Jumat, 31 Desember 2021

NODEFLUX: KONTRIBUSI GLOBAL SI KELEDAI PINTAR VIA KECERDASAN ARTIFISIAL

“Teknologi memberikan potensi kepada kehidupan untuk berkembang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya – atau untuk menghancurkan diri sendiri” (Max Tegmark)


Pernyataan fisikawan MIT dalam Life 3.0 itu serta merta membuat tanganku meraih spidol merah jambu, otomatis menempelkan ujung lunaknya di bawah ketikan rapi pada bagian prolog, penanda permulaan bab baru. Aku tertarik dengan dua kata kunci yang berseberangan: “berkembang” dan “menghancurkan”. Rasanya perubahan memang selalu menghadirkan dua irisan. Kemudian, kita akan dihadapkan pada dua efek, yang dimaklumi sebagai keniscayaan: positif dan negatif.


Aku teringat bagaimana warganet (netizen) riuh menanggapi pernyataan Presiden Jokowi saat Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (Musrenbagnas RPJMN) 2020-2024, yang berkomitmen untuk menggantikan para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan robot kecerdasan artifisial. Setidaknya, warganet terbagi dalam tiga kelompok besar bila dicermati berdasarkan dropping komentar: kelompok skeptis teknologi, kelompok utopia digital, dan kelompok “pendukung” gerakan memaksimalkan potensi kecerdasan artifisial (artificial intelligence).


Mereka yang skeptis mengakui kelahiran kecerdasan artifisial sebagai produk teknologi, tetapi pesimistis soal implementasi. Kaum utopis digital cenderung menyambut kecerdasan artifisial dengan senang hati, walau paham harus melalui proses adaptasi. Nah, para suporter kecerdasan artifisial lah yang siap memeluk evolusi ini dengan mengeksplorasi potensi. Bahkan, sebagian kecil mulai menangkap peluang kecerdasan artifisial sebagai akses kontribusi bagi negeri.


Kelompok yang terakhir ini tidak melulu memainkan peran dalam satu posisi. Kucermati, beberapa akademisi memulai andil dengan riset-riset untuk menggali dan melakukan komparasi atas keunggulan teknologi. Pemerintah bergerak lewat kebijakan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial 2020-2045. Adapun, para pengembang kecerdasan artifisial bergegas menyusun rangka perusahaan rintisan (start up). Pionir rintisan pada bidang ini di Indonesia adalah Nodeflux.


Kelahiran Nodeflux

“Simple ya! Ada masalah apa di masyarakat, let’s solve it! (dengan) teknologi sih.” ujar Ais, co-founder dan Chief Technology Officer (CTO) Nodeflux, saat menyampaikan kepada kami, pemirsa siniar (podcast) Startup Studio ID x Impactto, yang berkolaborasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Juli lalu. Artinya, semua yang akhirnya terkonsep mutlak berbasis pada problem yang ditemui masyarakat. Nodeflux mencoba hadir sebagai pemberi solusi dengan teknologi.


Pria bernama lengkap Faris Rahman ini menceritakan kelahiran Nodeflux dengan riang dan penuh optimisme akan kebutuhan dan pasar kecerdasan artifisial pada masa mendatang. Namun demikian, ia menyebut bahwa Nodeflux tidak selalu nangkring di atas jalur tol yang lancar; bebas hambatan. Pada awal kelahiran, jalan terjal mesti dilalui perusahaan rintisan ini, layaknya proses normal pertumbuhan.


https://www.nodeflux.io/


Ais tidak sendiri dalam membidani Nodeflux. Pria berkacamata ini berpartner dengan Meidy Fitranto, yang karib dipanggil Memet. Mereka bahu membahu merancang cikal bakal Nodeflux sejak Januari 2016. Memet berperan sebagai co-founder dan Chief Executive Officer (CEO). Keduanya bersahabat sejak SMP dan bertemu kembali di Teknik Industri Institute Teknologi Bandung (ITB). Sebelum terjun di bidang pengembangan kecerdasan artifisial ini, keduanya sudah bergelut dengan karier masing-masing. 


"Udah sejak kuliah, kita sering jualan software bareng sih. Kita explore banyak hal, mulai dari buat-buat software, games, (bisnis) kulineran juga" ujar Memet.



"Saya sebelumnya bekerja di oil company yang besar, tetapi saya lebih banyak kerja sampingannya sih, hahaha. Intinya my heart and my mind tidak di situ lah ya. Saya lebih suka create something. Akhirnya, kami saling kontak kembali karena ada proyek bersama. Namun, karena satu dan lain hal proyek itu gagal, padahal produk sudah hampir selesai. Dari situ lah, kami mulai berpikir untuk merintis usaha ini" lanjut Ais, yang diamini oleh Memet.


Nama Nodeflux mereka rancang karena lebih "menjual". Awalnya mereka lekat dengan nama Donkey Smart. Memangnya ada keledai yang pintar? Memet menjelaskan justru karena stigma hewan keledai yang bodoh; jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya, mereka menjadikan hal tersebut sebagai pengingat.


"Kalau hewan yang pintar, misalnya dolphin, begitu kan nggak seru. Ibaratnya, ya pantas saja kan pintar, terus bikin data analytics gitu. Kalau hewan bodoh yang bikin, kan paradoks ya. Namun, kita ingin membuktikan bahwa itu mungkin!" tegas Memet. "Kalau kalian ke kantor Nodeflux di Mampang Prapatan, di sana disebutnya Donkey Camp, jadi karyawan kita ya disebutnya Donkey Team" paparnya kembali sambil disertai gelak tawa. Wah... filosofi sederhana yang mengena!


Optimisme yang mereka bangun dalam tubuh Nodeflux terejawantah pula dalam misi yang diemban, yaitu berkontribusi pada pengembangan kecerdasan artifisial dalam lingkup nasional dan (bahkan) global. Hingga kini, Nodeflux masih terus bereksplorasi dengan produk-produk unggulan yang fokus pada visionAIre dan identifAI. Produk visionAIre meliputi visionAIre facevisionAIre peoplevisionAIre vehicle, dan visionAIre retail. Adapun, produk identifAI berupa identifAI dukcapil validationidentifAI liveness detection, dan identifAI KTP OCR.


https://www.indotelko.com/


Kontribusi Bagi Negeri

"Humans can make mistakes, artificial intelligence can help!"

Kecerdasan artifisial makin dekat dengan kehidupan saat ini. Nodeflux membuktikan dengan terus bertumbuh bersama tim yang berisi pribadi-pribadi optimis untuk terus memperbesar potensi keuntungan dan menghadirkan risiko dalam taraf minimal. Dari tiga karyawan pada awal rintisan, kini tim keledai pintar didukung oleh talenta-talenta potensial, yang 100% warga negara Indonesia. Suka! 


