![]() |
Sumber Poster: Dokumentasi Pribadi |
https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/snppm/article/view/33395
![]() |
Sumber Foto: tokopedia.com |
Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga
pada periode terakhir tantangan 1 week 1 post-nya komunitas
Gandjel Rel Semarang (Gres). Pertama kali tahu info program ini dari grup WA
anggota. Kupikir “seru juga nih tantangan”, mengingat ada waktu yang harus
disisihkan untuk menulis, walau tidak sibuk sekali dan tidak selalu tahu banyak
hal. Tanpa pikir panjang, langsung klik tautan untuk gabung dalam second
line grup WA komunitas, khusus untuk program ini. Beberapa teman Gres turut
serta pula walaupun tidak semua. Berada dalam lingkungan yang positif, kuyakini
turut mengiringku ke arah positif pula. Begitu masuk dalam grup, penjelasan
dari admin grup yang cukup instruktif dan sangat jelas amat membantuku memahami
aturan dan ketentuan yang kemudian menjadi kesepakatan.
Menurutku
dari sekian banyak aturan dan ketentuan, yang terseru adalah ketentuan tema
yang diberikan setiap akhir pekan dan aturan mendapatkan poin dari setiap
tantangan menulis yang tertuntaskan. Huhuhu, awalnya aku memahami pelan-pelan,
mengira-ngira kemampuan, dan langsung tancap gas mulai tertantang
menaklukkan. Aku masih ingat periode pertama bertema “Kanjuruhan”. Saat itu,
tema ini sedang hangat dibicarakan. Namanya saja tema, tentu saja cakupannya
luas dan besar. Aku memilih mengambil sudut pandang dari sisi penonton
anak-anak yang turut banyak menjadi korban. Selesai periode pertama,
periode-periode berikutnya bisa kuselesaikan walau beberapa mepet dengan
tenggat waktu pada akhir pekan.
Dari delapan tema yang dilempar, buatku satu tema termudah adalah buku favorit. Relatif mudah karena aku bisa mengeksplorasi dengan cepat hal apa yang akan menjadi bahan tulisan. Well, termudah ya cerita saja buku yang saat itu sedang kubaca. Buku “Mindset”-nya Carol S Dweck lah yang kemudian kena sorot untuk diulas pada bagian-bagian awal yang telah tuntas kubaca sebelumnya. Bagiku, tema yang paling menantang adalah tema periode 7: “kebaya merah”. Walau bebas, anggapan yang dominan muncul di pikiran tentu terkait kasus viral konten dewasa yang diperankan wanita muda berkebaya merah. Aku tidak terlalu mengikuti kasus tersebut, sekilas saja membaca beberapa headline koran yang mengangkat kasus tersebut. Nah, di sinilah upaya untuk mendapat bahan tulisan, eksplorasi angle, dan penentuan akhir dibutuhkan. Aku coba membaca beberapa referensi terkait pornografi yang terfokus pada dampak bagi anak, kemudian memutuskan untuk menuliskan tips sederhana terkait upaya preventif yang bisa dilakukan orang tua.
Wuuuh… selesai walau tidak terlalu
puas dengan keseluruhan tulisan, tetapi membaca delapan tulisan nangkring di
beranda laman pribadi setiap minggu adalah sebuah pencapaian. Terima kasih
wahai tim GR atas program ini. Mari berlanjut! 😊
#1W1P
#GandjelRel
![]() |
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi |
Beberapa minggu lalu, jagad Twitter
dihebohkan dengan kemunculan konten bertajuk “kebaya merah”. Selintas,
penggunaan diksi yang viral ini cukup provokatif bagi yang baru mendengar atau
membaca. Memang ada apa dengan kebaya merah? Begitu dominan respon awal yang
muncul. Setelah ditelusur lebih dalam, istilah ini dipakai untuk mendeskripsi
wanita dalam satu video berkonten dewasa yang mengenakan baju kebaya berwarna
merah. Tak ayal, cukup banyak yang terkecoh dengan istilah tersebut, tak
terkecuali pengguna Twitter yang masih remaja atau (bahkan) masih berusia di
bawah umur.
Banyak pihak, terutama orang tua tentu telah
mengupayakan berbagai cara agar anak-anak tidak terpapar konten-konten yang
demikian. Namun, kemerdekaan akses dan minimnya pendampingan saat anak-anak
berselancar (searching), kadang menjadi pembuka kran atas akses
konten-konten tersebut. Apalagi, penggunaan istilah yang mendukung viralitas
konten juga tidak dapat selalu ditebak. Makin provokatif, makin intimidatif
untuk membunuh rasa penasaran. Selain itu, tidak dapat dipungkiri, pendampingan
maksimal tentu hal yang mustahil ketika orang tua atau orang dewasa di sekitar
anak harus bekerja serta beraktivitas lain pula. Pun, anak-anak tidak selalu
mengakses keseluruhan konten dengan perangkat atau jaringan internet di rumah.
