Minggu, 29 September 2019

POJOK BACA KELUARGA SEBAGAI PENDUKUNG HABITUS LITERASI

Sumber Foto: http://gambarilus.blogspot.com/2018/11/90-gambar-ilustrasi-orang-sedang-membaca.html


-Children are made readers on the laps of their parents (Emilie Buchwald)-

“Mam, ‘ranum’ itu apa sih?” Begitu pertanyaan Kinash, putri saya, ketika baru saja selesai mendengar kalimat “Si monyet dengan tidak sabar menyambar buah pisang yang ranum itu”. Di bagian yang lain, ia kembali bertanya. “Mam, ‘menyemut’ itu yang bagaimana sih?” ketika saya membacakan cerita dan sampai pada kalimat “Antrean mulai menyemut saat Ibu Rimba akan membagi makanan”.

Bila pertanyaan dari Kinash terlontar, secara otomatis aktivitas membacakan buku, saya hentikan sebentar. Si sulung berusia 6 tahun ini kerap meminta jeda dengan cara “mencegat”. Kemudian, ia mengajukan pertanyaan bila mengalami kesulitan mencerna makna suatu kata. Dengan senang hati, saya akan menjawab pertanyaannya terlebih dahulu, dengan memberi pemahaman dan penggambaran yang sedekat mungkin dengannya. Bahkan, bila diperlukan, biasanya saya mempraktikkan langsung demi menuntaskan rasa penasarannya. Saya perlu memastikan ia puas dengan jawaban yang diberikan sebelum aktivitas membaca dilanjutkan.
 
Aktivitas Membaca Bersama
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Begitulah aktivitas kami saat kegiatan membaca bersama (shared reading), yang kami jadwalkan setiap sore, lepas salat Ashar. Aktivitas tersebut kami lakukan di ruang baca mini, sebelah tangga utama, yang kami ‘sulap’ menjadi pojok baca keluarga. Pembiasaan terhadap aktivitas membaca secara rutin merupakan upaya kami sekeluarga untuk menciptakan budaya literasi keluarga. Iya, penciptaan itu kami awali dari rumah! Tentu perlu tahapan, dimulai dari stimulus terhadap ‘minat baca’, menjurus ke tahap ‘gemar baca’, dan akhirnya tercipta ‘budaya baca’.

***********
Beberapa waktu yang lalu, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Kemendikbud merilis indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) di 34 Provinsi. Hasilnya,  Indonesia termasuk kategori berindeks rendah dengan capaian total 37,32%, dengan rincian 9 provinsi berindeks sedang, 24 provinsi berindeks rendah, dan 1 provinsi berindeks sangat rendah (Puslitjakdikbud, 2019).

Rata-rata capaian total didapat dari indikator-indikator berikut 1) Dimensi Kecakapan (proficiency) yaitu syarat awal seseorang dapat mengakses bahan literasi, dengan hasil riset sebesar 75,92% (kategori tinggi); 2) Dimensi Akses (acces) yaitu sumber daya dukung di mana masyarakat mendapatkan bahan literasi, dengan hasil riset sebesar 23,09% (kategori rendah); 3) Dimensi Alternatif (alternative) yaitu beragam pilihan perangkat teknologi informasi dan hiburan untuk mengakses bahan literasi, dengan hasil riset sebesar 40,49% (kategori sedang); dan 4) Dimensi Budaya (culture) yaitu kebiasaan untuk membentuk habitus literasi, dengan hasil riset sebesar 28,50% (kategori rendah).