Pada medio 2019, Nodeflux telah dipercaya menggawangi Jakarta Smart City oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Perwujudan smart governance salah satunya dilakukan dengan pemanfaatan kecerdasan artifisial. Kecanggihan vision artificial intelligence, sebagai keunggulan produk Nodeflux, dalam mengimitasi kecerdasan manusia secara efisien diintegrasikan dengan maha data (bigdata) yang dimanfaatkan sebagai alat evaluasi dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan. Pada akhirnya, pemanfaatan kecerdasan artifisial berimbas positif pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan.


"Produk Nodeflux berupa Licence Plate Recognition mampu mengenali dan membaca plat nomor kendaraan dengan teknologi vision artificial intelligence. VisionAIre dilatih untuk membaca plat nomor dalam berbagai kondisi, baik pencahayaan, kondisi cuaca, kualitas gambar, dan jarak untuk memberi analisis yang bersifat real-time," terang Memet.


Kini Nodeflux telah bekerja sama dengan banyak pihak, diantaranya pengelola Trans Jakarta, pos lintas batas negara, kepolisian Republik Indonesia, dan pengelola jalan tol. Terkini, Nodeflux berkontribusi dalam melakukan monitoring dan evaluasi pergerakan masyarakat di tengah Pandemi COVID-19. Kontribusi nyata di bidang teknologi tersebut membuat Ais (dan tim Nodeflux) dinobatkan sebagai penerima SATU Indonesia Award dari Astra Internasional pada tahun 2018 lalu. Apresiasi tak berhenti! Mereka juga meraih NIT Startup Challenges 2019, BPPT Innovator Award 2020, dan ASEAN ICT Award 2021. Jiaaaah, langganan! 

https://wartaekonomi.co.id/

"Keep moving forward aja lah. Kita nggak pernah tahu kan kondisi ke depan gimana" pesan Ais, menanggapi kondisi tidak ideal pada pengelolaan perusahaan dalam masa pandemi COVID-19 ini. Pria yang juga antusias dengan pencil sketching art ini menegaskan ulang misi Nodeflux untuk terus memberi solusi praktis dengan teknologi. Harapan utamanya, produk teknologi Nodeflux bisa dirasakan langsung oleh masyarakat, sampai pada tataran kehidupan keseharian (daily life). Sisi valuable itulah yang ingin terus dikejar dan penyemangat dalam mengembangkan Nodeflux.


Ais dan Memet mengungkapkan pula rasa senang dengan mulai bermunculannya para data scientist muda di Indonesia. "Artinya, perguruan tinggi sudah mulai melihat kecerdasan artifisial sebagai lahan masa depan ya. Ada yang sudah membuka jurusan atau minimal ada mata kuliah mengenai domain ini," ungkap Memet. Mulai banyaknya workshop atau pelatihan mengenai bidang ini juga dirasa cukup membantu perkembangan bidang kecerdasan artifisial ke depan.


Pada akhirnya, perubahan sebagai konsekuensi kecerdasan artifisial segera tiba. Perubahan itu akan menjadi utopia atau katastrope, justifikasinya ada di tangan kita bersama. Nodeflux mencoba mempersiapkan peradaban teknologi dengan sigap dan take action untuk terlibat. Kontribusi yang sudah dibalut dalam misi mereka memberi kemungkinan skenario masa depan penuh harapan. Do Good Be Nice!

Minggu, 28 November 2021

PENGABDIAN DIPA LPPM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2021


 

PENELITIAN DIPA LPPM UNIV. NEGERI SEMARANG 2021


 

LINTAS SEMARANG MALAM: RUPA-RUPA PERIHAL BERBAHASA INDONESIA KITA

 

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Buku ini merepresentasi bahwa teropong aktivitas berbahasa (Indonesia) tak melulu didasari pada kajian teoretis saja. Ahmad Sahidah mengajak pembacanya untuk berwisata bahasa, tanpa menggurui. Bahkan, pembaca dipersilakan untuk mendiskusikan, pun mendebat hasil terokanya yang cermat.

Dari 34 esai kebahasaan yang disajikan, bahasan seru diantaranya soal upaya merawat bin pemertahanan bahasa Indonesia. Sepertinya ini bahasan yang tak bosan untuk terus dikumandangkan. Ajakan untuk meminimalisasi (bukan menolak/anti/alergi) campur aduk penggunaan bahasa asing - Indonesia, yang disebutnya sebagai sebuah "kegenitan" dalam bercengkerama πŸ˜‰ 

Bahasan asyik lainnya mengenai kiasan binatang dalam aktivitas berbahasa Indonesia. Penulis mengkomparasikan hal tsb dengan bahasa Melayu yang dominan digunakan tetangga sebelah, Malaysia.

Kiasan macam "membabi buta" yang bermakna "kalut" tak berlaku di sana. Mereka lebih memilih "membuta tuli" sebagai kiasan untuk makna yang sama. Artinya, meskipun aktivitas berbahasa bersifat manasuka, penutur tak hanya berupaya mendatangkan keakraban, tetapi juga menghindari ketidaknyamanan. Kita punya banyak kiasan dengan kosakata binatang ya: kuda tunggangan, adu domba, cacing kepanasan, pun - sapi perahan πŸ„

Bahasan lain mengingatkan kita pula akan stigma atas suatu kata. Kosakata "seronok", misalnya, sering dimaknai tak senonoh. KBBI menyebut makna "seronok" ialah menyenangkan hati dan sedap dilihat/didengar lho! Jadi, jangan ragu memberi pujian kepada teman: "Wah, penampilanmu seronok sekaliiiii" πŸ€ͺ

*bahasan dalam buku ini sudah disampaikan pula dalam LSM-RRI bulan lalu ✌


Kamis, 28 Oktober 2021

DARI TOKO BUKU KE TOKO BUKU

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Benar. Buku ini versi semi-internasional "The Bookstore Traveller"-nya Diomedia, tebakanku di awal baca lumayan tepat juga πŸ˜„ Semi? Iya, yang The Bookstore Traveller (cek bookarazzi-8) baru menjelajah dominan area Jawa. Lumayanlah ya sebagai sampel dunia perbukuan di Indonesia. 

Hmm... "Dari Toko Buku ke Toko Buku" mengajak kita melancong buku ke Inggris Raya, Belanda, Prancis, Spanyol, Italia, Slovenia, Bulgaria, Rumania, Austria, Ceko, Polandia, Yunani, dan Jerman. Menurutku perjalanan antarnegara ini cukup mendeskripsi bahwa antusiasme seseorang terhadap buku akan selalu lahir dalam format yang adaptif dengan masanya.

Bagi sebagian kita, toko buku adalah kebun aksara. Tempat ternyaman, tujuan suaka relaksasi pikiran dan (juga) kebahagiaan. Toko buku, tentu saja punya jiwa, tidak harus yang selalu kaku nan robotik. Di luar sana, ada pendapat bahwa menghidupkan toko buku hanya bisa dilakukan bila pengelolanya selalu “hidup” pula. Buku dihormati dalam kewajaran batas, tak sekadar dianggap komoditas: harga, tata, pangsa.

