Sumber Poster: Dokumentasi Pribadi |
https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/snppm/article/view/33395
Sumber Foto: tokopedia.com |
Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga
pada periode terakhir tantangan 1 week 1 post-nya komunitas
Gandjel Rel Semarang (Gres). Pertama kali tahu info program ini dari grup WA
anggota. Kupikir “seru juga nih tantangan”, mengingat ada waktu yang harus
disisihkan untuk menulis, walau tidak sibuk sekali dan tidak selalu tahu banyak
hal. Tanpa pikir panjang, langsung klik tautan untuk gabung dalam second
line grup WA komunitas, khusus untuk program ini. Beberapa teman Gres turut
serta pula walaupun tidak semua. Berada dalam lingkungan yang positif, kuyakini
turut mengiringku ke arah positif pula. Begitu masuk dalam grup, penjelasan
dari admin grup yang cukup instruktif dan sangat jelas amat membantuku memahami
aturan dan ketentuan yang kemudian menjadi kesepakatan.
Menurutku
dari sekian banyak aturan dan ketentuan, yang terseru adalah ketentuan tema
yang diberikan setiap akhir pekan dan aturan mendapatkan poin dari setiap
tantangan menulis yang tertuntaskan. Huhuhu, awalnya aku memahami pelan-pelan,
mengira-ngira kemampuan, dan langsung tancap gas mulai tertantang
menaklukkan. Aku masih ingat periode pertama bertema “Kanjuruhan”. Saat itu,
tema ini sedang hangat dibicarakan. Namanya saja tema, tentu saja cakupannya
luas dan besar. Aku memilih mengambil sudut pandang dari sisi penonton
anak-anak yang turut banyak menjadi korban. Selesai periode pertama,
periode-periode berikutnya bisa kuselesaikan walau beberapa mepet dengan
tenggat waktu pada akhir pekan.
Dari delapan tema yang dilempar, buatku satu tema termudah adalah buku favorit. Relatif mudah karena aku bisa mengeksplorasi dengan cepat hal apa yang akan menjadi bahan tulisan. Well, termudah ya cerita saja buku yang saat itu sedang kubaca. Buku “Mindset”-nya Carol S Dweck lah yang kemudian kena sorot untuk diulas pada bagian-bagian awal yang telah tuntas kubaca sebelumnya. Bagiku, tema yang paling menantang adalah tema periode 7: “kebaya merah”. Walau bebas, anggapan yang dominan muncul di pikiran tentu terkait kasus viral konten dewasa yang diperankan wanita muda berkebaya merah. Aku tidak terlalu mengikuti kasus tersebut, sekilas saja membaca beberapa headline koran yang mengangkat kasus tersebut. Nah, di sinilah upaya untuk mendapat bahan tulisan, eksplorasi angle, dan penentuan akhir dibutuhkan. Aku coba membaca beberapa referensi terkait pornografi yang terfokus pada dampak bagi anak, kemudian memutuskan untuk menuliskan tips sederhana terkait upaya preventif yang bisa dilakukan orang tua.
Wuuuh… selesai walau tidak terlalu
puas dengan keseluruhan tulisan, tetapi membaca delapan tulisan nangkring di
beranda laman pribadi setiap minggu adalah sebuah pencapaian. Terima kasih
wahai tim GR atas program ini. Mari berlanjut! 😊
#1W1P
#GandjelRel
Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi |
Beberapa minggu lalu, jagad Twitter
dihebohkan dengan kemunculan konten bertajuk “kebaya merah”. Selintas,
penggunaan diksi yang viral ini cukup provokatif bagi yang baru mendengar atau
membaca. Memang ada apa dengan kebaya merah? Begitu dominan respon awal yang
muncul. Setelah ditelusur lebih dalam, istilah ini dipakai untuk mendeskripsi
wanita dalam satu video berkonten dewasa yang mengenakan baju kebaya berwarna
merah. Tak ayal, cukup banyak yang terkecoh dengan istilah tersebut, tak
terkecuali pengguna Twitter yang masih remaja atau (bahkan) masih berusia di
bawah umur.