Bila menilik hasil riset tersebut, salah satu yang harus segera diperbaiki ialah dimensi akses. Peningkatan dimensi akses akan berbanding lurus dengan peningkatan dimensi budaya. Selama ini, akses masyarakat untuk mendapatkan bahan literasi lebih banyak bersumber dari perpustakaan sekolah, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan umum, dengan pengelolaan secara otonom dan terbatas. Sejauh ini, perpustakaan sekolah hanya diakses dan diperuntukkan bagi warga sekolah, bahkan pemangku kepentingan (stake holder) pun belum terangkul. Perpustakaan komunitas secara kuantitas masih belum memadai. Adapun akses masyarakat ke perpustakaan umum, masih menyisakan berbagai kendala pula: jarak tempuh (karena biasanya terletak di pusat kota), jam pelayanan, atau ketersediaan koleksi bacaan.

Menghadirkan Pojok Baca Keluarga
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Oleh karena itu, perlu ada inisiatif dari pengambil kebijakan dan masyarakat untuk berintegrasi menyosialisasikan dan mewujudkan perpustakaan keluarga. Inisiasi awal bisa berupa pojok baca keluarga. Selain terjangkau seluruh anggota keluarga, kehadiran pojok baca sebagai perpustakaan mini keluarga juga merupakan upaya pendukung habitus literasi keluarga. Dalam mewujudkannya, setiap keluarga tidak harus menyediakan ruangan khusus. Beberapa yang perlu dipersiapkan ialah 1) Menyediakan rak buku di sudut ruangan, 2) Pastikan sirkulasi udara dan tata cahaya baik, serta jauh dari kebisingan suara, 3) Ajak anak untuk turut mendesain dan menata, khususnya memperhatikan keterjangkauan anak terhadap buku-bukunya (Majalah Pendidikan Keluarga, 2017).

Pengejawantahan pojok baca keluarga diharapkan tidak sekadar berhenti pada sebatas wacana. Dalam upaya implementasinya, peran seluruh anggota keluarga amat diperlukan. Aktivitas atau program kegiatan perlu diagendakan secara kontinu, agar manfaat pojok baca keluarga benar-benar terasa. Langkah-langkah yang perlu dapat dilakukan antara lain:

Pertama, menyusun program aktivitas membaca bersama dengan anggota keluarga. Program ini dapat menyesuaikan dengan kondisi tiap keluarga. Contohnya, mengagendakan membaca lantang (read-aloud) bagi anak. Membaca lantang jangan diasumsikan sekadar membacakan buku kepada anak dengan suara nyaring atau keras. Aktivitas membaca lantang perlu menghadirkan ekspresi total, sesuai kadar cerita yang dibacakan. Ini akan menguatkan imajinasi anak mengenai tokoh, karakter, dan konten cerita. Selain, tentu lebih menarik perhatian dan mengembirakan.


Akses Buku Augmented Reality (AR)
Sumber Foto: Dokumentasi Meina Febriani
Bagi generasi kini, aktivitas membaca lantang bisa diinovasikan dengan penggunaan buku elektronik (e-book). Walau tetap disarankan menggunakan buku cetak, untuk meneguhkan consept of print pada anak. Selain itu, generasi Z kini mendapat ruang tumbuh bagi imajinasinya dengan kemunculan buku-buku anak yang terpadu dengan teknologi Augmented Reality (AR). Karakter dalam buku dapat hidup dalam rupa tiga dimensi, usai dipindai menggunakan gawai yang sudah terhubung dengan aplikasi (Silalahi, 2019).

Inovasi lain yang bisa dihadirkan ialah mengeksplorasi tahap pasca membaca lantang, dengan membuat video ketika anak menceritakan kembali isi cerita. Konten dan tampilan video yang telah teredit selanjutnya dapat diteruskan untuk diunggah dalam youtube channel keluarga, sehingga aktivitas ini mempunyai luaran nyata.

Kedua, menunjukkan keteladanan orang tua dalam berliterasi. Dalam pembiasaan membaca, anak tidak perlu dipaksa membaca karena pada dasarnya anak adalah peniru ulung. Mereka akan mengikuti aktivitas yang sering mereka lihat. Keteladanan lebih mempan daripada sekadar perintah belaka.
 