Beberapa
praktisi dalam berbagai bidang, seperti bidang pengasuhan (parenting),
bidang literasi digital, bidang komunikasi memberi cukup banyak tips yang perlu
diupayakan orang tua dalam meminimilisasi dampak buruk akses terhadap
konten-konten yang belum sesuai usia anak. Upaya tersebut lebih mengarah kepada
upaya preventif, antara lain mengaktifkan google safesearch mode, screentime
mode, dan parenting controls mode. Aktivasi atas beberapa mode
yang tersedia tersebut tentu bukan tanpa konsekuensi. Namun, upaya perlu dicoba
daripada muncul penyesalan nanti.
Aktivitas
google safesearch mode dapat diaktifkan dengan melakukan pengaturan atas peramban
(browser) yang biasa digunakan oleh anak. Selain itu, mengaktifkan
penelusuran aman juga akan memberi level penggunaan yang lebih “bersih” bagi
anak. Keseluruhan perangkat perlu untuk dicek secara berkala oleh orang tua
untuk memastikan apakah pengaturan yang telah dilakukan masih berjalan.
Pengguna iPhones atau iPads dapat pula memanfaatkan fasilitas screentime
mode untuk mengendalikan penggunaan gawai atau tablet oleh anak.
Adapun fasilitas parenting controls mode, salah satunya memberi
penawaran untuk pemantauan penggunaan media sosial. Beberapa fitur-fitur
tersebut dapat dipelajari, disimulasi, dan diberdayakan oleh orang tua untuk
menunjang upaya preventif meminimalisasi paparan konten-konten sensitif bagi
anak.
#1W1P
#GandjelRel
![]() |
Sumber Foto: http://pilea-eureka.blogspot.com/ |
Senang banget. Iya, begitu gambaran
perasaan ketika aku berada di dalam mobil jeep warna putih sore jelang petang hampir
15 tahun lalu. Mobil kekar itu membawaku dari Timika menuju Tembagapura, kota
di atasnya. Jalannya terjal menanjak di jalanan keras bebatuan khas pegunungan.
Aku yang duduk di bagian belakang terombang-ambing dan beberapa kali ingin
muntah, mual sekali. Sesekali aku melirik lewat jendela samping, wuuuh… awan
putih bersih bergumpal-gumpal ada tepat di sebelah kaca. Spontan aku nyeplos: “Kayak
di (film) Denias ya”, dan sopir jeep dengan lekas menyahut: “Kan memang shooting-nya
di sini”.
===
Denias kutonton sebelum berangkat ke Tembagapura tahun 2007 lalu. Aku menyetujui kontrak mengajar persiapan ujian akhir bagi para peserta didik SMP di bawah Yayasan Pendidikan Jayawijaya. Ada dua tim yang berangkat, satu tim bertugas di Mimika dan satu tim bertugas di Tembagapura. Aku masuk tim yang bertugas di Tembagapura. Sesuai briefing awal, aku mengajar di sebuah sekolah yang berada dalam area PT Freeport Indonesia. Yang kutahu kemudian, Denias diangkat dari kisah nyata seorang anak bernama Janias, yang merupakan alumnus sekolah tempatku bertugas. Bahkan, banyak guru-guru sejawatku di sekolah tersebut yang terlibat sebagai cameo.
===
Alam Papua yang menakjubkan adalah
visual yang terekam kuat dalam ingatan begitu rampung menonton film Denias.
Selain hal itu, kisah perjuangan seorang anak daerah dengan setting
sekolah, kostum khas, kondisi masyarakat sekitar sungguh memberi wawasan baru
buatku. Denias ada dalam daftar ingatan awal yang muncul ketika aku ditanya: “Apa
film favoritmu?” Bersyukur sekali, aku berkesempatan mengunjungi, menikmati,
menghirup udara Papua, yang sebelumnya hanya kulihat di dalam film Denias. Aku
tak mengerti detail mengenai kesenjangan atau politik kepentingan yang muncul
di sana, tetapi aku menyaksikan bagaimana masyarakat asli tetap mempertahankan
kekhasan yang dimilikinya. Beberapa kekhasan tersebut tercermin kuat pada
beberapa peserta didikku pula. Kekhasan tersebut antara lain nama diri, pemertahanan
bahasa asli dalam komunikasi sehari-hari, noken yang senantiasa menemani, dsb.
