POJOK BACA KELUARGA SEBAGAI PENDUKUNG HABITUS LITERASI
Sumber Foto: http://gambarilus.blogspot.com/2018/11/90-gambar-ilustrasi-orang-sedang-membaca.html |
-Children
are made readers on the laps of their parents (Emilie Buchwald)-
“Mam, ‘ranum’ itu apa sih?” Begitu pertanyaan
Kinash, putri saya, ketika baru saja selesai mendengar kalimat “Si monyet dengan
tidak sabar menyambar buah pisang yang ranum itu”. Di bagian yang lain, ia
kembali bertanya. “Mam, ‘menyemut’ itu yang bagaimana sih?” ketika saya
membacakan cerita dan sampai pada kalimat “Antrean mulai menyemut saat Ibu
Rimba akan membagi makanan”.
Bila pertanyaan dari Kinash terlontar, secara
otomatis aktivitas membacakan buku, saya hentikan sebentar. Si sulung
berusia 6 tahun ini kerap meminta jeda dengan cara “mencegat”. Kemudian, ia mengajukan
pertanyaan bila mengalami kesulitan mencerna makna suatu kata. Dengan senang
hati, saya akan menjawab pertanyaannya terlebih dahulu, dengan memberi
pemahaman dan penggambaran yang sedekat mungkin dengannya. Bahkan, bila diperlukan, biasanya saya
mempraktikkan langsung demi menuntaskan rasa penasarannya. Saya perlu
memastikan ia puas dengan jawaban yang diberikan sebelum aktivitas membaca
dilanjutkan.
Begitulah aktivitas kami saat kegiatan membaca
bersama (shared reading), yang kami
jadwalkan setiap sore, lepas salat Ashar. Aktivitas tersebut kami lakukan di
ruang baca mini, sebelah tangga utama, yang kami ‘sulap’ menjadi pojok baca
keluarga. Pembiasaan terhadap aktivitas membaca secara rutin merupakan upaya
kami sekeluarga untuk menciptakan budaya literasi keluarga. Iya, penciptaan itu
kami awali dari rumah! Tentu perlu tahapan, dimulai dari stimulus terhadap ‘minat
baca’, menjurus ke tahap ‘gemar baca’, dan akhirnya tercipta ‘budaya baca’.
***********
Indeks Aktivitas Literasi Membaca Sumber Foto: http://repositori.kemdikbud.go.id/13034/1/Puslitjakdikbud_Ringkasan%20Indeks%20Alibaca%2034%20Provinsi |
Beberapa waktu yang lalu, Pusat Penelitian
Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud merilis indeks
Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di 34 Provinsi. Hasilnya, Indonesia termasuk kategori berindeks rendah
dengan capaian total 37,32%, dengan rincian 9 provinsi berindeks sedang, 24
provinsi berindeks rendah, dan 1 provinsi berindeks sangat rendah (Puslitjakdikbud,
2019).
Rata-rata capaian total didapat dari
indikator-indikator berikut 1) Dimensi Kecakapan (proficiency) yaitu syarat awal seseorang dapat mengakses bahan
literasi, dengan hasil riset sebesar 75,92% (kategori tinggi); 2) Dimensi Akses
(acces) yaitu sumber daya dukung di mana
masyarakat mendapatkan bahan literasi, dengan hasil riset sebesar 23,09%
(kategori rendah); 3) Dimensi Alternatif (alternative)
yaitu beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan untuk mengakses
bahan literasi, dengan hasil riset sebesar 40,49% (kategori sedang); dan 4)
Dimensi Budaya (culture) yaitu
kebiasaan untuk membentuk habitus literasi, dengan hasil riset sebesar 28,50%
(kategori rendah).
Bila menilik hasil riset tersebut, salah satu
yang harus segera diperbaiki ialah dimensi akses. Peningkatan dimensi
akses akan berbanding lurus dengan peningkatan dimensi budaya. Selama
ini, akses masyarakat untuk mendapatkan bahan literasi lebih banyak bersumber
dari perpustakaan sekolah, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan umum, dengan pengelolaan secara
otonom dan terbatas. Sejauh ini, perpustakaan sekolah hanya diakses dan
diperuntukkan bagi warga sekolah, bahkan pemangku kepentingan (stake holder) pun belum terangkul. Perpustakaan komunitas secara kuantitas masih belum memadai. Adapun akses masyarakat ke perpustakaan umum, masih menyisakan berbagai kendala
pula: jarak tempuh (karena biasanya terletak di pusat kota), jam pelayanan,
atau ketersediaan koleksi bacaan.