Mengunjungi Pameran Buku
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi

Ketiga, mengajak anak berkunjung ke perpustakaan umum, pameran buku, dan toko buku secara kontinu. Hal tersebut bertujuan untuk mendekatkan anak dengan lingkungan baca. Makin dekat, makin suka!

Bahan Bacaan Sesuai Tahap Perkembangan Membaca Anak
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi
Keempat, menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan tahapan perkembangan membaca anak, baik berdasar aspek fisik maupun aspek konten. Aspek fisik bacaan meliputi kombinasi warna, jenis huruf dan angka, penyesuaian jumlah kata atau kalimat yang muncul secara berjenjang, gambar-gambar, serta dibuat dari jenis bahan yang nyaman dibaca atau dipegang. Aspek konten meliputi alur cerita yang ringkas dan memenuhi rasa ingin tahu, bertema dekat dengan keseharian anak (tentang hobi, binatang piaraan, benda-benda kesukaan, dsb), serta penokohan yang berkarakter dan inspiratif. Lebih lanjut, Hasim (2016) menyebut gairah membaca perlu didukung oleh asupan buku yang “bergizi”, yaitu buku yang tertata bahasa dan tampilannya, jernih alur kontennya, dan menggugah pikiran untuk memahami maknanya.

Selain untuk menumbuhkan budaya baca, pengembangan budaya literasi keluarga juga akan membangun hubungan personal yang apik antaranggota keluarga. Inisiatif pengadaan pojok baca keluarga dapat menjadi penyangga awal tradisi baca keluarga. A home without books is like a body without a soul (Cicero). Ayo membaca!

#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga

Referensi:
Hasim, Hernowo. 2016. “Flow” di Era Socmed: Efek-Dahsyat Mengikat Makna. Jakarta: Kaifa-Mizan Publishing.

Majalah Pendidikan Keluarga Edisi 6 Tahun Ke-2 Agustus 2017. Jakarta: Dirjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat.

Puslitjakdikbud. 2019. Indeks Aktivitas Literasi Membaca 34 Provinsi-Ringkasan. Jakarta: Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Silalahi, Uli. 2019. Buku Augmented Reality: Terobosan Baru di Book Bad Wolf 2019. https://travel.kompas.com/read/2019/02/20/121700427/buku-augmented-reality-terobosan-baru-di-book-bad-wolf-2019, diakses 29 September 2019.

Jumat, 27 September 2019

KESADARAN LITERASI PERLU TERUS DITINGKATKAN




Judul                : Literasi
Penulis             : Djoko Saryono
Penerbit           : Pelangi Sastra
Cetakan           : April, 2019
Tebal               : XVI+92
ISBN               : 978-602-54101-3-0