Semoga, suatu hari nanti bisa berkunjung ke sana lagi.
#1W1P
#GandjelRel
![]() |
Sumber: https://www.ekrut.com/media/bad-mood |
Sebagai pecinta buku, saya kadang
menemu rasa semangat yang membuncah pun rasa malas yang sangat untuk
beraktivitas dengan buku. Mood swing cukup berpengaruh, walau tidak
terlalu parah. Bila good mood, saya merasakan sekali “senengnya” baca
buku, semangat nerima hal-hal baru, stabilo sana-sini bagian-bagian seru dan mindfulness,
menikmati alur dan pola pikir penulisnya. Bagaimana bila sedang badmood?
Terkadang dalam kondisi yang tidak ideal tersebut, saya coba untuk menolong
diri sendiri 😊
Badmood yang saya rasakan biasanya karena amburadulnya
manajemen waktu, yang akhirnya mbulet mau ngerjain yang mana dulu.
Mengapa amburadul? Karena belum mampu menyingkirkan distraksi. Nah, rumit! 😊 Kalau sudah teridentifikasi masalah internal begini,
tentu saya harus berupaya pula membantu diri secara internal pula. Buat saya,
menyamankan diri menjadi senjata pertama dan utama.
Beberapa hal yang saya lakukan
untuk coba menyamankan diri, antara lain mengikuti “arah” mood terlebih dahulu.
Saat badmood, hakikatnya saya tetap ingin membaca, tetapi malas 😊 Bekal “ingin” itulah yang saya coba berdayakan.
Minimal, saya mengikuti arah mood menuju ke buku genre apa. Artinya,
tidak memaksakan harus membaca buku yang beberapa hari terakhir sedang dibaca
dan coba diselesaikan. Selain itu, tidak melulu harus buku yang ada kaitannya secara
akademis dengan posisi saya sebagai mahasiswa atau sebagai pengajar. Buku-buku selfhelp,
buku-buku agama, novel yang saya miliki punya kans yang sama untuk saya pilih
dan kemudian baca 😊 Intinya, baca dengan hati senang, merdeka, dan tanpa
tuntutan apapun.
Yang coba saya lakukan pula untuk tetap
akrab dengan aktivitas baca dalam kondisi badmood adalah menata setting
baca, baik coba membaca di luar ruangan (outdoor) atau kadang tetap
memilih di dalam ruangan (indoor). Selain itu, waktu beraktivitas dan
posisi baca juga perlu disesuaikan dengan mood yang sedang kacau 😊 Hakikatnya mengupayakan untuk tetap beraktivitas baca
dan siap dengan segala atmosfer yang akan diarungi. Terkait durasi baca, saya
biasanya menggunakan aplikasi Forest App untuk membantu menyingkirkan
distraksi. Bagi saya, tingkat keefektifannya masih rendah tetapi cukup membantu
😊
#1w1p
#GandjelRel
![]() |
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi |
Apa indikator buku yang baik?
Pertanyaan itu pernah disampaikan mahasiswa di kelas ketika membahas tentang kriteria buku best seller. Ketika itu, banyak mahasiswa mempersepsi bahwa buku best seller adalah buku yang baik. Atau sebaliknya, buku yang baik adalah buku yang best seller. Pendapat yang tidak salah, bila “baik” yang dimaksud dari sisi angka penjualan. Kriteria best seller ada pada kata kunci seller, yups bagaimana pasar merespon dengan besaran kuantitas keterserapan yang konkrit.
Bila pertanyaan di atas dalam konteks “baik” dari sisi isi/esensi atau kebermanfaatan maka pembaca cukup bebas merdeka untuk mengklaim buku yang baik versinya. Subjektif? Menurutku iya. Pernah kubaca pendapat dari Pak Bambang Trim, praktisi perbukuan, bahwa buku yang baik adalah buku yang “bertemu” dengan pembaca yang tepat. Artinya, apa yang menjadi kontennya relate dengan kebutuhan atau keingintahuan pembacanya. Sepertinya, poin relate inilah salah satu yang membawa potensi untuk menjadikan buku tersebut sebagai buku favorit.
