![]() |
Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Anak zaman old bangun tidur tanya: “mama mana?”
Anak
zaman now bangun tidur tanya: “hp mama mana?”
Demikian bunyi status salah satu sejawat
di akun media sosial miliknya beberapa hari yang lalu. Status tersebut berisi
pernyataan yang memaparkan kenyataan. Betapa generasi milenial kini sudah sedemikian
“lengket” dengan perangkat digital, sehingga menjadi barang yang kali pertama
dicari.
Dalam keseharian kini, kita mudah
mendapati anak-anak bermain gawai (gadget)
dengan leluasa. Bahkan, aktivitas tersebut dilakukan oleh anak usia di bawah
lima tahun (balita) dan saat berada di dekat orang tuanya. Nyaris pada setiap
kesempatan yang ada, saat menunggu pesanan makanan datang misalnya. Bukan lagi
pemandangan langka ketika kita mendapati dalam satu meja, anak-anak dan orang
tua sibuk dengan telepon pintar masing-masing. Anak begitu familier dengan
berbagai fitur yang ditawarkan, bebas berselancar, betah menunduk menatap layar dan diam. Mereka seolah punya “dunia
lain” yang lebih mengasyikkan.
Pun sama, kini kecenderungan orang tua dilanda
sindrom phubbing atau phone snubbing, situasi dimana mereka
lebih asyik dan sibuk dengan gawai. Bila sampai pada taraf akut, tentu phubbing akan sangat membahayakan
kehidupan sosial dan hubungan internal keluarga. Dalam kehidupan sosial,
sindrom ini merekatkan kehidupan sosial dengan kehidupan pribadi, campur baur
dan bebas dikonsumsi publik. Adapun dampak dalam hubungan internal keluarga ialah
makin minimnya interaksi tatap muka antara anak dan orang tua, sehingga hilang rasa
menghargai dan memiliki.
Pengasuhan
Digital (Digital Parenting)
Perkembangan teknologi digital yang
pesat dewasa ini adalah sebuah keniscayaan. Era digital tidak bisa dihindari,
harus dihadapi. Pada era ini, orang tua tidak bisa serta merta mengadopsi cara atau
pola orang tuanya dulu dalam mengasuh atau mendidik anak. Pun tidak tepat pula
bila membanding-bandingkan anak-anaknya kini dengan masa kanak-kanaknya dulu. Gencarnya
penggunaan perangkat digital di lingkungan sekitar anak juga turut berpengaruh
besar. Anak akan makin sulit diisolasi, apalagi hanya sekadar secara lisan dilarang
menggunakan gawai.
Anak-anak yang lahir pada era digital
ini merupakan digital native. Gaya
hidup mereka berbeda. Menurut Arifin (2010), digital native lebih menyukai penyajian informasi yang user friendly, yang menarik (dengan
gambar gerak dan suara), dan eksplorasi seluas-luasnya (bahkan tidak urut). Diantara
banyaknya efek positif perkembangan teknologi, orang tua lah yang paling bertanggung
jawab terhadap efek negatif mungkin yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu
pemahaman dan penguasaan literasi digital yang kuat.
Pengasuhan digital (digital parenting) memuat aturan bagi anak dalam berinteraksi
dengan perangkat digital. Aturan tersebut berupa pembatasan yang jelas tentang
hal-hal yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan saat menggunakan gawai.
Beberapa prinsip dalam pola pengasuhan digital yang perlu diterapkan ialah pertama, pemberian izin penggunaan gawai
disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. Usia anak tidak selalu linier
dengan kematangan emosional dan sosialnya. Orang tua lah yang harus jeli dalam
menilai dan memutuskan. Hal ini vital karena akan sangat berpengaruh pada tanggung
jawab saat penggunaan.
Kedua,
kesepakatan waktu penggunaan. Kesepakatan tegas perlu dilakukan menyangkut
alokasi waktu, komitmen anak, dan sanksi bila melanggar. Mengenai alokasi
waktu, biasanya orang tua menjanjikan izin bermain gawai saat akhir pekan atau
libur. Hal tersebut cukup riskan pula, anak akan defisit fokus pada hari-hari
jelang akhir pekan karena secara psikis menunggu-nunggu kesempatan tersebut.
Kondisi ini membutuhkan komunikasi yang intens dan efektif serta trik-trik
kreatif untuk tetap berpegang pada kesepakatan awal.
Ketiga,
terus melakukan pendampingan secara aktif. Pendampingan yang diharapkan sampai
pada detail konten-konten yang bisa dan boleh diakses. Video viral beberapa
waktu lalu, yang merekam seorang anak tengah membuka konten dewasa saat duduk
di samping ibunya merupakan contoh nyata bahwa pendampingan bukan sekadar soal
jarak pantau orang tua. Diskusi dan umpan balik setelah bermain gawai bisa
dijadikan sarana penelusuran dan evaluasi. Bila diperlukan pemberian masukan
(nasehat), orang tua perlu melakukannya di waktu yang tepat, dengan bahasa yang
tidak menekan, dan memberi kesempatan anak untuk berpendapat.
Keempat,
memastikan anak berada pada lingkungan yang mendukung implementasi literasi
digital. Lingkungan keluarga menjadi yang pertama dan utama. Orang tua harus
sadar diri, bahkan menjadi pionir dan penegak pengasuhan digital. Beberapa yang
perlu dilakukan antara lain mengenalkan adab bermedia sosial, memastikan tidak
ada konten pornografi di dalam gawainya, berada dalam friend list akun media sosial anaknya, tidak meng-install games yang tidak edukatif, memfasilitasi aktivitas lain misalnya olahraga,
bermain di luar ruang, atau membaca, dan stop phubbing saat berkumpul dengan anggota keluarga.
Upaya pemenuhan hak dan perlindungan
anak terus disuarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (Kemenpppa). Hari Anak Nasional tahun 2018 ini mengangkat tema Anak
Indonesia GENIUS (gesit, empati, berani, unggul, dan sehat). Sejumlah 83,5 juta
jiwa anak atau 32,24% dari total penduduk Indonesia berhak hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berpartisipasi dalam situasi yang layak dan kondusif. Oleh
karena itu, jangan sampai ada kerusakan moral dan mental anak yang justru
dimulai atau berasal dari rumah (keluarga).
Selamat Hari Anak Nasional, mari berupaya
menjadi orang tua bijak yang terus memperbaiki cara berinteraksi. Terus belajar
memantaskan diri menjadi teladan bagi anak sehingga mereka tidak mencari
panutan di luar rumah. Dan, terus bertugas mengawal keseimbangan pola pikir
anak antara di dalam dunia digital (maya) dan dunia nyata.
*tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, 24 Agustus 2018
*tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, 24 Agustus 2018