DUKA DI KANJURUHAN: MENILIK PROSEDUR KESELAMATAN PARA SUPORTER CILIK
Sumber Foto: https://www.republika.co.id/ |
Astaghfirullah. Ucapan pertama begitu kubaca
headline di feed salah satu portal berita daring saat scrolling
time jelang tidur malam tiga hari lalu. Straight news yang muncul baru
sekadar memberitakan ada peristiwa kerusuhan pascalaga tuan rumah Arema FC vs
Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Baru beberapa jam kemudian, lewat
tengah malam, feed hampir seluruh akun berita yang ku-follow
menyampaikan jumlah korban yang mencapai ratusan orang. Innā
lillāhi wa innā ilaihi rāji'ụn.
Esok
harinya, 2 Oktober 2022, pemberitaan kian gencar. Kuperhatikan, sudut berita beragam,
mulai dari isu kronologi kejadian, pelanggaran prosedur penangganan kericuhan, keputusan
penggunaan gas air mata di dalam stadion yang tidak sesuai ketentuan Federasi
Sepakbola Internasional (FIFA), urgensi pendidikan karakter untuk mau dan berani
menerima kekalahan, hingga jumlah korban anak dan remaja yang tidak sedikit
jumlahnya. Semua sorotan bahasan tersebut terasa begitu mengerikan seiring
video-video yang terus bermunculan di media sosial dan pemberitaan media massa
elektronik mengenai fakta kejadian di Kanjuruhan.
Dari
beberapa isu yang menjadi bahasan, isu mengenai banyaknya korban yang berusia
anak-anak (bahkan balita 4 tahunan) yang paling menarik perhatianku. Pertandingan
ini jelas digelar malam hari, jadwal sudah jauh-jauh hari di tangan, bukan
tanpa perubahan atau pergeseran penyelenggaraan. Artinya, secara internal orang
tua sangat bisa memperkirakan bagaimana situasi laga kala malam, dalam durasi
yang tidak sebentar. Secara eksternal, prosedur keselamatan dan keamanan,
terutama bagi para suporter cilik juga perlu ada kekhususan.
Pertimbangan
terhadap risiko pada suporter cilik cukup beragam, mulai dari melihat langsung berbagai
bentuk kekerasan yang mungkin terjadi di dalam maupun di luar stadion, menjadi
korban kericuhan, atau kehilangan nyawa, seperti yang sangat fatal terjadi di
Kanjuruhan. Potensi risiko bagi para suporter cilik tersebut, perlu ditindaklanjuti
dengan manajemen risiko dan manajemen mitigasi. Wajib ada pendampingan, mengupayakan
tribun khusus, dan aturan khusus tidak menonton langsung bila pertandingan
diselenggarakan pada malam hari direkomendasikan oleh komunitas Save The
Children Indonesia.
Peristiwa
Kanjuruhan harus menjadi pengingat bagi semua pihak, baik panitia
penyelenggara, suporter, wasit, pihak keamanan, dan pembuat kebijakan agar
peristiwa yang sama tidak akan pernah terulang. Perbaikan dari semua sisi perlu
terus diupayakan untuk masa depan sepakbola Indonesia yang lebih baik. Duka di
Kanjuruhan bukan semata soal olahraga, ini duka kemanusiaan bagi Indonesia dan
dunia.
#1W1P
#GandjelRel
Komentar
Posting Komentar