang
memengaruhi semangat para guru untuk menulis artikel populer secara kontinu.
Upaya Meminimalisasi
Kendala-kendala tersebut belum teratasi dengan baik hingga kini. Hal tersebut diperparah pula dengan
manajemen waktu kinerja yang belum dikelola dengan baik oleh para guru.
Sebagian besar dari mereka belum menyediakan waktu khusus untuk menulis. Selain
itu, selama ini partisipasi aktif dalam mengikuti pelatihan menulis masih
minim, walaupun berbagai aktivitas pelatihan dan pendampingan kepenulisan
sering diadakan.
Untuk meminimalisasi literacy-shaming,
beberapa alternatif solusi perlu diterapkan. Alternatif solusi tersebut antara
lain mengasah daya stimulasi ide, pemantapan materi artikel ilmiah populer, dan
menjalankan strategi publikasi artikel populer melalui media daring (online). Pendampingan stimulasi ide
perlu dilakukan karena sebenarnya ada berlimpah ide yang bisa dituliskan oleh
guru, mulai dari berbagi (sharing)
keilmuan, hingga sikap kritis atas kebijakan-kebijakan pendidikan.
Adapun pemantapan materi penulisan artikel populer perlu diterapkan
kembali untuk me-refresh pola
penulisan artikel populer yang memiliki karakteristik berbeda dengan bentuk
tulisan ilmiah lainnya. Terakhir, strategi publikasi melalui media daring perlu
dikuasai oleh para guru mengingat sangat terbukanya peluang publikasi melalui
media tersebut. Media daring membuka ruang tanpa batas terhadap berbagai
gagasan atau ide yang ingin disampaikan. Apalagi pada era digital saat ini,
akses terhadap media-media daring sangat cepat dan mudah.
Telah dipublikasikan di Harian Tribun Jateng, 13 November 2019
Komentar
Posting Komentar