Menghadirkan Pojok Baca Keluarga Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi |
Oleh karena itu, perlu ada inisiatif dari pengambil kebijakan dan masyarakat untuk berintegrasi menyosialisasikan dan mewujudkan perpustakaan keluarga. Inisiasi awal bisa berupa pojok baca keluarga. Selain terjangkau seluruh anggota keluarga, kehadiran pojok baca sebagai perpustakaan mini keluarga juga merupakan upaya pendukung habitus literasi keluarga. Dalam mewujudkannya, setiap keluarga tidak harus menyediakan ruangan khusus. Beberapa yang perlu dipersiapkan ialah 1) Menyediakan rak buku di sudut ruangan, 2) Pastikan sirkulasi udara dan tata cahaya baik, serta jauh dari kebisingan suara, 3) Ajak anak untuk turut mendesain dan menata, khususnya memperhatikan keterjangkauan anak terhadap buku-bukunya (Majalah Pendidikan Keluarga, 2017).
Pengejawantahan pojok baca keluarga diharapkan
tidak sekadar berhenti pada sebatas wacana. Dalam upaya implementasinya, peran
seluruh anggota keluarga amat diperlukan. Aktivitas atau program kegiatan perlu
diagendakan secara kontinu, agar manfaat pojok baca keluarga benar-benar terasa.
Langkah-langkah yang perlu dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menyusun
program aktivitas membaca bersama dengan anggota keluarga. Program ini dapat menyesuaikan
dengan kondisi tiap keluarga. Contohnya, mengagendakan membaca lantang (read-aloud) bagi anak. Membaca lantang jangan diasumsikan sekadar
membacakan buku kepada anak dengan suara nyaring atau keras. Aktivitas membaca
lantang perlu menghadirkan ekspresi total, sesuai kadar cerita yang dibacakan.
Ini akan menguatkan imajinasi anak mengenai tokoh, karakter, dan konten cerita.
Selain, tentu lebih menarik perhatian dan mengembirakan.
Akses Buku Augmented Reality (AR) Sumber Foto: Dokumentasi Meina Febriani |
Bagi generasi kini,
aktivitas membaca lantang bisa diinovasikan dengan penggunaan buku elektronik (e-book). Walau tetap disarankan menggunakan
buku cetak, untuk meneguhkan consept of
print pada anak. Selain itu, generasi Z kini mendapat ruang tumbuh bagi
imajinasinya dengan kemunculan buku-buku anak yang terpadu dengan teknologi Augmented Reality (AR). Karakter dalam
buku dapat hidup dalam rupa tiga dimensi, usai dipindai menggunakan gawai yang
sudah terhubung dengan aplikasi (Silalahi, 2019).
Inovasi lain yang
bisa dihadirkan ialah mengeksplorasi tahap pasca membaca lantang, dengan membuat
video ketika anak menceritakan kembali isi cerita. Konten dan tampilan video
yang telah teredit selanjutnya dapat diteruskan untuk diunggah dalam youtube channel keluarga, sehingga
aktivitas ini mempunyai luaran nyata.
Kedua, menunjukkan
keteladanan orang tua dalam berliterasi. Dalam pembiasaan membaca, anak tidak
perlu dipaksa membaca karena pada dasarnya anak adalah peniru ulung. Mereka
akan mengikuti aktivitas yang sering mereka lihat. Keteladanan lebih mempan
daripada sekadar perintah belaka.
Ketiga, mengajak
anak berkunjung ke perpustakaan umum, pameran buku, dan toko buku secara
kontinu. Hal tersebut bertujuan untuk mendekatkan anak dengan lingkungan baca.
Makin dekat, makin suka!
Bahan Bacaan Sesuai Tahap Perkembangan Membaca Anak
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
|
Keempat,
menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan tahapan perkembangan membaca anak,
baik berdasar aspek fisik maupun aspek konten. Aspek fisik bacaan meliputi kombinasi warna, jenis huruf dan angka,
penyesuaian jumlah kata atau kalimat yang muncul secara berjenjang,
gambar-gambar, serta dibuat dari jenis bahan yang nyaman dibaca atau dipegang. Aspek konten meliputi alur cerita yang
ringkas dan memenuhi rasa ingin tahu, bertema dekat dengan keseharian anak (tentang
hobi, binatang piaraan, benda-benda kesukaan, dsb), serta penokohan yang
berkarakter dan inspiratif. Lebih lanjut, Hasim (2016) menyebut gairah membaca
perlu didukung oleh asupan buku yang “bergizi”, yaitu buku yang tertata bahasa
dan tampilannya, jernih alur kontennya, dan menggugah pikiran untuk memahami
maknanya.
Selain untuk menumbuhkan budaya baca,
pengembangan budaya literasi keluarga juga akan membangun hubungan personal
yang apik antaranggota keluarga. Inisiatif pengadaan pojok baca keluarga dapat
menjadi penyangga awal tradisi baca keluarga. A home without books is like a body without a soul (Cicero). Ayo
membaca!
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
Referensi:
Hasim,
Hernowo. 2016. “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna. Jakarta: Kaifa-Mizan Publishing.