------
Aku menemukan unsur relate itu saat nyamil buku Mindset karya Carol S. Dweck. Buku pemberian salah satu alumnus ini membius dan mengantarkanku ke saat-saat aku mikir bahwa “udah saatnya berubah”. Bersyukur karena bukan berarti dulu aku melakukan hal yang fatal, melainkan pada satu pemikiran bahwa lebih baik itu masih sangat bisa diupayakan bila ada kemauan. Normatif, tetapi kurasa saat ini efek kemauan berubah itu cukup besar andilnya. Sepertinya halnya satu kajian pustaka yang dilakukan Dweck, menyebut bahwa “setiap orang dapat berubah dan berkembang melalui pembelajaran dan pengalaman”.
Dalam buku ini, Dweck mengklasifikasi pribadi dengan pemikiran yang tetap dan pemikiran yang tumbuh. Menurutnya, pribadi dengan pemikiran yang tumbuh tidak akan memberi label tertentu pada dirinya dan tidak menyerah. Meskipun kecewa, mereka siap mengambil risiko, menghadapi tantangan, dan tetap menjalani hidup dalam versi terbaiknya (hal. 12). Artinya, pribadi dengan pemikiran tumbuh begitu percaya dengan konsep “upaya”. Label pribadi juga cukup memberi pengaruh, betapa banyak orang yang kadang terlalu menilai buruk kemampuannya sendiri.
Aku akan menuntaskan buku ini (baru sampai hal 73) untuk lebih tahu konsep pemikiran yang tumbuh. Syukur bila dapat transfer energi untuk memiliki ketekunan dan daya tahan yang baik dari esensi buku ini. Menjadi pribadi yang mencintai tantangan, percaya terhadap usaha, tabah menghadapi kemunduran, dan mendapati sukses yang lebih besar tentu bukan hal yang mudah, kucoba saja dulu 😊
#1W1P
#GandjelRel
Sumber Foto: reddit.com |
![]() |
Sumber Foto: Tribun Pontianak |
Istilah viral telah menjadi istilah yang familier bagi masyarakat saat ini, khususnya masyarakat pengguna media sosial. Kata dasar viral secara harfiah bersifat cepat menyebar secara luas. Di ranah media sosial, istilah viral merujuk pada penyebaran konten dari satu pengguna/akun kepada pengguna/akun lain. Perilaku memviralkan (viral behavior) dengan klik likes, share, dan comments dilakukan pada konten-konten yang menarik bagi pemilik akun. Artinya, konten menjadi suatu komoditas yang sengaja diproduksi (user generated content), disebarluaskan, dan dikonsumsi oleh masyarakat pengguna media sosial. Dengan lonjakan kuantitas konten yang sebanding dengan kecakapan pengguna media sosial saat ini, potensi viralitasnya menjadi amat tinggi.
Selain kecakapan digital masyarakat pengguna media sosial, terdapat beberapa faktor lain yang dapat menjadi penyebab viralitas sebuah konten (Agustina, 2020). Faktor-faktor tersebut antara lain: (1) konektivitas antar pengguna yang menjadi salah satu karakteristik media sosial, memungkinkan munculnya budaya berbagi (share) dan reshare/repost konten; (2) penyebaran konten kepada khalayak luas sebagai upaya peningkatan jangkauan ketersebaran konten (reach) oleh pengguna yang memiliki jumlah pengikut banyak (influencer); dan (3) element of surprise dalam konten yang memunculkan keterlibatan emosi pengguna media sosial lainnya, sehingga memotivasi untuk menyukai, membagikan ulang, atau mengomentari unggahan tersebut.
Saya pribadi pernah merasakan
keterlibatan emosi dalam salah satu konten viral. Dua bulan lalu, ada sebuah
pontingan viral berupa video menunjukkan seorang siswa memberikan gestur
yang sangat sopan
pada pengemudi mobil, yang
memberikannya kesempatan untuk menyeberang jalan. Video tersebut pertama kali diunggah oleh pengguna media sosial Instagram. Sangat jelas terlihat, seorang
anak menggunakan seragam Pramuka hendak
menyeberang jalan. Pengemudi mobil sejurus kemudian melambatkan laju untuk
memberi jalan kepada sang
anak untuk menyeberang. Terlihat, setelah Ia berhasil menyeberangi jalan, Ia melihat ke arah sopir mobil, memberi salam sambil mengatupkan tangan, dan menganggukkan kepala sebagai tanda berterima kasih sudah diberi kesempatan.
Saat pertama melihat video tersebut,
rasanya campur aduk. Utamanya terharu, takjub dengan adab terima kasih yang disampaikan
dengan teramat lembut dan sopan. Postingan viral ini juga mendapat banyak komentar
positif dari warganet (netizen) lainnya. Secara pribadi, saya belajar dari
anak berseragam Pramuka tersebut, bagaimana unggah-ungguh wajib terus
dipertahankan, pada siapa pun (kenal atau tidak), kapanpun, dan dimana pun itu.