Banyak pihak, terutama orang tua tentu telah
mengupayakan berbagai cara agar anak-anak tidak terpapar konten-konten yang
demikian. Namun, kemerdekaan akses dan minimnya pendampingan saat anak-anak
berselancar (searching), kadang menjadi pembuka kran atas akses
konten-konten tersebut. Apalagi, penggunaan istilah yang mendukung viralitas
konten juga tidak dapat selalu ditebak. Makin provokatif, makin intimidatif
untuk membunuh rasa penasaran. Selain itu, tidak dapat dipungkiri, pendampingan
maksimal tentu hal yang mustahil ketika orang tua atau orang dewasa di sekitar
anak harus bekerja serta beraktivitas lain pula. Pun, anak-anak tidak selalu
mengakses keseluruhan konten dengan perangkat atau jaringan internet di rumah.
Beberapa
praktisi dalam berbagai bidang, seperti bidang pengasuhan (parenting),
bidang literasi digital, bidang komunikasi memberi cukup banyak tips yang perlu
diupayakan orang tua dalam meminimilisasi dampak buruk akses terhadap
konten-konten yang belum sesuai usia anak. Upaya tersebut lebih mengarah kepada
upaya preventif, antara lain mengaktifkan google safesearch mode, screentime
mode, dan parenting controls mode. Aktivasi atas beberapa mode
yang tersedia tersebut tentu bukan tanpa konsekuensi. Namun, upaya perlu dicoba
daripada muncul penyesalan nanti.
Aktivitas
google safesearch mode dapat diaktifkan dengan melakukan pengaturan atas peramban
(browser) yang biasa digunakan oleh anak. Selain itu, mengaktifkan
penelusuran aman juga akan memberi level penggunaan yang lebih “bersih” bagi
anak. Keseluruhan perangkat perlu untuk dicek secara berkala oleh orang tua
untuk memastikan apakah pengaturan yang telah dilakukan masih berjalan.
Pengguna iPhones atau iPads dapat pula memanfaatkan fasilitas screentime
mode untuk mengendalikan penggunaan gawai atau tablet oleh anak.
Adapun fasilitas parenting controls mode, salah satunya memberi
penawaran untuk pemantauan penggunaan media sosial. Beberapa fitur-fitur
tersebut dapat dipelajari, disimulasi, dan diberdayakan oleh orang tua untuk
menunjang upaya preventif meminimalisasi paparan konten-konten sensitif bagi
anak.
#1W1P
#GandjelRel
Sumber Foto: http://pilea-eureka.blogspot.com/ |
Senang banget. Iya, begitu gambaran
perasaan ketika aku berada di dalam mobil jeep warna putih sore jelang petang hampir
15 tahun lalu. Mobil kekar itu membawaku dari Timika menuju Tembagapura, kota
di atasnya. Jalannya terjal menanjak di jalanan keras bebatuan khas pegunungan.
Aku yang duduk di bagian belakang terombang-ambing dan beberapa kali ingin
muntah, mual sekali. Sesekali aku melirik lewat jendela samping, wuuuh… awan
putih bersih bergumpal-gumpal ada tepat di sebelah kaca. Spontan aku nyeplos: “Kayak
di (film) Denias ya”, dan sopir jeep dengan lekas menyahut: “Kan memang shooting-nya
di sini”.
===
Denias kutonton sebelum berangkat ke Tembagapura tahun 2007 lalu. Aku menyetujui kontrak mengajar persiapan ujian akhir bagi para peserta didik SMP di bawah Yayasan Pendidikan Jayawijaya. Ada dua tim yang berangkat, satu tim bertugas di Mimika dan satu tim bertugas di Tembagapura. Aku masuk tim yang bertugas di Tembagapura. Sesuai briefing awal, aku mengajar di sebuah sekolah yang berada dalam area PT Freeport Indonesia. Yang kutahu kemudian, Denias diangkat dari kisah nyata seorang anak bernama Janias, yang merupakan alumnus sekolah tempatku bertugas. Bahkan, banyak guru-guru sejawatku di sekolah tersebut yang terlibat sebagai cameo.