Senin, 18 Oktober 2021

STRATEGI PENDIDIKAN DIGITAL

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pola pendidikan digital tengah menjadi tren. Ia berevolusi dari pendidikan jarak jauh yang hadir nyaris tanpa masa perkenalan, khususnya bagi lembaga pendidikan jenjang dasar dan menengah di Indonesia. Kini, artefak digital tersebar, bebas, dan fleksibel dijadikan sumber belajar.

Selain persiapan peta jalan dan insfrastruktur, langkah strategis lain untuk mengembangkannya adalah memperkuat sumber daya, utamanya guru. Kunci penting pengembangan diri guru ialah sikap transformatif plus kemauan terus belajar. Yaps, guru adalah pengajar sekaligus pembelajar.

Secara kritis, Hambali (2021) menyebut "selain berjumpa dengan banyak murid yang tidak suka membaca buku, saya juga belum banyak berjumpa dengan guru yang memiliki kebiasaan baca buku". Peningkatan kompetensi diri guru mestinya dibarengi dengan aktivitas berliterasi (baca tulis) hingga taraf kritis dan reflektif terhadap isi bacaan.

Persepsi kritis, intepretasi, dan menuliskan kembali hasil bacaan bisa menjadi gerakan dinamis yang akan menopang pedagogi kritis. Mengingat, konfigurasi pembelajaran dengan pola digital akan berubah dan perlu penyesuaian. Ubiquitous adalah pembeda.

MENDIDIK GENERASI Z & A

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Buku ini bercerita banyak tentang generasi Z & A yang aromanya lekat dengan berbagai perangkat πŸ˜„

Relasi dan interaksi, dominan, terbangun melalui jaringan yang terkoneksi. 

Kondisi demikian menuntut orang tua, guru, atau orang dewasa di dekat anak berupaya untuk tak tertelan pergeseran zaman: to keep yourself relevant!

Lingkungan digital sebenarnya menyediakan jutaan lokus belajar. Namun, butuh ikhtiar agar anak-anak bisa berenang bersama arus teknologi tanpa terseret banjir informasi. Mereka tetap mesti punya ruang hati untuk berempati dan waktu untuk berbagi πŸ’š

Para digital native ini mesti sadar bahwa mereka akan berhenti tumbuh, tepat, saat mereka memutuskan berhenti belajar. Memang, 'buta huruf' pada abad modern ini bukan lagi soal ketidakbisaan baca-tulis, melainkan soal keengganan belajar.

Sayangnya, masih banyak yang mengkerdilkan makna pendidikan hanya sebatas tentang sekolah. Padahal, sekolah hanya sementara tetapi pendidikan selamanya.

Membekali konsep belajar sepanjang hayat sebaiknya terus diupayakan. Mereka akan tetap 'dingin' saat masa depannya diragukan dan direndahkan ketika telah bersua dan yakin dengan potensi dirinya.


Jumat, 10 September 2021

APRESIASI PUBLIKASI KEAKSARAAN DI MEDIA CETAK DAN/ATAU DARING

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Hai... senang sekali tahun ini ditetapkan sebagai penerima Apresiasi Publikasi Keaksaraan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sudah optimis sejak dari niat mengikuti seleksi sih (SOMBONG! hahaha). Mengapa optimis? karena ini sudah kali ketiga memenangkan penghargaan sejenis, hanya beda esensi artikel dan direktorat penyelenggaranya saja. Well, tahun ini lebih baik karena dua tahun sebelumnya secara berturut-turut selalu berada di posisi finalis saja.


Sebenarnya, tahun ini aku tidak berharap "dapat" apa-apa. Why? sejak awal tahun, komitmen dan prioritas untuk proses studi lanjut memang kumaksimalkan. Apalagi, semester kemarin (awal - tengah tahun) masih proses studi lanjut yang sifatnya teoretis. Namun, begitu lihat ada seleksi ini, aku cukup yakin bisa melaju jauh. So, kusiapkan lah tiga artikel yang memang relevan dengan tema seleksi tahun ini. Ketiga artikel berjudul,


1. Mengupacarai Buku

https://linikampus.com/2021/05/17/mengupacarai-buku/ 


2. Miskonsepsi Program Literasi

http://kalaliterasi.com/2020/11/30/miskonsepsi-program-literasi/ 


3. Layanan Program Keaksaraan Adaptif Perlu Diterapkan di Tengah Pandemi Covid-19

http://metrobali.com/layanan-program-keaksaraan-adaptif-perlu-diterapkan-di-tengah-pandemi-covid-19/


Sumber: Dokumen Pribadi

Dari ketiga, tentu saja yang mendapat credit point adalah artikel ketiga. Tema artikel ketiga memang paling dekat dengan topik seleksi dan sengaja kutulis khusus untuk seleksi ini. Sementara dua artikel lainnya memang kufungsikan sebagai penguat dan "pemanis" bagi juri, dan sudah kutulis jauh-jauh hari. Mengapa temanya berkaitan? ya memang tidak disengaja, karena jauh ditulis sebelum pengumungan adanya seleksi. Artinya, memang tema seleksi biasanya tidak jauh-jauh dari artikel yang kutulis, yaitu tema literasi, perbukuan, keaksaraan, pendidikan, dsb :) Prediksi dan insting kompetensiku cukup terukur dengan menempatkan artikel pertama dalam posisi awal, hahaha... kupikir, minimal juri akan membatin "Oh, ini orang memang punya track record nulis soal tema-tema ini" :)

Apresiasi diberikan saat puncak peringatan Hari Aksara Internasional, 8 September 2021 melalui zoom cloud meeting Kemdikbudristek. Kami diundang secara khusus, diawali dengan glasi resik penerimaan penghargaan satu hari sebelumnya. Alhamdulillah, senang sekaligus manfaat karena aku turut tahu pihak-pihak mana dan siapa saja yang telah ikut mati-matian mengkonsistenkan pembelajaran keaksaraan. Ada 7 kategori yang diberikan, aku termasuk dalam kategori aspresiasi publikasi keaksaraan di media cetak dan/atau daring. Tahun depan? kita lihat saja nanti :)

Salam literasi!

Dewi Sartika A/3
22.09

Kamis, 09 September 2021

MASA-MASA AWAL BAHASA INDONESIA

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Topik sejarah yang diangkat teman-teman womanreads @the.ladybook minggu ini membuat saya menyelesaikan buku tentang kajian masa lampau bahasa ini.

Masa lampau bahasa dikaji dalam bidang prasejarah bahasa, sejarah bahasa, dan sejarah studi bahasa. Buku ini lebih condong membahas yang kedua, mengenai sejarah bahasa Indonesia.