#1W1P
#GandjelRel
![]() |
Sumber Foto: https://www.republika.co.id/ |
Astaghfirullah. Ucapan pertama begitu kubaca
headline di feed salah satu portal berita daring saat scrolling
time jelang tidur malam tiga hari lalu. Straight news yang muncul baru
sekadar memberitakan ada peristiwa kerusuhan pascalaga tuan rumah Arema FC vs
Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Baru beberapa jam kemudian, lewat
tengah malam, feed hampir seluruh akun berita yang ku-follow
menyampaikan jumlah korban yang mencapai ratusan orang. Innā
lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn.
Esok
harinya, 2 Oktober 2022, pemberitaan kian gencar. Kuperhatikan, sudut berita beragam,
mulai dari isu kronologi kejadian, pelanggaran prosedur penangganan kericuhan, keputusan
penggunaan gas air mata di dalam stadion yang tidak sesuai ketentuan Federasi
Sepakbola Internasional (FIFA), urgensi pendidikan karakter untuk mau dan berani
menerima kekalahan, hingga jumlah korban anak dan remaja yang tidak sedikit
jumlahnya. Semua sorotan bahasan tersebut terasa begitu mengerikan seiring
video-video yang terus bermunculan di media sosial dan pemberitaan media massa
elektronik mengenai fakta kejadian di Kanjuruhan.
Dari
beberapa isu yang menjadi bahasan, isu mengenai banyaknya korban yang berusia
anak-anak (bahkan balita 4 tahunan) yang paling menarik perhatianku. Pertandingan
ini jelas digelar malam hari, jadwal sudah jauh-jauh hari di tangan, bukan
tanpa perubahan atau pergeseran penyelenggaraan. Artinya, secara internal orang
tua sangat bisa memperkirakan bagaimana situasi laga kala malam, dalam durasi
yang tidak sebentar. Secara eksternal, prosedur keselamatan dan keamanan,
terutama bagi para suporter cilik juga perlu ada kekhususan.
Pertimbangan
terhadap risiko pada suporter cilik cukup beragam, mulai dari melihat langsung berbagai
bentuk kekerasan yang mungkin terjadi di dalam maupun di luar stadion, menjadi
korban kericuhan, atau kehilangan nyawa, seperti yang sangat fatal terjadi di
Kanjuruhan. Potensi risiko bagi para suporter cilik tersebut, perlu ditindaklanjuti
dengan manajemen risiko dan manajemen mitigasi. Wajib ada pendampingan, mengupayakan
tribun khusus, dan aturan khusus tidak menonton langsung bila pertandingan
diselenggarakan pada malam hari direkomendasikan oleh komunitas Save The
Children Indonesia.
Peristiwa
Kanjuruhan harus menjadi pengingat bagi semua pihak, baik panitia
penyelenggara, suporter, wasit, pihak keamanan, dan pembuat kebijakan agar
peristiwa yang sama tidak akan pernah terulang. Perbaikan dari semua sisi perlu
terus diupayakan untuk masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik. Duka di
Kanjuruhan bukan semata soal olahraga, ini duka kemanusiaan bagi Indonesia dan
dunia.
#1W1P
#GandjelRel
![]() |
Sumber: https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/arsip/2021/tentang-lomba/ |
-Alhamdulillah-
Ini feature pertama saya. Biasanya lebih sering coret-coret opini amatiran. Namun, saya niati belajar saja lah, muter tuas sebentar. Topik artificial intelligence relevan dengan riset studi. So, beberapa referensi terkait topik itu memang tengah saya baca, kalau pas goodmood 😂
Saya ingat betul, akhir tahun lalu, setelah memilah dan observasi objek tulisan, saya langsung mengirim pesan kepada tiga teman sekaligus: Mas Saroni Asikin (Suara Merdeka), Om Rahmat Petuguran (Universitas Negeri Semarang), dan Om Dhoni Zustiyantoro (Universitas Negeri Semarang). Isi pesan hampir sama: "Please, beri tips nulis feature dong dan beri rekomen feature keren milik siapa yang mesti kubaca untuk pemodelan". Ketiganya menjawab hampir bersamaan dengan isi yang mirip pula: penjelasan soal feature, contoh, dan permintaan untuk mengirim hasil tulisan saya agar bisa turut dibaca nantinya. Maturnuwun para suhu 🤠
Selesai meramu, saya kirim hanya kepada 1 suhu saja dengan alasan ketidak-PD-an 😆 Kekhawatiran terbesar ketika itu: setelah "matang", aromanya pun belum feature banget 😂 takut distraksi gaya opini masih membayang. Lalu mengapa tetap diunggah? Buat saya, kemenangan terbesar baru sebatas pada level bisa menyelesaikan tulisan dengan purna sebelum tenggat waktu dari panitia. Soal hasil seleksi sebagai pewarta ASTRA hari ini ialah bonus, yang semoga cukup menggiatkan diri untuk lebih bereksplorasi.