Belakangan istilah literasi kian melejit. Demikian pula program dan kegiatan literasi makin mer­ambah masyarakat dan pemerintahan. Aktivitas ini meluas karena kesadaran sangat fundamental dan strategis bagi kemajuan dan masa depan bangsa. Kemajuan bangsa juga ditentukan tradisi dan budaya literasi. Berbagai kalangan terus menyebarluaskan ke­giatan dan budaya literasi.
Buku ini berupa risalah literasi se­bagai episentrum kemajuan kebuday­aan dan peradaban dunia, termasuk Indonesia. Di tengah-tengah konfigurasi kebudayaan dan peradaban lain, bangsa Indonesia sedang terayun-ayun diantara rentangan (kontinum) zaman kelisanan, naskah, literasi, dan kelisanan sekunder secara serempak (simultan).
Era digital kini bila tidak memiliki tradisi literasi kuat, sulit punya tradisi intelektual. Sekarang berbagai gugus (nebula) kebudayaan dan peradaban yang bertumpu pada kelisanan primer atau naskah makin sulit berkembang. Dia tidak sanggup merespons per­ubahan. Dia akan tertinggal dari ke­budayaan yang bertumpu pada literasi atau kelisanan sekunder.
Pembaca dapat menyaksikan kemajuan mengagumkan kebuday­aan dan peradaban Jepang, Korea, Tiongkok atau India berkat literasi yang dialasi tradisi baca tulis baik. Literasi merupakan kunci bagi kotak alat (toolbox) berisi pemberdayaan, kehidupan lebih baik, keluarga sehat, dan peran serta kehidupan demokrasi. Literasi berfungsi sangat mendasar bagi kehidupan modern. Hal tersebut memungkinkan semua memperoleh akses informasi apa pun. Dengan kata lain, literasi menjadi langkah pertama sangat berarti untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Dewasa ini taksonomi atau kat­egorisasi literasi juga terus berkem­bang, termasuk hakikat, konsep, dan modelnya. Menurut Programme for International Student Assessment ada literasi ilmiah (ilmu pengetahuan), matematis, dan membaca. UNESCO menambahkan literasi informasi dan media. Seiring proses digitalisasi, berkembang pula istilah literasi digital. Kelak, bukan tidak mungkin kategori ini terus berkembang.
Akar taksonomi literasi adalah kemampuan berpikir kritis-kreatif ditopang membaca dan menulis. Maka, tradisi baca-tulis harus secara serempak dibentuk, diperkuat, dan dipelihara sebaik-baiknya dalam tiap individu. Ikhtiar ini dapat diwujudkan melalui pendidikan, pengajaran, pem­belajaran, pemasyarakatan, penerbi­tan, dan pendampingan.
Khusus dalam dunia pendidikan atau pengajaran pada umumnya, tradisi baca-tulis dapat berkembang pesat karena kesukaan, kegemaran, dan kebiasaan. Perpustakaan seko­lah pun menyediakan bacaan-bacaan yang diperlukan subjek didik, se­hingga kegemaran membaca dan menulis terpupuk dengan baik. Pendi­dikan menjadi instrumen efektif untuk membentuk dan memantapkan tradisi baca-tulis secara berkelanjutan.
Sayang, sekarang penguatan dan pemantapan tradisi baca-tulis tidak berjalan mulus. Ada kemandekan atau malah kemunduran (involusi) yang mengakibatkan secara tidak langsung juga involusi berpikir kritis-kreatif. Maka, kemerosotan mutu literasi kian terasa. Involusi tradisi baca-tulis men­jauhkan masyarakat dari literasi. Yang terjadi malah kembali pada tradisi lisan.
Penyebab involusi tradisi baca-tulis antara lain berkembangnya pragma­tisme dan liberalisme dalam penyelenggaraan atau pengelolaan negara dengan kebijakan yang tidak strategis. Kemudian, berkembangnya teknologi komunikasi terutama internet dan jejaring sosial yang massif. Sayang, hal ini tidak diikuti transformasi budaya dengan baik. Diresensi Santi Pratiwi Tri, Universitas Negeri Semarang.


*Resensi telah dipublikasikan di Koran Jakarta, 27 September 2019


Kamis, 26 September 2019

THE PROFESSORS: HIKAYAT BEGAWAN DARI KAMPUS SEKARAN (BAGIAN 1)





Kali ini, saya tak hendak membuat book-review secara lengkap. Toh, buku yang memotret 55 guru besar UNNES ini sudah launching sejak 2013 silam. Niat "melanjutkan baca" muncul akhir minggu lalu. Rencana sempat urung karena lupa baca sampai halaman berapa. Sudah lah, saya mulai lagi saja dari halaman belakang :)

Petualangan baca (Part 1) ini baru menyisir liku kisah 13 profesor: Prof Sukes, Prof Wi, Prof Wasino, Prof Warsono, Prof Wahyu, Prof Marhaeni, Prof Tri Joko, Prof Totok, Prof Tjetjep, Prof Tandiyo, Prof Suwaji, Prof Yahmo, Prof Supriadi, dan Prof Partono.