Menemu fakta bahwa 2 Mei 1926 sebagai hari kelahiran bahasa Indonesia ialah awal keseruan. Sepertinya saya termasuk yang terdoktrin bahwa semua tentang bahasa Indonesia bermula dari Sumpah Pemuda, 1928 πŸ€’

Iya, beberapa keseruan lain bertubi-tubi mengikuti:

(1) berkenalan dengan Ki Hajar Dewantara, M. Tabrani, Soemanang, dan Soedarjo sebagai empat pendekar pertama bahasa Indonesia,

(2) perpindahan yang evolusioner dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia, yang mau tidak mau sampai pada bahasan migrasi bahasa beserta penyebarannya,

(3) peristiwa-peristiwa yang membidani hingga menemani pertumbuhannya: Kongres Pemuda I, II,  dan Kongres Bahasa Indonesia I.

Saya tentu perlu membaca manuskrip-manuskrip lain yang membahas hal yang sama sebagai pelengkap, penegas, dan (bila perlu) pembanding. 

ANALISIS BUTIR SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH PENGANTAR PENYUNTINGAN

Sumber: https://www.slideserve.com/lluvia/item-analysis


ABSTRACT

This study aims to describe the quality of the odd semester final exam items for the Introduction to Editing course for the 2020/2021 academic year at the Indonesian Literature Program, Universitas Negeri Semarang. This research is a quantitative research with descriptive method. The research subjects were 60 students. Data collection techniques were carried out by documenting. Quantitative data analysis based on level of difficulty, discriminating power, quality of distractors, validity, and reliability with 100 questions. The results of the analysis show that the quality of the odd semester final exam items in the Introduction to Editing course has a moderate level of difficulty, sufficient discriminating power, and very good distracting qualities. In addition, there are 68 valid items and 0.78 reliability in the high category. The conclusion of the study is that the odd semester final exam items for the Introduction to Editing subject need to be revised to improve the quality of the items.

Keywords: Item analysis, End of semester exam questions, Introduction to editing

*telah dipublikasikan di Jurnal Penelitian Bahtera Indonesia (Sinta 4) 
https://bahteraindonesia.unwir.ac.id/index.php/BI/article/view/121 

LOKAKARYA STIMULASI IDE DAN STRATEGI PUBLIKASI DI MEDIA DARING (ONLINE) UNTUK MEMINIMALISASI LITERACY-SHAMING

 

Sumber: https://www.graduateprogram.org/2020/08/why-you-should-get-a-masters-in-literacy/

ABSTRAK

Anggota Komunitas Guru (KG) Semarang memiliki kecenderungan berperilaku literacy-shaming yaitu merasa tidak mampu menulis meskipun sudah menguasai teori menulis dan memahami berbagai bentuk tulisan. Berdasarkan paparan informasi dari penggerak KG Semarang, terdapat tiga kendala, yaitu 1) kesulitan menemukan ide, 2) kesulitan mengeksekusi ide (no action), dan 3) kesulitan mendapatkan media publikasi. Kendala-kendala tersebut belum teratasi hingga kini. Padahal, perilaku literacy-shaming akan membawa akibat buruk apabila tidak ada upaya masif untuk meminimalisasi. Untuk meminimalisasi literacy-shaming, tim pengabdi menawarkan alternatif solusi berdasarkan kondisi mitra antara lain 1) pendampingan stimulasi ide, 2) pemantapan materi dan praktik penulisan artikel populer, dan 3) pemberian strategi publikasi artikel populer melalui media daring (online). Kegiatan ini telah dilaksanakan pada hari Sabtu, 26 Oktober 2019. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan metode lokakarya. Dengan metode ini kegiatan dilakukan dalam bentuk 1) pendampingan stimulasi ide, 2) pemantapan materi dan praktik penulisan artikel populer, dan 3) pemberian strategi publikasi artikel populer melalui media online. Hasil program pengabdian ini sangat optimal dalam meminimalisasi literacy-shaming anggota KG Semarang. Seluruh peserta memahami materi yang disampaikan dan berusaha menindaklanjuti program pengabdian dengan terus belajar menulis setelah terstimulasi adanya banyaknya ide yang dapat di tulis. Peserta juga berusaha mempublikasikan karya-karya mereka ke berbagai media daring (online) dan masih menunggu proses review kelayakan pemuatan.

Kata Kunci: Literacy-Shaming; Stimulasi Ide; Strategi Publikasi


*telah dipresentasikan dan dipublikasikan dalam prosiding Seminar Nasional Literasi V
Univ. PGRI Semarang, 3 Desember 2020

INTEGRASI NILAI-NILAI HUMANIS DALAM BAHAN AJAR PENYUNTINGAN DENGAN PENDEKATAN PENILAIAN PORTOFOLIO

 


Sumber: https://www.slideshare.net/isnatin/penyuntingan-kel10


Abstrak

Mata kuliah Penyuntingan Bertujuan memberikan softskill bagi mahasiswa. Kompetensi yang harus dicapai ialah keterampilan menyunting, baik aspek isi (konten) maupun kebahasaan. Oleh karena itu, perkuliahan harus disertai praktik menyunting secara intensif dan kontinu. Hal tersebut harus didukung dengan bahan ajar yang memadahi. Selama ini bahan ajar yang digunakan masih sembarang tema, yang penting ada unsur yang disunting. Sebenarnya, bahan ajar Penyuntingan sangat memungkinkan bila diintegrasikan dengan tema atau muatan tertentu untuk mencapai tujuan lain yang bermanfaat pula, misalnya nilai-nilai humanis. Dalam kehidupan kampus, penerapan budaya humanistik sangat penting untuk memunculkan pribadi-pribadi yang humanis, salah satunya yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Untuk lebih menyempurnakan proses pencapaian tujuan, perlu konsep penilaian yang tepat. Salah satu yang bisa digunakan ialah pendekatan penilaian portofolio. Sebagai instrumen penilaian, portofolio bukan sekadar kumpulan hasil suntingan naskah melainkan juga tes kinerja. Dengan pendekatan penilaian portofolio, akan ada proses merefleksi diri atas hasil kinerja dan ada kesempatan untuk memperbaiki bila hasil kinerja masih di bawah standar kompetensi.

Kata Kunci: Nilai-Nilai Humanis, Bahan Ajar Penyuntingan, Penilaian Portofolio


*telah dipresentasikan dan dipublikasikan dalam prosiding Forum Ilmiah XII, Seminar Internasional Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya Univ. Pendidikan Indonesia, 26 Oktober 2016

Selasa, 13 Juli 2021

LAYANAN PROGRAM KEAKSARAAN ADAPTIF

 


        Penyebaran virus COVID-19 yang masif di Indonesia memberi dampak yang nyata dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Kebijakan pelaksanaan pendidikan dalam masa darurat COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) No. 4 Tahun 2020. Kebijakan tersebut didukung oleh Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemdikbud No. 15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19. Dalam kondisi ketidaksiapan, pembelajaran moda daring menjadi pilihan yang memungkinkan agar pembelajaran, sebagai hak pendidikan bagi masyarakat, terus berlangsung dengan tetap patuh akan anjuran pembatasan sosial (social distancing).

