MENYIAPKAN GENERASI MULTILINGUAL
Dalam era revolusi digital kini,
merayakan aksara mestinya bukan lagi melalui aktivitas yang prosedural dan
kosmetikal belaka. Gaung “mendadak literasi” di berbagai bidang diharapkan
tidak berhenti pada pelabelan saja. Literasi bukan sekadar tahu aksara, hakikat
literasi fokus pada kemampuan berpikir kritis-kreatif tentang sesuatu yang
dilandasi atau disangga oleh kuatnya budaya
baca (Saryono 2019).
Kini
berbagai pemikiran kritis-kreatif sangat mungkin dikomunikasikan tanpa batas
atau tak bersekat antarbangsa. Medium bahasa dapat menjadi penghela. Dalam
banyak hal, antara pandangan, budaya, dan pengetahuan global sering
bersinggungan, pun berdampingan. Oleh karena itu, merengkuh keberagaman bahasa
(multilingual) dalam praktik keberaksaraan sangat diperlukan sebagai landasan
pemberdayaan individu dan pembangunan berkelanjutan.
Literasi
dan Multilingual. Kedua hal tersebut menjadi fokus perayaan Hari Aksara
Internasional ke-54 tahun ini. Kegiatan internasional yang diperingati setiap
tanggal 8 September ini, berada di bawah naungan UNESCO sebagai bentuk komitmen
mengawasi dan menjaga tingkat keberaksaraan warga dunia. Bila menilik
perkembangan kesadaran berliterasi di Indonesia sendiri, kemajuan kian terasa,
akan tetapi tantangan-tantangan juga terus mendera. Diantaranya, akses layanan
pendidikan nonformal bagi warga niraksara, kerentanan aktivitas berliterasi
yang simultan dengan kelisanan sekunder, dan bahkan banyak ditemui kasus lupa
aksara saking lamanya vakum dari aktivitas beraksara.
Melek
aksara merupakan bagian penting dari pengajaran dan pendidikan bagi semua (Literacy for All). Hal tersebut bukan
imperatif nasional semata, melainkan imperatif global. Kehidupan tanpa
penguasaan aksara di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
informatika, ibarat air dan minyak yang tidak akan bertemu walaupun dituang
dalam wadah yang sama. Literacy for All
memungkinkan semua warga memperoleh akses informasi apapun, yang bila diolah dan
dikembangkan dengan baik, akan berkontribusi besar pada peningkatan kualitas
hidupnya.
Level
Budaya Baca
Pemerintah
sendiri bukan tanpa upaya untuk terus berkomitmen memberantas buta aksara dan
meningkatkan kesadaran berliterasi masyarakat. Semangat merawat Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) di bawah sektor pendidikan nonformal terus dilakukan.
Pendidikan keaksaraan dasar dan lanjutan menjadi salah satu program prioritas.
Selain
itu, Gerakan Literasi Nasional (GLN) pun telah dicanangkan sejak 2015 silam.
Hanya saja, dalam kondisi dengan durasi perubahan yang amat cepat, gerakan
tersebut masih sebatas pada gerakan “gemar” baca. Penetrasi belum sampai pada
level “budaya” baca. Namun, upaya tersebut telah mengarah, berada pada trek
yang benar. Efek positif GLN diharapkan segera bermuara dan bermakna karena
berbagai bidang kehidupan mulai serba berporos pada pengetahuan dan
kreativitas. Dalam bidang ekonomi, misalnya, muncul ekonomi kreatif, industri
kreatif, wirausaha kreatif, dan sebagainya.
Generasi
Multilingual
Bertumpu
pada kondisi tersebut, simpulan awal menunjukkan pengetahuan/intelektual dan
kreatif/kultural merupakan aset atau modal yang penting bagi generasi masa kini
dan masa depan. Penguasaan literasi memungkinkan generasi berikutnya mampu
mengembangkan tradisi pemikiran yang cermat dan mulai meninggalkan kebiasaan
berpikir naif dan mistis.
Fase
penyiapan generasi dengan penguasaan (berbagai taksonomi) literasi yang kokoh, perlu ditopang kecakapan beraksara dalam
beragam bahasa (multilingual). Rigiditas pandangan terhadap multilingualisme
perlu dienyahkan secara perlahan. Perlu diingat, kecerdasan berbahasa merupakan
salah satu kecerdasan majemuk (multiple
intelligence) yang perlu terus diasah.
Budaya
beraksara bagi generasi multilingual dapat dimulai (stimulasi) dan dibentuk
dari rumah atau lingkungan terdekat, melalui Budaya Literasi Keluarga (family literacy first). Setyo
Handryastuti, neurolog UI, menyebutkan usia 8-10 tahun merupakan periode emas
penyiapan kefasihan berkomunikasi multilingual. Periode tersebut diawali dengan
kesiapan mematangkan artikulasi, memperkaya kosakata, dan memantapkan penyusunan
kalimat tunggal sejak usia 3 tahun. Buku-buku, video, dan bahan ajar lain yang
fokus pada bahasa sasaran yang sedang dipelajari, dapat menjadi media
pembelajaran.
Tipikal
era digital dengan laju informasi global yang begitu deras, makin menguatkan
perlunya kesiapan penguasaan multilingual bagi generasi mendatang. Selain untuk
mendukung kecakapan abad 21, keberaksaraan multilingual juga dapat menjadi
senjata utama melawan berita-berita bohong (hoaks) yang (akan) terus mengempur
mereka. Generasi multilingual diharapkan menjadi agen literasi dan teladan bagi
masyarakat literat. Today a reader,
tomorrow a leader!
*Dimuat di Harian Suara Merdeka, 12 September 2019
Komentar
Posting Komentar