Dari 13 kisah, saya ngakak sepanjang baca kisah Prof Tri Joko (FIP) :), narasinya membuat saya membayangkan betapa "kemampleng"-nya beliau ketika muda. Penggambaran sosok yang punya sifat sosial tinggi tetapi "kemakine ra umum", membuat saya gemes mes! Kata beliau "Saya ini profesor, masak disuruh ngurusi kuitansi-" hahaha. Saya paham, Prof! :)


Kisah Prof Tjetjep (FBS) adalah salah satu favorit saya :). Saya bisa merasakan, betapa integritas keilmuan beliau amat terjaga. Tidak berhenti belajar, dengan pengembangan diri yang menawan. Kata beliau "Jangan pernah sekali-kali memalsukan data penelitian. Siapapun atau apapun nantinya kamu, kejujuran adalah hal yang utama. Jangan pernah "mengumpulkan" hasil penelitian palsu. Manusia hidup yang dilihat adalah integritasnya. Duh, Prof. Makjleb! :)


Membaca Prof Tandiyo (FIK) secara pribadi adalah menyelami ketangguhan mental perempuan. Tantangan dimaknainya sebagai kepercayaan. Saya hanyut dan sesekali tersenyum kecut mendapati kisah awal karier dan studi pascasarjana beliau.


Pengalaman head to head dengan dosen di kelas doktoral, kalau buat saya yaaa jelas bikin gentar :). Mendapati tantangan deadline dari dosbing hingga dicurigai akan membuat jasa pengetikan saking ngebutnya ngetik manual adalah epik cerita terpingkal-pingkal :). Pun dengan kisah khayalan punya uang sejuta untuk biaya tanding softball dengan membeli SDSB di Johar, hahaha. Prof, serius ini, beli lotre gitu? :)


Acungan jempol layak diberikan ketika beliau memutuskan tidak memperpanjang lisensi menjadi juri senam dengan alasan memberi kesempatan kepada juniornya. Terlihat biasa saja, tetapi dalam maknanya. Berbesar hati bukan sifat yang bisa dimiliki hanya dalam laku semalam.


Hmmm... saya jadi menimang-nimang, beberapa orang kadang terbelenggu dalam kubangan persaingan (kurang sehat) antarteman. Bukankah persaingan dengan ego diri justru lebih menantang?


To be continue (Part 2) - entah kapan ðŸ™ˆ

Selasa, 24 September 2019

THE BASA INTERNATIONAL SEMINAR 2019




Yaps, selesai. Dua hari kemarin, saya dan teman-teman ini 'plesir akademik' ke Solo. Teman-teman FIB Sasda UNS mengadakan forum ilmiah mengenai Kajian Mutakhir Bidang Bahasa, Sastra, dam Budaya.

Plenary I diawali sajian materi dari Prof. Oman (UIN Jakarta) yang mengeksplorasi manuskrip Sheikh Muh Said (SMS). Riset beliau mengenai koleksi manuskrip keluarga SMS di Marawi City dengan pendekatan kodikologis dan filologis merupakan upaya mencari jawab atas korelasi antara Komunitas Muslim Mindanao dan dunia Melayu-Islam.

Chaterine Baron (France) merupakan narasumber kedua yang mengejawantahkan kearifan lokal dalam arti luas: air merupakan bagian dari budaya, dan termaktub dalam manuskrip-manuskrip lawas!

John Paterson (Australia) dari Yayasan Sastra Lestari sebagai narasumber ketiga hari itu mengkampanyekan urgensi digitalisasi manuskrip dan produk publikasi sastra lama. Bagaimana cara memulai, proses implementasi, program open data dengan online platform, riset dan studi lanjutan, serta rencana jangka panjang disampaikan dengan cukup detail.

Adapun, plenary II pada hari kedua diawali sajian materi yang apik dari Prof. Marlam (UNS). Beliau membentangkan kajian peribahasa Jawa. Banyak contoh disajikan, termasuk mengenai "gugatan terhadap peribahasa BI" yang disampaikan oleh praktisi Gustaaf Kusno. Dua simpulan paparan beliau: 1. Javanese proverbs function as persuasive social controls, dan 2. By understanding proverbs, we will know human nature and character!