            Implementasi Belajar dari Rumah yang telah terlaksana lebih dari satu tahun ini belum dalam kondisi ideal, tetapi terus dilakukan evaluasi dan tindak lanjut ke arah perbaikan. Para pelaku pendidikan, utamanya yang terlibat langsung dalam proses belajar mengajar (guru, peserta didik, dan orang tua) mengutarakan beberapa kendala, antara lain terkait sarana dan prasarana, baik ketersediaan perangkat keras (personal computer, laptop, atau telepon pintar), ketercukupan data atau kuota internet, dan akses sinyal yang berbeda-beda di setiap titik domisili, baik pengajar maupun pembelajar. Pemerintah tidak tinggal diam, kebijakan pemberian bantuan kuota untuk pembelajaran bagi guru dan peserta didik di semua jenjang pendidikan patut diapresiasi, walaupun tetap perlu ada tinjauan dalam pendistribusian dan efisiensi penggunaan.

            Hal lain yang menjadi hambatan pula ialah alih wahana pembelajaran dalam waktu relatif singkat. Pembelajaran pada jenjang menengah dan perguruan tinggi memang telah memulai pola pembelajaran campuran (blended learning) sebelum masa pandemi, tetapi kuantitasnya masih sangat minim. Sementara, jenjang dasar dan usia dini dominan belum memulai. Meski gagap pada awal pelaksanaan, kini adaptasi akan pola pembelajaran moda daring mulai terbentuk. Bagi guru, hal-hal baru mengenai persiapan pembelajaran, pola penyampaian materi secara virtual, penilaian secara elektronik, hingga penyesuaian dengan kurikulum darurat memerlukan upaya lebih.

            Gejala lain yang disinyalir melekat pasca penerapan kebijakan Belajar dari Rumah ialah learning loss.  Mahdum (2021) menyatakan learning loss merupakan suatu kondisi hilangnya atau menurunnya kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik yang diakibatkan terhentinya proses pembelajaran yang bermakna. Learning loss rentan dialami oleh peserta didik yang tidak memiliki akses yang maksimal untuk melakukan pembelajaran daring. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada area pendidikan formal tetapi juga pada ranah pendidikan nonformal, salah satunya pada layanan program keaksaraan.

 

Literacy Loss

            Program keaksaraan merupakan salah satu program pembelajaran nonformal yang sangat mendasar dan penting dalam menjalani kehidupan di abad 21. Misi program keaksaraan ialah memberi layanan pembelajaran membaca, menulis, berhitung (calistung), dan kemampuan berbahasa Indonesia sebagai keterampilan dasar untuk meningkatkan kualitas dan taraf hidup. Saat ini pemberantasan buta aksara di Indonesia belum tuntas. Suryana (2020) menyebut pada tahun lalu jumlah buta aksara di Indonesia masih tersisa 1,7 persen atau 3,2 juta dari penduduk Indonesia. Dukungan dari seluruh pemerintah daerah, tutor, relawan layanan keaksaraan, dan masyarakat luas masih terus diharapkan hingga target pemberantasan buta aksara mencapai zero persen pada tahun 2030.

Layanan program keaksaraan termasuk program pembelajaran sepanjang hayat (longlife learning) yang terdampak pandemi COVID-19. Handayani (2021) menyebut program keaksaraan harus berhenti sementara waktu karena ketidaksiapan layanan daring mengingat subjek didiknya tidak sama dengan pendidikan formal. Sasaran program keaksaraan ialah warga masyarakat yang belum dapat membaca, menulis, dan berhitung (calistung) melalui program keaksaraan dasar. Selain itu, program luar sekolah ini juga memberi layanan kepada warga buta aksara (illiterate) untuk mampu mengamati dan menganalisis yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan potensi yang ada di lingkungan sekitar untuk peningkatan taraf hidupnya melalui program keaksaraan lanjutan (fungsional). Bila ditelaah lebih dalam, program keaksaraan lanjutan sampai dengan tahapan pemberian perlakuan yang merujuk pada kemampuan multiaksara atau keaksaraan usaha mandiri (KUM). Jadi, tidak sekadar berhenti pada kemampuan calistung, tetapi juga mengarah pada kecakapan fungsional dalam kehidupan.

            Dalam konteks pembelajaran jarak jauh (distance learning) dengan moda daring, layanan program keaksaraan memang sulit terwujud. Selain masih dalam kondisi buta aksara, warga masyarakat yang mengikuti layanan ini dominan berada di daerah terpencil, sulit terjangkau secara fisik maupun terkait akses sarana prasana, dan berusia lanjut. Namun, bila selama masa pandemi ini tidak ada upaya untuk menggerakkan atau menghidupkan kembali layanan program keaksaraan maka bukan hanya gejala learning loss yang akan dialami, melainkan juga literacy loss. 

            Bao et all (2020) menyatakan literacy loss merupakan kemerosotan atau hilangnya keterampilan literasi yang sebelumnya sudah dimiliki. Berhentinya layanan program keaksaraan sangat mungkin membuat hasil pembelajaran sebelumnya lepas atau bahkan hilangnya pemahaman awal. Gejala literacy loss bagi warga masyarakat yang mengikuti layanan keaksaraan perlu diminimalisasi dengan sikap adaptif terhadap kondisi. Sulasmono (2012) menyatakan pembelajaran yang adaptif merupakan proses pembelajaran dengan menyesuaikan kondisi, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik sehingga terjadi penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan. Proses adaptif dilakukan dengan mengukur modalitas belajar siswa dan mempertimbangkannya di dalam proses mendesain pembelajaran.

 

Program Keaksaraan yang Adaptif

            Kondisi masa pandemi COVID-19 ini mendorong berbagai sektor kehidupan untuk adaptif terhadap keadaan sekitar. Konsep adaptif dipakai dalam berbagai hal, mulai dari kepemimpinan adaptif, kewirausahaan adaptif, hingga pembelajaran adaptif, termasuk dalam keberlangsungan program keaksaraan. Merawat layanan program keaksaraan mesti dilakukan semaksimal mungkin walau dengan medium yang minimal dan dalam kondisi yang kurang ideal. Dalam konteks pandemi COVID-19, layanan program keaksaraan mesti adaptif dengan warga masyarakat yang menjadi peserta, dengan standar: minimal tidak terhenti.

            Anjuran pembatasan sosial jelas tidak berbanding lurus dengan minimnya kecakapan warga masyarakat peserta program keaksaraan terhadap teknologi informasi bila akan diterapkan layanan dengan moda daring. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan lembaga keaksaraan perlu memaksimalkan bantuan keluarga dan masyarakat di sekitar peserta. Gerakan Literasi Masyarakat (GLM) dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK) mesti digerakkan dan disinergikan untuk memaksimalkan keberlangsungan layanan program keaksaraan. Memaksimalkan media yang ada seperti televisi, radio, ruang terbuka di sekitar domisili peserta, serta produk-produk kearifan lokal perlu dilakukan.