![]() |
Sumber: https://65tahunastra.jagat.live/room/123-siaran-ulang-awarding-lfa-apa-2021 |
Terima kasih,
@satu_indonesia
@nodeflux
*https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/arsip/2021/pemenang/pemenang-apa-2021-umum/
*https://www.santipratiwi.com/2021/12/nodeflux-kontribusi-global-si-keledai.html
![]() |
Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Bergabung dengan teman-teman Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dan kontributor lainnya untuk publikasi hasil riset kami tahun lalu. Terima kasih ketua tim editor Edi Subkhan, S.Pd., M.Pd. dan LPPM Universitas Negeri Semarang.
Saya dan tim menyampaikan potensi disparitas kualitas program literasi sekolah yang terstimulasi oleh tingkat kesiapan dan dukungan ekosistem literasi yang timpang selama pembelajaran moda daring. Bahasan lain mengenai kelas digital, esensi merdeka belajar, profil pelajar pancasila, home schooling, e-learning, learning loss, dsb seruuuu untuk disibak dengan saksama.
![]() |
Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Sudah cukup lama saya menelan manis dan getir kehidupan ini. Belajar menaklukkan kecongkakan. Belajar bersimpati dan mengerti. Tapi, hidup manusia harus berhenti, demikian pula dengan hidup saya. Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian? (Hal. 4)
![]() |
Sumber: https://digitalbisa.id/artikel/https-digitalbisaid-artikel-https-digitalbisaid-artikel-https-digitalbisaid-dashboard-article-create-6vzeg-6vzeg-6vZEg |
A child who reads will be an adult who thinks! (Proverb)
Kutipan di atas mengingatkan kembali urgensi aktivitas membaca bagi anak, mengingat jarak yang makin jauh antara anak dan aktivitas membaca dewasa ini. Literasi dasar membaca merupakan hak setiap anak. Oleh karena itu, perlu rancangan pola asuh orang tua dan atau orang dewasa di sekitar anak dalam mempersiapkan anak agar memiliki kecintaan terhadap aktivitas membaca. Pengembangan literasi dasar membaca dimulai dari keluarga, serta wajib mendapat dukungan dari ranah sekolah dan masyarakat. Artinya, pola upaya pengembangannya perlu sinergitas antara ketiga ranah tersebut, tidak dapat dilakukan secara parsial oleh satu atau dua pihak saja.
Dalam ranah keluarga, pengembangan literasi dasar membaca dapat diupayakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan dan pelaksanaan kegiatan literasi bersama keluarga. Semua anggota keluarga bisa saling memberikan teladan dalam melakukan literasi di dalam keluarga, dengan berbagai macam variasi kegiatan. Beberapa tantangan muncul dalam upaya mewujudkan hal tersebut, salah satunya adanya pergeseran dan gap antargenerasi yang kentara antara orang tua dan anak. Para generasi Z kini mempertontonkan cara berkomunikasi yang berbeda. Bila Generasi Y cenderung berkomunikasi dengan teks, generasi Z beralih pada gambar, foto, atau video sebagai medianya. Mengapa demikian? karena tuntutan generasi kini yang serba cepat dan instan, serta keintiman mereka dengan telepon pintar (smartphone) atau berbagai perangkat digital.
Kecenderungan opsi
bermain gawai (gadget) yang tinggi
mengharuskan berbagai pihak turut andil mencari solusi, alih-alih menyalahkan atau malah berupaya mengalihkan. Peralihan generasi Z dengan segala ciri
khasnya perlu mendapat perhatian serius. Bagi generasi Z, teknologi bagai
nyawa. Keniscayaan tersebut memosisikan orang tua untuk menghadirkan pemodelan
yang adaptif terhadap perubahan. Pun dalam berliterasi baca, upaya memelihara
lingkungan literasi anak mesti terus dilanjutkan tanpa membenturkannya dengan
tipikal zaman.