Katrin Bandel (Germany) sebagai narasumber berikutnya menguak cara bersastra kaum 4.0 dengan lugas. Fokus paparan pada 'arranged marriages in Indonesian Novels'. Keromantisan (yang tergugat paksa karena pola perjodohan) dalam versi era modern kini ternyata tak berbeda dengan era kolonial dulu dan cukup menggugah antusiasme pembaca. Novel yang beliau kaji adalah novel 'Hati Suhita'-nya Khilma Anis (2019). ReflekS, saya langsung ingat lagu Dewa 19 -Cukup Siti Nurbaya!-

Sebagai pamungkas, Mister Kundharu (UNS) menyampaikan reviu mengenai manuskrip kami, para peserta, beserta peluangnya untuk terpublikasi dalam prosiding terindeks Scopus ðŸ˜‹. Materi, tips, dan trik yang disampaikan sama persis dengan yang beliau sampaikan dalam Klinik Manuskrip Jurnal beberapa waktu lalu di Unnes. Yang jelas, peluang manuskrip jurnal dan artikel konseptual saya sama. Dua-dua berpotensi di-reject oleh reviewer, hahaha. So, keduanya perlu direvisi segera. Hmmm... ya... ya... ya... ðŸ˜‚

KELAS KAMI DI KEDAI KOPI! (1)

Kedai Kopi Kang Putu 



"Di awal pertemuan ini, saya mengingatkan sampeyan semua, bahwa tidak ada guru dan murid di "kelas" ini. Kita saling belajar, berbagi pengalaman, berdiskusi, dan (sangat boleh) mengkritisi", begitu ucap Gunawan Susanto, yang akrab kami sapa Kang Putu.



Ya, mulai Senin minggu lalu. Saya bersama bro Widodo (sejawat dosen di BSJ Unnes), bro Fahmi (mapres bin debater dari FE), bro Muvti (teman guru dari Demak), mb Renyta (teman guru dari Mranggen), dan mb Mugi (eks TKW Hongkong) dipertemukan di kedai kopi sederhana milik Kang Putu, yang lokasinya "mblusuk" sekali, hehe.

Kami diperkenankan 'ngangsu kawruh' lewat Kelas Menulis periode kesekian yang dibuka beliau untuk 6 orang saja. Tanpa bayar. Namun, kami dituntut konsisten hadir, bertanggung jawab atas pilihan mendaftar, dan membawa produk tulisan mulai pertemuan ketiga. Artinya, ada yang (sedang) menantang produktivitas menulis kami!
Apa bisa? "alah bisa karena biasa", beliau meyakinkan. Kalau soal "mampu" nulis, mestinya iya, kami mampu. Namun, kalau soal apakah "mau" nulis, nah... sepertinya entah berapa alasan yang akan (coba) kami hadirkan untuk menutupi kemalasan atau ketidakkonsistenan kami untuk berlatih menulis.

Dalam pertemuan pertama, kami berdiskusi seru "mengapa kami perlu menulis?" dan "ditujukan untuk siapa tulisan kami?". Jawaban kami beragam, disertai bumbu pengalaman menulis masing-masing.

Sampai pada diskusi mengenai konten tulisan, Kang Putu mengatakan "Dalam menulis, kita tidak perlu sok tahu. Tulis saja apa yang sampeyan tahu. Jujur saja lah -no gimmick! Dan, menurut saya yang paling penting, sampeyan sendiri juga harus paham apa yang ditulis."

Kelas ini makin hidup ketika di sela-sela diskusi kami, Kang Putu berkenan turut berbagi pengalaman-pengalaman beliau mengenai penulisan dalam pola kerja jurnalistik. Sebagai redaktur sastra di Suara Merdeka, beliau punya banyak stok cerita atau "kasus-kasus" penulisan yang layak diambil pelajaran. Pun, ada banyak ulasan mengenai esensi karya-karya yang sudah beliau baca.