            Kerja sama yang apik antara seluruh pemangku kepentingan pendidikan dan ekosistem layanan program keaksaraan diharapkan dapat menjadi solusi pemertahanan keberlangsungan layanan keaksaraan. Perubahan konsep pedagogi yang adaptif merupakan langkah ekspansif layanan keaksaraan yang semoga terus memberi daya gugah, daya ubah, dan daya guna bagi masyarakat. Keeping literacy alive during pandemic!

*
telah dipublikasikan di metrobali.com, 9 Juli 2021
http://metrobali.com/layanan-program-keaksaraan-adaptif-perlu-diterapkan-di-tengah-pandemi-covid-19/

Rabu, 19 Mei 2021

MENGUPACARAI BUKU

 


Kami berguru pada buku! Begitu ucapan yang terlontar dari kaum bibliofili, pecinta buku, untuk menggambarkan kasih mereka pada berderet-deret pustaka. Bagi mereka, buku merupakan sebuah artefak pengetahuan dan membaca adalah laku budaya untuk menyesapnya. Penghikmatan terhadap buku dipupuk saban hari dan diupacarai pada beberapa momen, salah satunya saat Hari Buku Nasional, setiap 17 Mei.

            Menilik dunia di balik buku terkadang mengundang keseruan baru. Benar, bahwa tidak setiap pembaca perlu tahu. Namun, bagaimana buku dilahirkan, dikemas, dan disuguhkan oleh pelaku perbukuan akan berdampak pada pembaca selaku konsumennya. Berbagai regulasi yang menyertai tidak semua berganti, tetapi selalu bertumbuh seturut peradaban. Dunia perbukuan telah membentuk sebuah ekosistem. Untuk bertahan, Ia mesti selalu relevan dengan perkembangan zaman.

            Mendefinisikan buku versi Unesco sebagai publikasi tercetak, tidak berkala, ketebalan lebih dari 49 halaman, memiliki kover  yang khas, diterbitkan di suatu negara, dicetak sekurang-kurangnya 50-100 eksemplar, dan disebarkan kepada publik, tentu sudah kurang sesuai dengan arus perbukuan sekarang. Beberapa aspek, yaitu medium cetak, kuantitas halaman dan minimum cetakan ditenggarai kurang adaptif dengan perkembangan.

Kini, buku tak hanya yang berwujud teks tercetak saja. Buku elektronik dan buku suara (audio book) sudah kian digemari dan mudah ditemui. Artinya, buku cetak bukan lagi pilihan tunggal. Terkait kuantitas halaman, ada banyak sekali buku-buku untuk jenjang usia dini yang tidak sampai 49 halaman. Jadi, bila mengacu pada ketentuan itu, akan banyak yang terelimininasi dari kategori buku. Adapun mengenai minimum cetakan, kini sistem Print on Demand (PoD) telah memberi layanan cetak sesuai permintaan. Sistem ini amat membantu penulis indie yang memilih jalur penerbitan mandiri (self publisher). Namun, kekurangsesuaian ketentuan-ketentuan tersebut amat wajar mengingat standar Unesco tersebut ditetapkan 57 tahun silam.

            Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mentasbihkan buku sebagai karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala. Ya, ada satu hal yang menunjukkan keadaptifan, yaitu publikasi elektronik. Penggarapan buku yang dipublikasikan secara elektronik terejawantah dengan sebutan buku elektronik (electronic book atau e-book). Pembaca masa kini disuguhi konsep membaca tanpa menimang-nimang kertas (Dahlan, 2009). Selain tidak memerlukan perawatan yang ekstra, alasan akses terhadap buku elektronik yang kian terbuka juga makin mengemuka. Pasar buku jenis ini memang belum merata, tetapi besarnya peluang membuat penerbit-penerbit tak menutup mata. Mereka mulai nyicil dan bergerak secara masif. Oh ya, kehadiran buku suara (audio book) juga alternatif yang makin ramai peminat. Betapa tidak? Konsep membaca dengan telinga ini begitu memanjakan pembaca dengan keleluasaan akses. Pembaca serasa masuk dalam ruang maya, belajar sambil berleha-leha.

 

Transformasi Digital

            Transformasi ke ranah serba online tak hanya sampai pada penampilan buku saja. Kini pembaca juga dapat mengakses dan memperbincangkan aneka rupa bacaan melalui perpustakaan digital (electronic library atau digital library), toko-toko buku digital (online bookstore), serta pertemuan-pertemuan dengan klub dan komunitas baca secara virtual. Melalui perpustakaan digital, masyarakat mestinya sudah mulai meninggalkan alasan usang “harga buku mahal” untuk dapat bertemu, mencecap ilmu, hingga mengkritisi esensi yang ditawarkan buku. Instansi-instansi pemerintah, seperti perpustakaan nasional (i-pusnas) dan perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (EPerpusdikbud menyuguhkan aplikasi layanan perpustakaan digital yang serba gratis. Belum lagi, perpustakaan digital yang disediakan oleh hampir seluruh kampus di Indonesia, bahkan di dunia.

Selain layanan perpustakaan dalam medium virtual, masyarakat pembaca pasti juga telah begitu intim dengan repositori maya terbesar seperti Google dan ensiklopedia raksasa semacam Wikipedia. Namun demikian, dua sumber terakhir ini mestinya tidak serta merta dijadikan referensi ilmiah tanpa penelusuran yang lebih mendalam. Toko-toko buku digital juga menawarkan kemudahan. Melalui lokapasar (marketplace), ratusan penjual berasa dalam gengaman. Belanja buku jarak jauh ini tak banyak aral, kecuali mesti sangat waspada pada lapak-lapak buku bajakan. Efisiensi pola belanja yang selaras dengan pola hidup kini, utamanya bila menyoal waktu dan tenaga.

Perkembangan jagat siber telah memangkas jalur panjang distribusi karya dari penulis-penerbit kepada pembaca. Pilihan-pilihan solusi atas keterbatasan akses buku (cetak) telah dikemukakan di atas. Imbauan tak pernah kurang, tetapi terkadang masyarakat tetap memilih solusi yang bersifat menghancurkan. Iya, dengan tetap membeli buku bajakan, misalnya. Daya dobrak bisnis buku bajakan berpotensi merobohkan ekosistem perbukuan. Kalaulah tetap ingin mempunyai buku (cetak) dengan harga yang tidak mahal, membeli di lapak-lapak buku seken (second-an) jauh lebih bermartabat daripada mengakses barang curian.

Selain pembajakan buku, kehadiran buku-buku tanpa kurasi juga berperan besar menghadirkan tsunami buku yang belum tentu bermutu. Benar bahwa kualitas sebuah buku dari sisi pembacanya akan bersifat subjektif. Takaran bermanfaat atau tidaknya menjadi otoritas pembaca. Namun, tanpa adanya penyaringan karya yang dilempar kepada pasar (pembaca), siapa yang akan bertanggung jawab atas esensi yang ditawarkan? Penerbitan mandiri menjadi pihak yang paling sering disorot mengenai hal ini. Namun, akan sangat baik bila penerbit mayor pun terus mengupayakan perhatian terhadap hal tersebut, dengan menjaga ketat kualitas produk buku yang hendak digarap dan dipublikasikan.