===
Alam Papua yang menakjubkan adalah
visual yang terekam kuat dalam ingatan begitu rampung menonton film Denias.
Selain hal itu, kisah perjuangan seorang anak daerah dengan setting
sekolah, kostum khas, kondisi masyarakat sekitar sungguh memberi wawasan baru
buatku. Denias ada dalam daftar ingatan awal yang muncul ketika aku ditanya: “Apa
film favoritmu?” Bersyukur sekali, aku berkesempatan mengunjungi, menikmati,
menghirup udara Papua, yang sebelumnya hanya kulihat di dalam film Denias. Aku
tak mengerti detail mengenai kesenjangan atau politik kepentingan yang muncul
di sana, tetapi aku menyaksikan bagaimana masyarakat asli tetap mempertahankan
kekhasan yang dimilikinya. Beberapa kekhasan tersebut tercermin kuat pada
beberapa peserta didikku pula. Kekhasan tersebut antara lain nama diri, pemertahanan
bahasa asli dalam komunikasi sehari-hari, noken yang senantiasa menemani, dsb.
Semoga, suatu hari nanti bisa berkunjung ke sana lagi.
#1W1P
#GandjelRel
Sumber: https://www.ekrut.com/media/bad-mood |
Sebagai pecinta buku, saya kadang
menemu rasa semangat yang membuncah pun rasa malas yang sangat untuk
beraktivitas dengan buku. Mood swing cukup berpengaruh, walau tidak
terlalu parah. Bila good mood, saya merasakan sekali “senengnya” baca
buku, semangat nerima hal-hal baru, stabilo sana-sini bagian-bagian seru dan mindfulness,
menikmati alur dan pola pikir penulisnya. Bagaimana bila sedang badmood?
Terkadang dalam kondisi yang tidak ideal tersebut, saya coba untuk menolong
diri sendiri 😊
Badmood yang saya rasakan biasanya karena amburadulnya
manajemen waktu, yang akhirnya mbulet mau ngerjain yang mana dulu.
Mengapa amburadul? Karena belum mampu menyingkirkan distraksi. Nah, rumit! 😊 Kalau sudah teridentifikasi masalah internal begini,
tentu saya harus berupaya pula membantu diri secara internal pula. Buat saya,
menyamankan diri menjadi senjata pertama dan utama.
Beberapa hal yang saya lakukan
untuk coba menyamankan diri, antara lain mengikuti “arah” mood terlebih dahulu.
Saat badmood, hakikatnya saya tetap ingin membaca, tetapi malas 😊 Bekal “ingin” itulah yang saya coba berdayakan.
Minimal, saya mengikuti arah mood menuju ke buku genre apa. Artinya,
tidak memaksakan harus membaca buku yang beberapa hari terakhir sedang dibaca
dan coba diselesaikan. Selain itu, tidak melulu harus buku yang ada kaitannya secara
akademis dengan posisi saya sebagai mahasiswa atau sebagai pengajar. Buku-buku selfhelp,
buku-buku agama, novel yang saya miliki punya kans yang sama untuk saya pilih
dan kemudian baca 😊 Intinya, baca dengan hati senang, merdeka, dan tanpa
tuntutan apapun.
Yang coba saya lakukan pula untuk tetap
akrab dengan aktivitas baca dalam kondisi badmood adalah menata setting
baca, baik coba membaca di luar ruangan (outdoor) atau kadang tetap
memilih di dalam ruangan (indoor). Selain itu, waktu beraktivitas dan
posisi baca juga perlu disesuaikan dengan mood yang sedang kacau 😊 Hakikatnya mengupayakan untuk tetap beraktivitas baca
dan siap dengan segala atmosfer yang akan diarungi. Terkait durasi baca, saya
biasanya menggunakan aplikasi Forest App untuk membantu menyingkirkan
distraksi. Bagi saya, tingkat keefektifannya masih rendah tetapi cukup membantu
😊
#1w1p
#GandjelRel