Praktis, tidak ada teori menulis yang kami bahas secara khusus di "kelas" ini. Kalaulah muncul, teori-teori itu melesap dalam diskusi kami. Toh, teori yang kadang dibangun sendiri oleh penulis, justru memunculkan ketakutan dan kemudian menjadi hambatan. Merdeka saja lah!

Dalam pertemuan kedua, Senin lalu, topik diskusi kami mengenai "cara mengolah ide dengan bahasa yang tidak klise". Sulit? Iya sih, hehe. Dalam diskusi, saya mengaku sering comot kata dari sana-sini, hahaha. Parah!

Kang Putu menyibak 2 klasifikasi, yaitu Konvensi dan Inovasi. Konvensi menjurus tunduk pada kaidah. Adapun inovasi bersifat manasuka. Berarti bebas dong? Iya, bebas tetapi harus presisi! Dalam kerja jurnalistik, bahasa yang tidak presisi akan menyembunyikan informasi. Bila terjadi, maka fakta bisa tidak sepenuhnya "diudari", ada yang tersembunyi. Inovasi dalam berbahasa (sebenarnya) membidik autentisitas penulisnya. Ia perlu menggali, eksplorasi, mematangkan lewat tempaan tulisannya.

Bahasan diskusi kami berikutnya mengenai segmentasi pembaca. Apa yang bisa kami lakukan? Kenali dan amati! Sebagai penulis, kita perlu mengenali "medan". Ini bukan soal kuantitas, berapa puluh, ratus, atau ribu pembaca, melainkan agar kita tidak menulis "di ruang kosong". Apalagi, kalau ada misi -kebermanfaatan- yang kita harapkan dari tulisan kita.

Namun sejauh ini, pada level kami ber-enam, bisa menulis lancar dan perlahan mampu menghilangkan pretensi yang menghambat saja -hmmm... sudah alhamdulillah sekali.

*Sekilas review materi diskusi kami. Mungkin ada manfaatnya, tapi sebenarnya modus saya untuk memanipulasi ingatan saya yang pendek dengan menuliskannya di sini sebagai pengingat.

Kamis, 12 September 2019

MENYIAPKAN GENERASI MULTILINGUAL


Dalam era revolusi digital kini, merayakan aksara mestinya bukan lagi melalui aktivitas yang prosedural dan kosmetikal belaka. Gaung “mendadak literasi” di berbagai bidang diharapkan tidak berhenti pada pelabelan saja. Literasi bukan sekadar tahu aksara, hakikat literasi fokus pada kemampuan berpikir kritis-kreatif tentang sesuatu yang dilandasi atau disangga oleh  kuatnya budaya baca (Saryono 2019).

 Kini berbagai pemikiran kritis-kreatif sangat mungkin dikomunikasikan tanpa batas atau tak bersekat antarbangsa. Medium bahasa dapat menjadi penghela. Dalam banyak hal, antara pandangan, budaya, dan pengetahuan global sering bersinggungan, pun berdampingan. Oleh karena itu, merengkuh keberagaman bahasa (multilingual) dalam praktik keberaksaraan sangat diperlukan sebagai landasan pemberdayaan individu dan pembangunan berkelanjutan.

Literasi dan Multilingual. Kedua hal tersebut menjadi fokus perayaan Hari Aksara Internasional ke-54 tahun ini. Kegiatan internasional yang diperingati setiap tanggal 8 September ini, berada di bawah naungan UNESCO sebagai bentuk komitmen mengawasi dan menjaga tingkat keberaksaraan warga dunia. Bila menilik perkembangan kesadaran berliterasi di Indonesia sendiri, kemajuan kian terasa, akan tetapi tantangan-tantangan juga terus mendera. Diantaranya, akses layanan pendidikan nonformal bagi warga niraksara, kerentanan aktivitas berliterasi yang simultan dengan kelisanan sekunder, dan bahkan banyak ditemui kasus lupa aksara saking lamanya vakum dari aktivitas beraksara.  

