Minggu, 07 Juli 2019

STOP BOOK-SHAMING!



Hingga kini buku masih menjadi salah satu cara termudah untuk mendapatkan pengetahuan. Kedekatan dengan buku ditengarai makin memperlebar jarak antara kaum literat dan kaum aliterat. UNESCO mengklasifikasi kategori literat ialah mereka yang telah menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari budaya hidupnya. Berkebalikan dengan kategori aliterat, yaitu mereka yang bisa membaca tetapi memilih untuk tidak menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari kehidupannya.
Dahlan (2017:5) menyebut perjumpaan dengan buku bisa teramat eksistensial dan dalam, serupa “perjodohan” pengetahuan dengan pemburu kebenaran. Dalam arung kecintaan terhadap buku, pembaca dihadapkan pada berbagai pilihan genre, sebutlah filsafat, sastra, politik, ekonomi, agama, dan lain-lain.  Pilihan pembaca terhadap sebuah buku, bisa jadi, merupakan cerminan dirinya. Pun secara sadar atau tidak, pilihan tersebut akan membangun karakternya.
Buku yang Baik
Kaum pecinta buku (bibliophile) biasanya “menghajar” semua jenis bacaan. Mereka cenderung tak memilah-milah jenis dan bentuk buku, baik komik, buku pengetahuan, novel, bookmagz, dan lainnya. Namun, beberapa diantaranya tetap menyeleksi buku-buku yang baik agar sejalan dengan pengetahuan yang hendak diserap. Lalu, apa standar atau indikator sebuah buku dikategorikan sebagai buku yang baik?
Apakah buku yang baik ialah buku yang “berstempel” best seller?, yang merujuk pada tema populer?, yang dihasilkan oleh penulis terkenal?, yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi?, atau?
Berbagai argumen bisa dimunculkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai akhirnya, pilihan akan bacaan bergantung pada selera tiap pembaca. Dalam akurasi pengukuran selera, faktor subjektivitas tentu akan mendominasi. Selera bisa timbul oleh perasaan suka atau cinta. Selera juga bisa didasari oleh kebutuhan atau sekadar keinginan. Wajarlah, bila tiap pembaca memiliki selera yang tidak serupa. Tidak selalu sama.
Tidak jarang ditemui dalam keseharian, seseorang yang memberi penilaian atas pilihan bacaan yang sedang dibaca oleh orang-orang di sekitarnya. Penilaian tersebut terwujud dalam beragam komentar. Istilah buku “menyek-menyek”, “picisan”, “enteng”, “ora mutu” kemudian disematkan, sehingga pilihan bacaan seseorang seolah remeh atau terkesan “receh”.

Perilaku Book-Shaming
Perilaku book-shaming membentuk suatu kondisi yang menjadikan seorang pembaca merasa malu terhadap pilihan bacaan mereka. Book-shaming merampas “kemerdekaan” selera baca seseorang.  Berbagai efek buruk sangat mungkin muncul pada korban book-shaming, misalnya 1) berkurangnya rasa percaya diri atas pilihan bacaan sendiri, yang berimbas pada rasa terkekang oleh selera baca orang lain, 2) takut merekomendasikan buku yang dibaca, dan 3) yang paling fatal dapat menyurutkan minat baca.  
Para pelaku book-shaming biasanya telah “mengkotakkan” selera baca mereka sendiri. Kemudian, mereka mengukur selera bacaan orang lain dengan selera bacaannya. Mereka berpikir bahwa buku-buku pilihan orang lain tersebut tidak berfaedah, padahal yang paling mengetahui dan merasakan faedah yang muncul pascaaktivitas membaca ialah pembaca itu sendiri.
Praktik book-shaming harus segera dihentikan. Mengenai selera baca atau pilihan terhadap suatu bacaan, kita serahkan saja kepada setiap pembaca. Mereka sendiri yang berhak menyeleksi asupan bacaan yang ingin diserap. Katakanlah seleksi berdasar tingkat kesukaran bacaan, pembaca tentu paham, bila dirasa tingkat kesukaran terlalu tinggi baginya maka esensi bacaan tidak akan tercerna. Pun bila dirasa tingkat kesukaran terlalu rendah baginya maka kebosanan akan menyergap dengan segera.
Atau seleksi berdasarkan jenis buku, sebagian besar pelaku book-shaming minim apresiasi terhadap novel atau komik humor, misalnya. Padahal, pencinta novel mendapat banyak inspirasi baik dari karakter dan perilaku tokoh-tokoh rekaan dalam novel. Mengenai komik humor, pilihan pada buku-buku hiburan yang kadang disebut “enteng”, justru memang kesengajaan pembaca untuk sejenak me-refresh pikiran. Nah, beda selera beda guna.
  Bibliophile, apalagi yang bukan, perlu mengetahui garis batas yang tegas antara perilaku book-shaming dan perilaku kritis terhadap produk buku sebagai sebuah terbitan. Perilaku book-shaming lebih mengarah pada “merendahkan” pilihan atau selera bacaan seseorang. Bila akan memberikan acuan bacaan, akan lebih baik melalui saran atau dalam bentuk pertimbangan. Saran atau pertimbangan akan mengarah pada upaya menuntun bukan menuntut. Di tengah rendahnya minat baca masyarakat, kemauan untuk membudayakan aktivitas membaca sudah seharusnya disyukuri dan dirayakan bersama, bukan sebaliknya.