Majalah Pendidikan Keluarga Edisi 6
Tahun Ke-2 Agustus 2017. Jakarta: Dirjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat.
Puslitjakdikbud. 2019. Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34
Provinsi-Ringkasan. Jakarta: Balitbang Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Silalahi,
Uli. 2019. Buku Augmented Reality:
Terobosan Baru di Book Bad Wolf 2019. https://travel.kompas.com/read/2019/02/20/121700427/buku-augmented-reality-terobosan-baru-di-book-bad-wolf-2019,
diakses 29 September 2019.
Masukan yang baik untuk menumbuhkan literasi keluarga!
BalasHapusTerima kasih, yah!
HapusBudaya literasi sering diabaikan oleh kita sebagai orangtua, tulisan ini menyadarkan kita untuk menumbuhkan literasi dari titik awal keluarga
BalasHapusIya, thanks :)
HapusSangat menginspirasi untuk mengembangkan budaya literasi melalui keluarga. Hal itu memang sangat berpengaruh kepada pemahaman dan minat baca pada anak. Contohnya masa kecil saya dahulu tidak mengenal jenis-jenis buku dan tidak tahu judul-judul buku, sehingga sangat membuat saya terkendala dalam proses pembelajaran di sekolah. Selain itu, sampai sekarang pun kadang-kadang saya hanya membaca ketika ada penugasan dan hal-hal lain yang mengharuskan saya untuk membaca, bukan karena kesadaran pentingnya membaca. Inovasi ini sangat penting untuk diterapkan sehingga anak akan terbiasa membaca buku 😇 salam literasi.
BalasHapusWah, terima kasih sudah berkenan berbagi pengalaman ya :)
HapusWah, saya sangat setuju dengan ide ini. Bagi saya yg waktu kecil tidak dibiasakan membaca, memang sangat susah memunculkan minat baca itu. Menurut saya pojok baca dan shared reading seperti yg dicontohkan penulis sangat bisa membangun habitus membaca di keluarga saya nanti. Terima kasih inspirasinya :) Salam literasi.
BalasHapusTerima kasih berkenan berbagi pengalaman masa kecil. Yaps, semoga nantinya bisa menerapkan hal yang sama ya.
HapusWah bagus sekali idenya. Sebagai anak yg waktu kecil tidak dibiasakan membaca, saya akui memulai minat membaca di waktu dewasa sangat susah. Penyediaan pojok baca dan kegiatan shared reading yg dicontohkan penulis ini menurut saya cocok utk diterapkan di rumah. Sangat inspiratif. Semoga suatu saat saya pun bisa melakukan hal serupa :)
BalasHapusSip! Terima kasih, mb Ida.
HapusWah, luar biasa. Kegiatan literasi dini ini sangat menginspirasi, apalagi di lingkungan keluarga. Gerakan literasi memang perlu ditingkatkan mengingat pentingnya literasi membaca. Untuk penulis idenya sangat inspiratif, semoga saya dapat melakukan hal yang sama.😇
BalasHapusAamiin, ditunggu cerita/pengalamannya setelah menerapkan nantinya ya :)
HapusWah kreatif sekali idenya. Sangat mendukung adanya literasi di dalam keluarga. Saya terinspirasi. Semoga kelak saya bisa melakukan hal tersebut.
BalasHapusTerima kasih, mb. Semoga kelak sapat terwujud ya :)
HapusBelajar sedini mungkin, semoga bisa menerapkan di keluargaku nanti :))
BalasHapusAamiin. Sukses, Arumi!
HapusMenarik sekali, Ibuk....
BalasHapusSaya tercengang dengan kalimat, "Anak tidak perlu dipaksa untuk berliterasi, karena pada dasarnya anak adalah 'peniru yang ulung'".
Dari sini saya agak tersindir hehe....
Berarti dapat disimpulkan juga jika ingin menyukseskan program GLS harus dimulai dari peran orang tua di sekolah, yaitu "Guru".
Jika para guru gemar berliterasi, tentu anak-anak atau peserta didik akan menirukan pola kebiasaan orang tuanya di sekolah, alias si Guru, dalam hal ini adalah berliterasi.
Terima kasih, Ibuk....
Semoga saya dapat merealisasikan ini, minimal dalam diriku dahulu.
Hehe...😁
Sip, mas Eki. Semoga mampu menjadi teladan yang baik ya!
HapusSangat inspiratif! Hanya saja, saya agak terusik oleh istilah pojok baca. Pemikiran saya tentang pojok adalah sesuatu yang terlupakan dan ditinggalkan. Oleh sebab itu, mungkin perlu istilah lain yang menggantikan pojok, karena saya tidak ingin baca menjadi sesuatu yang terlupakan dan ditinggalkan. Terima kasih, Bu! Semoga saya dapat menerapkan ini di keluarga kelak.
BalasHapusTerima kasih atas saran, mas Yoga.
HapusAamiin :)