Verba Volant Scripta Manent! Peribahasa Latin ini menyemai arti “Apa yang terkatakan, akan segera lenyap. Apa yang tertulis akan menjadi abadi!” Masyarakat pembaca tentu terus berharap kesuburan karya para penulis dari berbagai pelosok negeri, dari kalangan yang beragam, dan dari berbagai bidang keilmuan. Mereka diharapkan terus mencipta ruang-ruang penuh wawasan, yang kemudian dapat dicerna, didiskusikan dalam bilik-bilik kebersamaan, hingga dikritisi dan diapresiasi.

Mata rantai perbukuan selalu dimulai dari naskah mentah karya pengarang yang disusun bukan hanya dengan keterampilan menulis, melainkan juga keterampilan membaca, melakukan riset bahan tulisan, dan memiliki daya libat atas permasalahan yang akan diajukan. Atas kerja keras tersebut, masyarakat pembaca akan belajar dari seseorang yang (memang) tidak selalu hadir secara fisik. Namun, aliran pengetahuan baru dan nasihat baik akan dapat terus diunduh kapan saja dan oleh siapa saja.


*Telah dipublikasikan di linikampus.com, 17 Mei 2020
https://linikampus.com/2021/05/17/mengupacarai-buku/ 



Jumat, 30 April 2021

SOSIOLINGUISTIK, KODE DAN ALIH KODE

Sumber Pustaka: Dokumentasi Pribadi


Ada obrolan seru dengan teman-teman di kelas Sosio siang tadi. Saya dan Uda Apri mengulas buku lawas ini sekadar sebagai pemantik diskusi. Walhasil, bahasan riset mengenai kode dan alih kode dalam buku ini membuat seisi kelas mengeluarkan "jurus" andalan bahasa ibu masing-masing (Sunda, Minang, Melayu, Jawa) untuk diteropong tingkat tuturnya 😊


Buku Dr. Kunjana ini, terbitan Pustaka Pelajar - 20 tahun lalu! Oleh karena itu, beberapa bagian memang sudah tidak relevan lagi. Contohnya, pernyataan bahwa studi mengenai alih kode dalam tindak tutur masih jarang diteliti. Kalau merujuk pada kondisi sekarang, kita tentu mudah menemukan ratusan riset mengenai hal tersebut.


Buku ini semacam monograf. Iya, publikasi hasil riset dalam bentuk buku. Hmmm... sistematikanya mirip dengan laporan penelitian. Sepertinya, tuas konversi pola penulisan dari laporan riset ke dalam wadah referensi populer belum dijalankan πŸ”œ


Tindak tutur jual beli di Pasar Beringharjo cukup menarik dibedah dengan konsep komponen tutur versi Poedjosoedarmo, yang merupakan pengembangan dari konsep Hymes (S-P-E-A-K-I-N-G).


Jogja, sebagai lokasi pengumpulan data, merujuk pada masyarakat bahasa dengan dominasi tuturan berbahasa Jawa. Ada bentuk tingkat tutur utama Krama, Madya, dan Ngoko yang terklasifikasi lagi dalam implementasinya berdasar relasi penutur dan mitra tutur, contohnya Kramantara, Mandyantara, Antya Basa, dsb.


Hasil riset menyebut ada alih kode tingkat tutur dan bahasa. Berdasar tingkat tutur ditemukan alih kode dari ngoko ke madya (dan sebaliknya). Adapun, berdasar bahasa ditemukan alih kode bahasa Jawa-Indonesia, Jawa-Asing, Indonesia-Asing (dan sebaliknya).


*buku pinjaman Kombatj BSI πŸ˜‰


Sabtu, 10 April 2021

POSTER - RISET LPPM UNNES 2020


 

POSTER - PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT LPPM UNNES 2020


 

DISEMINASI RISET LPPM UNNES 2019


 

DISLEKSIA - PERKEMBANGAN DI INDONESIA



Buku pada akhir minggu. Nemu buku ini di Gramedia Solo. Sudah kenal istilah disleksia sejak zaman kuliah. Namun, subjudul "perkembangan di Indonesia" -bikin penasaran juga. Eh, benar ternyata, isinya dominan hasil-hasil riset mengenai disleksia yang dibedah oleh sejawat dosen dari FIB UI, Mb Harwintha, dengan jeli dan menjadi bacaan yang bergizi πŸ˜„

Disleksia dipahami sebagai masalah membaca yang dialami anak-anak. Kesuraman bagi penderita disleksi muncul ketika ejekan dari teman-teman bertubi-tubi mengarah padanya. Belum lagi, cap negatif bahwa tidak lancar membaca = anak bodoh 🀒

Disleksia bisa ditelaah dari berbagai sudut: ilmu pendidikan, kedokteran, psikologi, dan studi bahasa (linguistik). Buku ini memberi gambaran ilmiah mengenai disleksia dari sudut pandang bahasa. 

Apa penyebab disleksia? Beberapa riset menyebut hipotesis defisit fonologis yang terkait kesadaran fonologis pada anak yang mestinya sudah dimiliki anak yang baru akan mulai belajar membaca. Ada pula riset yang mencermati kelainan struktur otak penderita disleksia pada belahan otak kiri (lobus temporo-pariental). Eh, ada pula hasil riset yang merujuk pada faktor bawaan/keturunan pula.

Bagaimana mendiagnosis disleksia? Berbagai tes terstandar dari luar negeri dan pengalaman implementasi alat tes tersebut dijelaskan lengkap dalam buku ini. Lalu, bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Penulis, yang juga peneliti, bersama-sama sejawat dari Departemen Linguistik UI sudah mengembangkan alat tes atau instrumen bernama Tes Membaca Satu Menit. Rancang bangun instrumen yang dikembangkan diatur berdasar jumlah dan kompleksitas suku kata.

Walaupun disleksia bukan soal kesalahan pengajaran membaca, kemungkinan orang tua atau pengajar yang terlalu menuntut anak untuk bisa membaca pada usia dini perlu diwaspadai. Mengapa? Sangat mungkin anak akan memaknai membaca sebagai kegiatan yang traumatis 😟

GS A/3

Sabtu, 13 Maret 2021

The Professors: Hikayat Begawan dari Kampus Sekaran (Bagian 3 - Akhir)

Sumber: Dokumentasi Pribadi


The Professors (bagian 3-akhir)
Hikayat Begawan dari Kampus Sekaran.

Tarik napas. Selesai. Butuh waktu lama untuk menggenapi pembacaan kisah para guru besar UNNES ini hingga purna, setelah bagian 1 dan bagian 2. Kali ini cukup banyak coretan, lupa bahwa ini buku pinjaman πŸ˜‚

Kisah Prof. Kasmadi (MIPA) membuat saya membaca ulang beberapa bagian. Bagi beliau, Kimia jelas bukan sekadar nama mata pelajaran. Saya belajar bagaimana pemaknaan terhadap objek  keilmuan berubah, dari sekadar kajian menjadi kecintaan mendalam.