*artikel dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 5 Juli 2019

25 komentar:

  1. Baru ini lho mbak aku tahu book shaming. Selama ini cm tahu body shaming yang bilang gendut lah, item lah. Ternyata merendahkan buku pilihan orang lain itu salah ya. Kalo aku udah emak2 gini masih suka aja baca komik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan salah mutlak sih mb, toh itu pilihan bersikap. Namun, pilihan sikap yang sebaiknya dihindari atau diminimalisasi. Kira-kira begitu :)

      Hapus
  2. baru tahu juga ada istilah book shaming juga ya, meski memang ada yang seperti itu. btw, selamat ya, tulisannya keren dan masuk koran, sip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks, mb Wuri. Ada juga Literacy-Shaming lho, mb :)

      Hapus
  3. Aku selalu bilang, pilihan bacaanku adalah yg enteng2 saja..apakah itu termasuk book shaming?
    Mskpn aku tak bermaksud merendahkan buku2 yg kubaca karena aku mencintai buku2 yg kubaca dan seenteng apapun itu aku mendapatkan sesuatu yg memperkaya diriku dari apa yg kubaca :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha, kalau terhadap diri sendiri bukan book shaming mb :)
      "enteng" menurut mb Mechta belum tentu "enteng" menurutku lho, so subjektif sih.
      Apapun pilihannya, merdekakan saja budaya baca.

      Hapus
  4. Haaa, sering banget nih kayak gini. Ada yang nyela bahan bacaan kita. "ih, bacaannya kayak begini? receh banget sih", atau "ciee sok sokan baca buku berat". waduuuu.. padahal sesama pembaca buku juga loh

    BalasHapus
  5. Aku suka banyak buku. Tapi tetep ada prioritss baca. Petualangan dan detektif. Yang terlalu berat,,baca efektif aja biar ga ngebosenin

    BalasHapus
  6. Kalau aku pribadi, bodo amat sama bacaan orang, karena aku sendiri merasa seleraku nggak sama dengan orang lain.
    Tapi emang kadang kita bisa melihat kepribadian orang dari bahan bacaannya. Ini bukan termasuk book shaming kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan dong :)
      Menurutku "melihat" tanpa mencela tuh aman, mb... hehe

      Hapus
  7. Sejujurnya dulu mungkin aku juga pelaku book shaming mbak. Memandang rendah yg baca komik. Trus aku sadar, baca itu kan selera. Terserah lah ya orang mau baca apa. Akhirnya aku justru support orang2 buat baca dgn blg "baca aja sesuai kesukaan kalian". Drpd ngga punya kebiasaan membaca sama sekali malah sedih aku tuuu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeay... keren mb Lulu :)
      Yups mb... reader supporting reader ya!

      Hapus
  8. Baru tau ada istilah book shaming. Mgkn karena belum pernah ketemu orang2 yang suka mengomentari selera buku orang lain ya. Dan semoga jangan. Karena meningkatkan minat baca aja udah PR sendiri. Giliran dah suka nanti dikomentarin ga enak kan bikin enek juga. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaps mb, semoga tidak pernah bertemu dengan pelaku dan tidak jadi pelaku ya... #love

      Hapus
  9. Haha, aku pilih menulis genre komedi dan pernah ada yang agak book shaming gitu, katanya kurang bermutu, setidaknya aku berkarya minimal manfaatnya menghibur pembaca hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuhhh... maju terus pantang mundur, mb Dew :)
      Ditunggu karya-karya berikutnya yaaa...

      Hapus
  10. Baru tau lho mba ada book shaming gitu. Selama ini aku baca ya baca aja sih, nggak pernah merhatiin orang lain baca apa hihiii.. Hanya saja aku lebih suka baca novel, yang bisa bikin terhanyut dan terharu-biru sekaligus penasaran. Kalau baca yang non fiksi sering nggak mudengan je aku. Ini bukan book shaming kan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukaaan mb Niek, aman itu :)
      Berarti itu emang pilihan bin selera bacaan mb Uniek... #supporting reader!

      Hapus
  11. Aku sukanya baca komik dan novel sih, bodo amat di cap kekanakan krena suka komik. Ya gmn sukanya emgvdr kecil kan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yups... emang ada yang menge-cap demikian, mb? :)

      Hapus
  12. Huwaaa selamat mbaaa dimuat soal book shaming ya. Nek aku ya masing2 orang punya kegemaran sendiri soal baca. Saling menghormati aja ya seharusnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks, mb Nyi.
      Yups, supporting reader ya!

      Hapus
    2. Baru tau ada 'book-shaming' yang nggak banget.

      Semoga jadi makin minimal orang-orang yang melakukan hal yg nggak banget spt 'book-shaming' ini.

      Aamiin

      Hapus
  13. Wah kalo aku sih gak peduli pilihan bacaan orang lain. Namanya juga bebas hidup di negara demokrasi. Urusan genre buku ya pilihan masing-masing orang. Aku termasuk pembaca segala genre, meski tetap fantasy kurang suka dan thriller jadi favorit

    BalasHapus
  14. Aku justru kepo kalau ada orang yang baca buku apapun itu. Makanya aku libas semua jenis buku, sekalipun memang aku punya genre tertentu yang paling aku sukai. Seperti, buku motivasi, aku sukaaaa banget.

    BalasHapus

KULIAH PAKAR ADOBSI