Tertarik Buku Elektronik, Terpesona Buku Suara
Desain adaptif tersebut yang coba penulis terapkan dalam program pengabdian kepada masyarakat, dengan pendanaan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Semarang (UNNES) di SD Negeri Podorejo 3 Semarang. Dalam beberapa sesi pertemuan orang tua dengan pihak sekolah, kepala sekolah Ibu Dwi Setyowati, S.Pd., M.M, mendapati kenyataan minimnya bahan bacaan yang dimiliki anak di rumah paling dominan disampaikan. Sementara, kenyataan lain yang menyertai ialah durasi “mengonsumsi” gawai yang begitu tinggi.
Menilik kedua fakta tersebut, penulis dan tim pengabdian mencoba memformulasi solusi dengan mengenalkan buku elektronik (electronics book atau e-book) dan buku suara (audio book) yang notebene bisa diakses dengan gawai masing-masing. Pihak sekolah sangat mendukung ide tersebut dan kami merencanakan pertemuan untuk memberi pelatihan kepada orang tua dan guru. Pelatihan dikemas dalam suasana santai, praktik langsung yang diawali dengan membilas ingatan bahwa aktivitas membaca butuh keteladanan dari orang tua. Untuk menarik minat baca, orang tua harus menjadi teladan dengan menjadi pembaca yang baik. Anak tidak perlu dipaksa membaca karena pada dasarnya anak adalah peniru ulung.
Saat pelaksanaan pelatihan
tanggal 23 Juli 2022 lalu, beberapa orang tua dan guru mengkhawatirkan biaya
tambahan yang harus dikeluarkan untuk dapat mengakses buku elektronik dan buku
suara. Kekhawatiran tersebut dapat ditepis dengan pemberian pemahaman terhadap
buku elektronik dan buku suara yang masuk kategori creative commons lisence
books. Artinya, buku-buku tersebut bisa diakses secara bebas tanpa perlu
izin terlebih dahulu kepada penulis atau penerbit. Beberapa laman (website)
buku elektronik yang berisi ratusan bahan bacaan bagi anak yang diperkenalkan
antara lain https://literacycloud.org/,
https://buku.kemdikbud.go.id/katalog/buku-non-teks, dan https://ditpsd.kemdikbud.go.id/buku/kategori/cerita-anak-2.
Selain bebas akses, buku-buku yang disediakan oleh lembaga nonprofit Room to
Read yang bisa diakses di laman https://literacycloud.org/, misalnya, juga tersedia dalam berbagai bahasa
disertai keterangan perjenjangan buku (book leveling), dan pilihan
medium baca. Pilihan bahasa antara lain bahasa Indonesia, Inggris, Spanyol,
Arab, dsb. Adapun perjenjangan buku merupakan keterangan yang memberi arahan
kepada calon pembaca untuk mengetahui peruntukan buku tersebut berdasarkan tipe
atau klasifikasi isinya. Bagi pembaca dini, awal, lanjut, semenjana, atau
mahir. Arahan ini tentunya dapat menjadi petunjuk bagi orang tua dalam memilah
dan memilih bacaan yang sesuai dengan tingkatan anak. Pilihan medium baca yang
ditawarkan pun beragam, ada buku elektronik yang penuh warna dan buku suara
yang ekspresif dibacakan pengisi suara.
Pada akhir acara, orang tua
dominan menyampaikan relatif tidak menemui kesukaran saat mencoba mengakses dan
bersiap membangun interaksi dengan anak dalam aktivitas membaca. Buku
elektronik yang telah berlisensi umum tersebut dapat menjadi gudang bacaan yang
menjadi modal untuk membangun ekosistem literasi dalam keluarga. Kehadiran
medium lainnya berupa buku suara turut menambah alternatif dengan moda baca
lewat telinga. Seru untuk dieksplorasi lebih jauh dan senantiasa dicoba.
*sudah dipublikasikan di portal digitalbisa.id, 18 Agustus 2022
https://digitalbisa.id/artikel/https-digitalbisaid-artikel-https-digitalbisaid-artikel-https-digitalbisaid-dashboard-article-create-6vzeg-6vzeg-6vZEg
![]() |
Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Seru! Seneca sedang menantang akal sehat pembacanya mengenai apa yang pantas membuat seseorang marah 🙂
Menetapkan harga tinggi pada kebanggaan, martabat, dan harga diri disinyalir menjadi impuls kemarahan manusia. Bahkan, pada posisi salah pun, kadang manusia tetap tersinggung ketika menerima teguran karena mengimbuhkan prasangka dan keangkuhan dalam pikiran 😔
Untuk melawannya, Seneca mengingatkan betapa banyak kesamaan sebagai manusia, yang pada umumnya layak untuk saling memaafkan. Ia menyebut: kita hanyalah orang jahat yang hidup di antara orang jahat 🥺
Mari merawat kemanusiaan dengan tidak menjadi sumber ketakutan atau bahaya bagi siapa pun. Mari memulai dengan belajar menelan singkatnya rasa jengkel yang kadang muncul ❤
![]() |
Sumber: https://iite.unesco.org/news/policy-brief-ai-in-education/ |
Policy brief dari UNESCO IITE ini cukup komprehensif memaparkan perubahan pola pemanfaatan teknologi dalam pendidikan. Fokus paparan lekat dengan kecerdasan artifisial (AI), cloud computing, dan machine learning.