Melek aksara merupakan bagian penting dari pengajaran dan pendidikan bagi semua (Literacy for All). Hal tersebut bukan imperatif nasional semata, melainkan imperatif global. Kehidupan tanpa penguasaan aksara di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informatika, ibarat air dan minyak yang tidak akan bertemu walaupun dituang dalam wadah yang sama. Literacy for All memungkinkan semua warga memperoleh akses informasi apapun, yang bila diolah dan dikembangkan dengan baik, akan berkontribusi besar pada peningkatan kualitas hidupnya.

Level Budaya Baca
Pemerintah sendiri bukan tanpa upaya untuk terus berkomitmen memberantas buta aksara dan meningkatkan kesadaran berliterasi masyarakat. Semangat merawat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di bawah sektor pendidikan nonformal terus dilakukan. Pendidikan keaksaraan dasar dan lanjutan menjadi salah satu program prioritas.

Selain itu, Gerakan Literasi Nasional (GLN) pun telah dicanangkan sejak 2015 silam. Hanya saja, dalam kondisi dengan durasi perubahan yang amat cepat, gerakan tersebut masih sebatas pada gerakan “gemar” baca. Penetrasi belum sampai pada level “budaya” baca. Namun, upaya tersebut telah mengarah, berada pada trek yang benar. Efek positif GLN diharapkan segera bermuara dan bermakna karena berbagai bidang kehidupan mulai serba berporos pada pengetahuan dan kreativitas. Dalam bidang ekonomi, misalnya, muncul ekonomi kreatif, industri kreatif, wirausaha kreatif, dan sebagainya.

Generasi Multilingual
Bertumpu pada kondisi tersebut, simpulan awal menunjukkan pengetahuan/intelektual dan kreatif/kultural merupakan aset atau modal yang penting bagi generasi masa kini dan masa depan. Penguasaan literasi memungkinkan generasi berikutnya mampu mengembangkan tradisi pemikiran yang cermat dan mulai meninggalkan kebiasaan berpikir naif dan mistis.

Fase penyiapan generasi dengan penguasaan (berbagai taksonomi) literasi yang kokoh,  perlu ditopang kecakapan beraksara dalam beragam bahasa (multilingual). Rigiditas pandangan terhadap multilingualisme perlu dienyahkan secara perlahan. Perlu diingat, kecerdasan berbahasa merupakan salah satu kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang perlu terus diasah.

Budaya beraksara bagi generasi multilingual dapat dimulai (stimulasi) dan dibentuk dari rumah atau lingkungan terdekat, melalui Budaya Literasi Keluarga (family literacy first). Setyo Handryastuti, neurolog UI, menyebutkan usia 8-10 tahun merupakan periode emas penyiapan kefasihan berkomunikasi multilingual. Periode tersebut diawali dengan kesiapan mematangkan artikulasi, memperkaya kosakata, dan memantapkan penyusunan kalimat tunggal sejak usia 3 tahun. Buku-buku, video, dan bahan ajar lain yang fokus pada bahasa sasaran yang sedang dipelajari, dapat menjadi media pembelajaran.

Tipikal era digital dengan laju informasi global yang begitu deras, makin menguatkan perlunya kesiapan penguasaan multilingual bagi generasi mendatang. Selain untuk mendukung kecakapan abad 21, keberaksaraan multilingual juga dapat menjadi senjata utama melawan berita-berita bohong (hoaks) yang (akan) terus mengempur mereka. Generasi multilingual diharapkan menjadi agen literasi dan teladan bagi masyarakat literat. Today a reader, tomorrow a leader

*Dimuat di Harian Suara Merdeka, 12 September 2019



KULIAH PAKAR ADOBSI