Kamis, 26 Maret 2020

KECOLONGAN (LAGI)

Sumber: https://mediaindonesia.com

Judulnya tidak asik! Biarlah, sepertinya kondisi memang sedang tidak asik. Belum juga kecewa yang berasal dari telinga itu lenyap. Lah... kemarin mesti kutelan kecewa yang dihadirkan oleh mata. Oh, bukan! Aku tak sedang menyalahkan telinga dan mata. Keduanya amat berfungsi sebagai indera. Lagipula, aku tahu keduanya tak mungkin bermuka dua.

Memangnya ada yang bermuka dua? Sepertinya. Sanggup? Ya... buktinya begitu. Bisa jadi, itu memang sebuah keahlian. Kutenggarai butuh mental (yang sok) kuat, bedak tebal,  dan strategi lisan kelas dewa. Sempurna!

Aku menyebut mereka Si Telinga dan Si Mata. Keduanya membuatku melongo amat lama kala fakta terdengar dan terbaca. Awalnya, aku merintih dan sangat prihatin. Namun, kemudian pelan menepuk dahi menyadari kehebatan peran yang dimainkan dengan rapi.

Si Telinga, hmmm... aku amat sukar menemukan kekurangannya. Ia dikasihi banyak liyan, berterima saat bicara, tekun, dan sabar. Untaian kata-katanya matang. Tempat aduan yang menawan. Rapi dalam menyikapi kondisi. Sulit kutemui sisi buruknya, sampai kemudian suara itu berseru.


Si Mata, hmmm... lama tak kudengar kabar tentangnya. Terakhir, aku melihat undangan perjamuannya di meja. Itu saja. Hubungan kami amat biasa, tetapi apresiasi tinggi selalu kuberikan padanya. Bagi kami, buku adalah penyatu. Aku ingat, dulu namanya sering kusebut sebagai teladan di hadapan adik-adiknya. Sampai suatu ketika, tulisan itu mencekik rasa.

Lalu apa salahnya? Tak ada. Terus? Aku hanya ingin mengungkapkan bahwa semua akan baik-baik saja. Akan kubantu membalut es yang kalian simpan. Walau, lelehannya akan merembes kemana-mana.

Eh ada lagi? Aku ingin bilang bahwa aku terpaksa mengikuti jejak kalian. Aku benci harus pura-pura berbaik hati dan merapal kata bijaksana. Persis sama seperti kalian yang bersikap seolah tak ada apa-apa di hadapan pemuja. Ayu dalam laku semu dan petikan gitar yang membius kalbu. Namun, seperti kubilang tadi... saat ini semua akan baik-baik saja. Besok? entahlah jua.


#Graha Sartika A/3

Rabu, 18 Maret 2020

BUKU YANG DIPENJARAKAN

Sumber Foto: Dok. Pribadi

Membaca memoar adalah membaca kisah lama yang dikabarkan. Buku ini kutemukan diantara tumpukan datar nan beragam, saat momen -Ketemu Buku Semarang- tahun lalu. Judul yang terkait dengan ‘dunia buku’, membuatku berbinar setelah hampir 90-menitan ‘nguplek-nguplek’ ratusan buku di dalam Gedung Wanita -Sriwijaya. Selesai baca narasi di bagian kover belakang, kupastikan buku masuk keranjang belanjaan.

Rasanya tak asing dengan nama penulisnya. Nama belakangnya membuatku mengingat pelajaran sejarah (baca: IPS) sejak sekolah dasar silam. Iya, DN Aidit adalah “nama beken” yang masuk salah satu hafalan. Dulu orang menyematkan kata “gembong partai komunis” bila ditanya ia siapa.  Yang baru kemudian kutahu DN adalah kependekan dari Dipa Nusantara J. Penggantian nama yang tetap tidak meninggalkan nama keluarga: Aidit! Hmm… Sobron, penulis buku ini, adalah adiknya.

Memoar terbitan Best Publisher ini mengantarkanku pada pengembaraan panjang Sobron Aidit. Bisa ditebak, presentase kisah pilu lebih mendominasi. Kisah tentang keluarga, karya, gempuran sweeping, dan hukuman tanpa delik aduan bagi siapapun yang terkait dengan partai komunis saat era Orba diceritakannya dengan cukup lugas. Pun, ada nada pembelaan di setiap kisah yang dituliskan. Bahwa ada pemutarbalikan fakta, ada sanksi moral yang luar biasa sepanjang hidupnya, dan ketidakberdayaan menjelaskan bahwa 2nd name-nya adalah nama keluarga yang tak ingin Ia lepas begitu saja.