Pun cerita bagaimana beliau 'nangis batin', saat menjadi dekan, beliau menandatangani hasil seleksi penerimaan dosen baru dan salah satu nama yang tidak lolos adalah nama anak sendiri. Menyakini bahwa itu jalan terbaik bagi ananda adalah selipan doa. Sederhana, tetapi buat saya, ini perilaku yang hanya bisa dilakukan oleh pribadi berkelas πŸ₯Ί

*****

Saya senang mendapati kisah Prof. Ani (MIPA). Menurut beliau, tekun dan telaten adalah senjata tajam untuk membedah ketidakbisaan. Bekerja dengan hati adalah takaran kinerja yang memuncakkan usaha. Ambisi positif akan banyak hal ditempatkan beliau dengan rapi agar tidak saling mendahului.

Bagi beliau, studi doktoral bukan sekadar soal capaian akademis. Ada keteladanan yang ingin dibagikan, utamanya bagi anak-anaknya. Bagaimana melumpuhkan pesimis, malas, dan putus asa yang kerap menyelinap dan menjelma menjadi 'sohib karib' πŸ˜„

Bagaimana belajar membangun kapasitas diri banyak ditanamkan para begawan dalam buku ini. Beberapa formula laku hidup kadang memang tidak relevan secara rasional, tetapi kerja keras dan doa bisa menjadi jawaban.

Keteladanan memang model pembelajaran paling klasik dan asyik. Oleh karena itu, 'ia' perlu dihadirkan dimanapun ❤


#diesnatalisunnes
#unnes
#unnesgemilanguntukindonesiamaju



Senin, 15 Februari 2021

AJAIB, ISTIMEWA, KACAU: BAHASA INDONESIA DARI A SAMPAI Z

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Jeda sebentar dari tugas terakhir semester awal. Selesai, 175 halaman pada akhir pekan. Bagi saya, nama AndrΓ© MΕ‘ller (Swedia) cukup familier setelah  beberapa kali membaca tulisannya di Kolom Bahasa Kompas beberapa tahun belakangan.

Ajaib, Istimewa, dan Kacau merupakan pilihan kata utama yang Ia pakai untuk mengambarkan kondisi dan posisi bahasa Indonesia saat ini. Yaps, hasil peneropongannya berwujud renungan kegelisahan, sentilan atau sindiran, ketakjuban, dan rasa gemaaaaas terhadap pemakai dan pemakaian bahasa Indonesia πŸ˜„

AJAIB, mendeskripsi keunikan bahasa Indonesia dari pandangan penutur asing sepertinya. Bahasa hidup yang sederhana untuk dipelajari, tetapi ampuuuuun ketika mulai bertemu reduplikasi, bentuk pasif, sapaan yang beragam, morfologi yang variatif, logat r dan h, serta singkatan dan akronim yang bertebaran dalam komunikasi πŸ˜‚

ISTIMEWA, merujuk pada posisi bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa nasional. Peran besarnya sebagai penanda identitas dengan tetap menggandeng bahasa-bahasa daerah sungguh jempolan. Jadi ingat tulisan di twibbon-nya Badan Bahasa: bahasa daerah terawat, bahasa Indonesia bermartabat. Wuih! πŸ’Ÿ

KACAU, mengkritisi bagaimana bahasa Indonesia digunakan secara serampangan oleh penuturnya sendiri. MΕ‘ller mencontohkan beberapa kekeliruan yang cukup frekuen, salah satunya penggunaan "di" sebagai preposisi dan "di-" sebagai prefiks. Berasa sepele, tetapi dalam bahasa tulis bisa jadi berakibat fatal. Dalam konteks lazim, contohnya

1. Salat boleh dilanggar.

2. Salat boleh di langgar.

Bagaimana? πŸ₯΄

Eksotis, Fantastis, Lucu, Sakti, Unik, dsb adalah pilihan kata lain yang digunakan MΕ‘ller dalam esai-esai pendeknya dalam buku ini. Penelusuran sila dilanjutkan! πŸ“–

Rabu, 03 Februari 2021

SELAMAT TINGGAL = RI JEONG HYEOK

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Akhir pekan dan jeda semester. Selesai baca dua hari ini. Buat saya, novel ini seperti Kapten Ri πŸ˜„. Saya memang bukan drakor mania. Namun, begitu nonton 'Crash Landing on You', satire-satire seru untuk menggambarkan konflik budaya antara Korut dan Korsel, serta sosok Ri Jeong Hyeok membuat saya nonton ulang lebih dari 5x 🀣. Saya pikir saya suka Hyun Bin, pemerannya. Namun, begitu nonton series lainnya dengan pemeran yang sama, eh B saja. Fixed, saya suka Kapten Ri, bukan Hyun Bin πŸ˜†


Pun sama, dari puluhan karya TL yang sebagian besar ada di rak-rak best seller itu, saya sangat hafal judul-judulnya. Namun, saya belum tertarik untuk jadi TL-ers. Topik sensitif mengenai PEMBAJAKAN BUKU lah yang membawa saya untuk menjadi pembacanya kali ini. Begitu membaca bookarazzi milik salah satu mahasiswa, judul novel ini langsung masuk 'wishlist'. Segera meluncuuuur ke toko buku, beli, baca.


Dengan dibantu co-author, saya cukup yakin TL mendesain novel ini sebagai ajang curhat pribadi πŸ˜„. TL tidak segan menampilkan satire di sana-sini. Dua favorit saya, "Lah kalau menurutmu Pram pantas mendapat penghargaan tinggi sebagai penulis, kenapa kamu menjual (dan membeli) buku bajakannya?" dan "Lihat saja, nama toko bukunya: Berkah. Dimana coba letak berkahnya menjual (dan membeli) buku bajakan?" πŸ˜† 


Selain curhat, poin utama yang ingin ditampilkan TL lewat novel ini ialah mengedukasi, bagi produsen maupun konsumennya. Yaps, saat ini yang bisa dilakukannya sebagai penulis yang karya-karyanya jadi sasaran empuk pembajakan, hanyalah sampai tataran mengedukasi saja. 


Melalui tokoh Sintong dkk, TL memberi gambaran betapa posisi penulis yang paling hancur-hancuran dalam lingkaran bisnis ilegal pembajakan buku. Miris, ketika TL mengatakan "Tentu saja murah. Di dunia bajakan, harga buku hanya dilihat dari tebal atau tipisnya saja. (mereka kan tinggal cetak/gandakan saja. Analoginya, mereka cuma ngrampok atau nyuri lah ya)" 🀣


Diksi 'selamat tinggal' dipakai sebagai sebuah ajakan pascaedukasi yang dilakukan. Ajakan untuk meninggalkan atau meminimalisasi kedekatan dengan akses buku-buku bajakan. Semoga berhasil πŸ˜‡

KULIAH PAKAR ADOBSI