PENGIDAP XENOMANIA BAHASA
Perkembangan zaman turut memberi pengaruh
pada perkembangan bahasa Indonesia, terutama dalam penggunaannya sebagai media
berkomunikasi. Dalam aktivitas berbahasa kini, bisa jadi sebagian besar
pengguna bahasa Indonesia akan kebingungan memaknai, bila disodori kosakata:
lokapasar, mancakrida, calir, atau takarir. Padahal, semua kosakata tersebut
terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V (terbaru).
Bandingkan bila kosakata yang disodorkan ialah istilah asalnya: marketplace, outbound, lotion, atau caption. Lebih familier bukan?
Masyarakat
memang pengguna bahasa yang merdeka. Celakanya, sebagian besar cenderung
menyerap dengan “suka cita”. Mereka “menelan” mentah-mentah kosakata-kosakata asing
dan tunduk dalam penggunaannya. Akibatnya, penggunaan kosakata-kosakata asing
bertebaran dalam medium komunikasi apa saja. Sebuah kondisi yang cukup rawan di
tengah-tengah upaya masif pengutamaan bahasa Indonesia.
Fenomena
tersebut bernama Xenomania (Adib, 2019) atau Xenoglosofilia (Lanin, 2018),
yaitu terlampau suka terhadap segala sesuatu yang asing, dalam hal ini kosakata
asing. Bila Xenomania diumpamakan sebuah penyakit, saat ini fenomena tersebut
bisa dikategorikan pada level kronis. Pun, para kaum Xenomania sudah masuk kategori
penderita aktif.
Bagaimana
tidak? berikut beberapa contoh kosakata atau istilah asing yang sering kita
temui dan gunakan dalam komunikasi keseharian: workshop, drive thru, hashtag, parenting, netizen, cyber, talkshow, personal branding, dan sebagainya. Bila
dicermati, padanan kosakata dalam bahasa Indonesia untuk kosakata atau istilah
tersebut sudah tersedia. Lalu, mengapa istilah-istilah dalam bahasa asing itu
seolah lebih berterima?
Bila ingin menghakimi, alasan agar terkesan intelek, dinilai keren, atau alasan lain yang menimbulkan kebanggaan diri, bisa disangkakan dengan mudah dan cepat. Bila benar, maka kecenderungan mengarah pada sikap negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Namun, bukankah tidak tertutup kemungkinan ada penyebab lain? Jangan-jangan masyarakat belum mengenal kosakata baru dalam bahasa Indonesia sebagai padanan dari kosakata atau istilah asing tersebut, misalnya.
Mempromosikan
Kata
Kosakata
baru dalam bahasa Indonesia yang “bertugas” sebagai padanan dari kosakata atau
istilah asing yang tengah membanjiri aktivitas berbahasa masyarakat perlu
diperkenalkan. Ibarat barang dagangan, padanan kosakata atau istilah baru perlu
dipromosikan, disebarluaskan, atau dipasarkan dengan tujuan utama: dikenali dan
(kemudian) digunakan. Contohnya, padanan dari kosakata atau istilah asing yang
telah disebutkan sebelumnya, yaitu lokakarya=workshop, layanan tanpa turun (lantatur)=drive thru, tanda pagar (tagar)=hastag,
pengasuhan=parenting, warganet=netizen, siber=cyber, gelar wicara=talkshow,
penjenamaan pribadi=personal branding,
dan sebagainya. Bagaimana, sudah pernah mengenal?
Selayaknya
aktivitasi promosi barang pula, maka diperlukan agen iklan yang mumpuni
sehingga dapat menarik minat “calon pembeli”. Dalam fenomena Xenomania bahasa
ini, mestinya “pemasar” yang dibutuhkan tidak hanya dilihat dari sisi kualitas,
tetapi juga kuantitasnya. Menimbang kualifikasi tersebut, perlu kerja
“keroyokan” dari berbagai pihak, yang disertai kemauan besar. Rekan-rekan media
massa (jurnalis), misalnya. Mereka diharapkan bisa memosisikan diri sebagai
“pengiklan”, mengambil peran, dan turut berkontribusi dalam mempromosikan.
Mereka memiliki kekuatan berupa kesegeraan dan keluasan jangkauan, walaupun
rendahnya literasi baca juga bisa menjadi tembok penghalang. Selain itu, perlu
keteladanan berbahasa yang baik dan benar pula dari para pemimpin (pada tingkat
nasional hingga daerah), peran akademisi serta pelaku usaha, dan sebagainya.
Upaya
nyata juga telah dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan
menginisiasi Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik. Gerakan
tersebut bisa menjadi “panggung” untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
Namun perlu diingat pula, walaupun memiliki kewenangan, jangkauan Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui balai-balai bahasa yang ada di
seluruh Indonesia tetap tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan dari berbagai
pihak tersebut.
Bila
upaya-upaya mempromosikan padanan kosakata atau istilah baru telah dilakukan,
sikap masyarakat penggunalah penentu pamungkasnya. Dalam komunikasi tulis,
beberapa pengguna bahasa cermat memberi tanda cetak miring bila menggunakan kosakata
atau istilah asing. Ya, sikap baik sebagai upaya menaati kaidah penyerapan.
Namun, bila berhenti pada upaya itu saja, tidak akan ada peningkatan dalam
upaya pemartabatan bahasa Indonesia. Pun sama, bila pengguna bahasa tak acuh
dengan dalih yang penting mitra komunikasi mengerti.
Upaya
nonkompromi dalam pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik juga belum bisa
serta merta mengandalkan KBBI secara otoritatif. Sebagian besar pengguna bahasa
masih nyaman menggikuti konsensus bahasa yang berkembang di lingkungannya.
Lalu, perlukah tindakan yang bersifat mewajibkan? Sejauh ini, gerakan atau
upaya yang dilakukan masih bersifat imbauan. UU No. 24 Tahun 2009 tentang penggunaan
bahasa Indonesia (salah satunya), belum memuat aturan pemberian sanksi bila
terjadi pelanggaran kebahasaan. Semoga segera ada kebijakan-kebijakan baru
sebelum salah satu identitas bangsa ini mati di negeri sendiri.
*Telah dipublikasikan di republika.co.id tanggal 8 Juni 2020
https://republika.co.id/berita/qbku0y284/pengidap-xenomania-bahasa
Komentar
Posting Komentar