Dari keseluruhan isi, buatku bagian kisah tentang nasib buku-buku “kiri” yang menjadi koleksi teramat menarik untuk dikaji. Bila kondisi memungkinkan, aku berniat menghubungi Perpusnas untuk menanyakan apakah aturan mengakses buku-buku “terlarang” masih berlaku hingga kini? J

Kisah tersebut dituliskan Sobron di bagian awal. Pengkotakan buku yang bebas diakses (pinjam atau baca ditempat) dan yang tidak boleh tak dijelaskan secara detail. Namun, kisah tentang buku-buku yang ditempatkan di satu ruang khusus, bahkan berjeruji besi, mengantarkan pada bayangan buku-buku “tak normal” yang perlu diisolasi. Akses baca amat terbatas. Bahkan, begitu calon peminjam masuk maka ruangan akan dikunci dari luar, ada lubang pengintai dan diawasi petugas secara kontinu saat mengakses bacaan. Ada tanggapan? J

Persetujuan untuk masuk “ruang khusus” itu pun amat panjang, tahapan izin mulai dari Kaperpusnas, Mendikbud, Kejagung, BIN, dan BAKIN mesti dilalui terlebih dahulu. Hmmm… begitu selesai membaca bagian ini, aku teringat beberapa buku yang bisa menjadi referensi terkait. Buku-buku seperti Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa-nya Baez, Mengubur Peradaban-nya Fauzan, Pelarangan Buku di Indonesia-nya Jaringan Kerja Budaya, Buku-Buku Pengubah Sejarah-nya Downs, dan Buku dalam Indonesia Baru-nya Taryadi amat lezat untuk disantap J

Rabu, 11 Maret 2020

PENDIDIKAN LITERASI

Dok: Sumber Pribadi


Pagi hari dan literasi. Agaknya, literasi masih terus menjadi bahasan empuk hingga kini. Ia masih terus dikaji dari berbagai perspektif, termasuk dalam esensi buku ini. 
Prof. Sarwiji enggan mempersepsi literasi hanya sekadar tipis di area permukaan, yaitu seputar aktivitas membaca dan menulis saja. Beliau membawa perspektif literasi hingga ranah bermasyarakat dan berbangsa. Sudut pandang kajian tak pula melulu dijejali dengan pengertian yang deskripsional. Ada upaya pembangunan generasi literat yang disampaikan. Berharap para pemangku kepentingan (stakeholder) turut bahu membahu mengimplementasikan.

Dalam konteks pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia (pun guru bahasa Indonesia) tidak terlepas dari aktivitas berliterasi di sekolah. Cukup rasional, karena anggapan awal bahwa literasi pasti berhubungan dengan membaca dan menulis. Dalam lingkup sekolah kemudian diejawantahkan dalam bentuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, bila menelisik konsep literasi lebih dalam, amatlah dangkal bila literasi sekadar “ditasbihkan” dalam program membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit pada awal pembelajaran. Fixed, telah terjadi miskonsepsi literasi!

Miskonsepsi tersebut pula lah yang menarik saya untuk menjadikannya sebagai topik riset tahun ini. Pun, adanya Diskusi kecil dengan Rizqy Rahmat Hani, alumnus kerens yang sedang gencar menyalakan api literasi bagi negeri lewat Kampus Cikal. Tidak berharap muluk dari hasil riset nanti. Namun, semoga (minimal) bisa memberi sedikit ide untuk mereduksi miskonsepsi dan kemudian me-redesain program atau aktivitas terkait literasi. Peduli amat akhirnya dari mana sumber pendanaan risetnya nanti. Bukankah berada pada level merasa nyaman dengan apapun topik riset yang sedang digeluti mesti dimulai dari diri?

Terakhir, bahasan pada BAB IV buku ini cukup menarik dengan dimunculkannya tantangan untuk mencetak peluang berwirausaha di bidang literasi. Potensi yang besar di bidang teknologi informasi melalui literasi digital/literasi teknologi/literasi media, misalnya, perlu digarap dengan optimal. Penyiapan kebijakan, regulasi, dan panduan rancangan serta implementasi program pengembangan wirausaha literasi perlu segera diagendakan.

KULIAH PAKAR ADOBSI