Hingga kini buku masih
menjadi salah satu cara termudah untuk mendapatkan pengetahuan. Kedekatan dengan
buku ditengarai makin memperlebar jarak antara kaum literat dan kaum aliterat.
UNESCO mengklasifikasi kategori literat
ialah mereka yang telah menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari budaya
hidupnya. Berkebalikan dengan kategori aliterat,
yaitu mereka yang bisa membaca tetapi memilih untuk tidak menjadikan aktivitas
membaca sebagai bagian dari kehidupannya.
Dahlan (2017:5) menyebut
perjumpaan dengan buku bisa teramat eksistensial dan dalam, serupa “perjodohan”
pengetahuan dengan pemburu kebenaran. Dalam arung kecintaan terhadap buku, pembaca
dihadapkan pada berbagai pilihan genre, sebutlah filsafat, sastra, politik,
ekonomi, agama, dan lain-lain. Pilihan
pembaca terhadap sebuah buku, bisa jadi, merupakan cerminan dirinya. Pun secara
sadar atau tidak, pilihan tersebut akan membangun karakternya.
Buku
yang Baik
Kaum pecinta buku (bibliophile) biasanya “menghajar” semua
jenis bacaan. Mereka cenderung tak memilah-milah jenis dan bentuk buku, baik
komik, buku pengetahuan, novel, bookmagz,
dan lainnya. Namun, beberapa diantaranya tetap menyeleksi buku-buku yang baik
agar sejalan dengan pengetahuan yang hendak diserap. Lalu, apa standar atau
indikator sebuah buku dikategorikan sebagai buku yang baik?
Apakah buku yang baik
ialah buku yang “berstempel” best seller?,
yang merujuk pada tema populer?, yang dihasilkan oleh penulis terkenal?, yang
memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi?, atau?
Berbagai argumen bisa
dimunculkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai akhirnya, pilihan akan
bacaan bergantung pada selera tiap pembaca. Dalam akurasi pengukuran selera,
faktor subjektivitas tentu akan mendominasi. Selera bisa timbul oleh perasaan suka
atau cinta. Selera juga bisa didasari oleh kebutuhan atau sekadar keinginan. Wajarlah,
bila tiap pembaca memiliki selera yang tidak serupa. Tidak selalu sama.
Tidak jarang ditemui
dalam keseharian, seseorang yang memberi penilaian atas pilihan bacaan yang
sedang dibaca oleh orang-orang di sekitarnya. Penilaian tersebut terwujud dalam
beragam komentar. Istilah buku “menyek-menyek”, “picisan”, “enteng”, “ora mutu” kemudian disematkan, sehingga
pilihan bacaan seseorang seolah remeh atau terkesan “receh”.
Perilaku
Book-Shaming
Perilaku book-shaming membentuk suatu kondisi
yang menjadikan seorang pembaca merasa malu terhadap pilihan bacaan mereka. Book-shaming merampas “kemerdekaan”
selera baca seseorang. Berbagai efek
buruk sangat mungkin muncul pada korban book-shaming,
misalnya 1) berkurangnya rasa percaya diri atas pilihan bacaan sendiri, yang
berimbas pada rasa terkekang oleh selera baca orang lain, 2) takut
merekomendasikan buku yang dibaca, dan 3) yang paling fatal dapat menyurutkan
minat baca.
Para pelaku book-shaming biasanya telah
“mengkotakkan” selera baca mereka sendiri. Kemudian, mereka mengukur selera
bacaan orang lain dengan selera bacaannya. Mereka berpikir bahwa buku-buku
pilihan orang lain tersebut tidak berfaedah, padahal yang paling mengetahui dan
merasakan faedah yang muncul pascaaktivitas membaca ialah pembaca itu sendiri.
Praktik book-shaming harus segera dihentikan. Mengenai
selera baca atau pilihan terhadap suatu bacaan, kita serahkan saja kepada
setiap pembaca. Mereka sendiri yang berhak menyeleksi asupan bacaan yang ingin
diserap. Katakanlah seleksi berdasar tingkat kesukaran bacaan, pembaca tentu
paham, bila dirasa tingkat kesukaran terlalu tinggi baginya maka esensi bacaan
tidak akan tercerna. Pun bila dirasa tingkat kesukaran terlalu rendah baginya
maka kebosanan akan menyergap dengan segera.
Atau seleksi
berdasarkan jenis buku, sebagian besar pelaku book-shaming minim apresiasi terhadap novel atau komik humor,
misalnya. Padahal, pencinta novel mendapat banyak inspirasi baik dari karakter
dan perilaku tokoh-tokoh rekaan dalam novel. Mengenai komik humor, pilihan pada
buku-buku hiburan yang kadang disebut “enteng”, justru memang kesengajaan
pembaca untuk sejenak me-refresh
pikiran. Nah, beda selera beda guna.
Bibliophile,
apalagi yang bukan, perlu mengetahui garis batas yang tegas antara perilaku book-shaming dan perilaku kritis
terhadap produk buku sebagai sebuah terbitan. Perilaku book-shaming lebih mengarah pada “merendahkan” pilihan atau selera
bacaan seseorang. Bila akan memberikan acuan bacaan, akan lebih baik melalui
saran atau dalam bentuk pertimbangan. Saran atau pertimbangan akan mengarah
pada upaya menuntun bukan menuntut. Di tengah rendahnya minat baca masyarakat,
kemauan untuk membudayakan aktivitas membaca sudah seharusnya disyukuri dan
dirayakan bersama, bukan sebaliknya.
*artikel dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, 5 Juli 2019