Paparan menarik terkait tantangan: bagaimana cara aksesnya, bagaimana etika penggunaannya, bagaimana kesenjangan teknologi pemakainya di lapangan memberi gambaran makro persiapan yang perlu dilakukan.
Poin penting lain yang ditekankan: bahwa teknologi bukan sapu jagad yang kemudian bisa menyelesaikan multiproblem yang muncul di kelas. Teknologi hadir untuk diberdayakan. Pun bila tidak untuk peningkatan aspek kompetensi, hadirkan untuk memberi pengalaman pembelajaran yang baru dan manfaatkan untuk mengaktifkan modalitas pedagogis.
![]() |
https://www.ahead.ie |
Type with your voice!
Begitu moto (tagline) yang diusung dictation.io, salah satu produk kecerdasan artifisial (artificial intelligence) berupa fitur pengenalan suara (speech recognition) tanpa bayar yang akan membantu kita menulis berbantuan narasi suara tanpa perlu mengetik. Yaps, otomatis dan gratis! Diksi dictation yang berarti “dikte” memberi penegasan bahwa aktivitas mendikte gagasan/ide/hal apapun yang ingin disampaikan (dengan suara) bisa dilakukan dan fitur speech to text ini akan membantu menuliskannya. Kok bisa?
Fitur yang didukung teknologi suara ini “dilatih” untuk mengenal, mengolah, menginterpretasi, dan mengonversi suara manusia menjadi tulisan dengan berbagai perangkat pintar, seperti telepon pintar (smartphone), tablet, laptop, atau komputer. Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi ini dapat dimanfaatkan oleh sekretaris, notulis, jurnalis, guru/dosen, reviewer buku, blogger, dan profesi lainnya.
Bagaimana cara mengaksesnya?
1. Kunjungi www.dictation.io ya!
2. Klik launch dictation dan pengguna akan diarahkan ke sebuah halaman seperti halaman pengetikan yang memiliki tools pengatur tulisan: bold, italic, underline, dan lain-lain.
3. Pada halaman tersebut, pengguna dapat menentukan pilihan bahasa sesuai kebutuhan hasil teks (ketikan) yang diinginkan. Beberapa pilihan bahasa yang familier, yakni bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, Inggris, Spanyol, Prancis, Italia, dan lain-lain.
4. Tekan tombol start, kemudian pengguna akan diminta mengaktifkan pelantang (microphone) di halaman tersebut. Setelah muncul notifikasi aktivasi, pengguna dapat langsung klik izinkan.
5. Hapus semua teks ucapan selamat datang yang ada di halaman pengetikan, mulailah bicara, dan biarkan mesin pengetik otomatis bekerja.
![]() |
https://www.komando.com/ |
Selain cara akses fitur yang cukup simpel, bagi saya kelebihan mengetik via perintah suara ini adalah fleksibilitasnya. Dalam kondisi tertentu, menangkap ide/gagasan/review dari buku yang saya baca/dengar (audiobook) dalam perjalanan, misalnya, dapat saya lakukan dengan menarasikan beberapa bagian esensial buku yang menjadi poin, menarik, atau quote-able agar tidak lupa.
Atau, saat perlu observasi langsung di kelas untuk kebutuhan awal penelitian/program pengabdian, misalnya, saya mengamati objek/responden dengan mulut yang ‘ndremimil’ terus untuk menarasikan apa yang saya lihat dan rasakan, hahaha, tanpa perlu mengetik sehingga fokus pengamatan lebih terjaga. Hasilnya bisa langsung di-posting atau digunakan sebagai data pengamatan? Bisa. Namun, saya biasa mengintegrasikan terlebih dahulu potongan-potongan narasi yang telah menjadi teks, sesuaikan dengan bahasa tulis, dan… jadi! 😊
Sumber Foto: https://www.qiteplanguage.org/majalah Nowadays, technology is required in the learning process. The integration of technology i...