Jumat, 15 Februari 2019

MENAKAR RELEVANSI READ-ALOUD KINI

https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/167761/menakar-relevansi-read-aloud-kini

Literasi masih menjadi bahasan “empuk” hingga kini. Salah satunya, literasi dalam cakupan kecakapan berbahasa. Terbukti, gerakan literasi global diserukan setiap tanggal 1 Februari melalui World Read Aloud Day (WRAD). Aktivitas WRAD dilakukan untuk menyampaikan pesan utama bahwa literasi dasar (membaca dan menulis) merupakan hak setiap anak dan bertujuan meningkatkan kesadaran terhadap literasi.

Beberapa tantangan muncul dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut, salah satunya adanya pergeseran dan gap antargenerasi yang makin kentara. Era baby boomers, generasi X, generasi Y, beralih pada generasi Z kini. Dua generasi terakhir mempertontonkan cara berkomunikasi yang berbeda. Generasi Y cenderung berkomunikasi dengan teks, adapun generasi Z beralih pada gambar, foto, atau video sebagai medianya. Mengapa demikian? karena tuntutan generasi kini yang serba cepat dan instan, serta keintiman mereka dengan telepon pintar (smartphone) atau perangkat digital lainnya.

Peralihan generasi dengan segala karakteristiknya perlu mendapat perhatian serius dari orang tua. Kini orang tua mestinya bukan hanya terfokus pada bagaimana cara menjauhkan anak dari ketergantungan terhadap perangkat digital. Bagi generasi Z, teknologi informasi merupakan sebagian nyawa mereka (Jati, 2019). Keniscayaan tersebut memposisikan, bahkan menuntut, orang tua menjadi atau menghadirkan pemodelan yang adaptif terhadap perubahan. Pun dalam berliterasi, upaya memelihara lingkungan literasi anak mesti terus dilakukan tanpa membenturkan dengan tipikal zaman.

Membaca Lantang (Reading Aloud)
          
Bila menilik hasil beberapa survei mengenai minimnya minat baca anak di Indonesia, yang terasa seketika ialah nelangsa. Pemerintah tidak tinggal diam, melalui Peraturan Mendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, diimplementasikanlah Gerakan Literasi Nasional (GLN). Hanya saja, awam kemudian memaknai GLN hanya sekadar membudayakan aktivitas membaca yang berpusat di sekolah. Padahal, 2 (dua) unsur penting lainnya mesti turut berperan pula yaitu masyarakat dan keluarga. Keseluruhan rangka bangun GLN mesti terintegrasi; Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Gerakan Literasi Masyarakat (GLM), dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK).

Dalam GLK, orang tua dan atau orang dewasa di sekitar anak menjadi penanggung jawab utama. Pengalaman membaca awal, yang dapat dinikmati dan menerbitkan rasa senang pada anak, harus ditumbuhkan mulai dari keluarga. Pada tahap awal ini, penekanan bukan tentang “bisa” melainkan mengenai “suka”. Untuk tujuan tersebut, membaca lantang (read-aloud) umum digunakan.

Jim Trelease (2008) dalam Read-Aloud Handbook mengemukakan bahwa metode ini mengkondisikan otak anak untuk mengasosiasi membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan. Membaca lantang jangan diasumsikan sekadar membacakan buku kepada anak dengan suara nyaring atau keras. Aktivitas membaca lantang perlu menghadirkan unsur teatrikal, penuh ekspresi, sesuai kadar cerita yang dibacakan. Ini akan menguatkan imajinasi anak mengenai tokoh, karakter, dan konten cerita. Selain, tentu lebih menarik perhatian dan mengembirakan. Bila orang tua masih membacakan buku dengan nada dan mimik muka datar, intonasi sekadarnya, atau bahkan masih muncul rasa malu dihadapan anak, hal tersebut mesti segera dienyahkan. Orang tua adalah pencerita terbaik bagi anak!

Pada tahap prabaca, ajak anak-anak untuk mengeksplorasi fisik buku. Misalnya, tanyakan apa warna sampulnya? gambar apa yang tampak pada sampul? gali pengetahuan awal anak terhadap gambar tersebut, pancing anak dengan kosakata baru. Selami tiap kosakata yang digunakannya untuk menjawab. Kemudian, untuk menstimulasi Higher Order Thinking Skill (HOTS), tuntun anak untuk membuat prediksi mengenai tema atau konten cerita yang akan dibacakan hari itu berdasar gambar sampul. Untuk memberi apreasiasi dan menstimulasi anak untuk aware terhadap buku, kenalkan pula penulis/ilustrator/penerbitnya.

Pada tahap membaca inti buku, ajak serta anak untuk aktif. Jangan biarkan anak sekadar diam; “anteng” mendengarkan. Misalnya, ajak anak turut menyentuh huruf atau kata yang sedang dibacakan. Bila sedang menggunakan buku bergambar, persilakan anak menunjuk gambar sesuai kosakata yang diucapkan. Keaktifan anak juga dapat distimulasi dengan melakukan jeda, diikuti pemberian pertanyaan terkait isi cerita. Bila perlu, ulangi dan tekankan beberapa bagian kosakata atau kalimat yang dianggap penting.

Pada beberapa praktik yang saya lakukan, terkadang justru anak yang meminta jeda atau secara sengaja “mencegat” aktivitas membaca, ketika ia mengalami kesulitan mencerna makna suatu kata. Suatu ketika, saya ditanya “Mah, sepoi-sepoi itu apa?”, ketika saya belum selesai membacakan kalimat “angin sepoi-sepoi membuat si kura-kura tertidur di …”. Hentikan dulu aktivitas membaca, jawab pertanyaan dengan memberi pemahaman dan penggambaran yang sedekat mungkin dengan pengetahuan anak.
          
Pada Kesempatan lain, saya harus mengulang-ulang kata “harus”, “haus”, dan “arus” karena muncul dalam satu paragraf. Pernah pula, saya harus mempraktikkan langsung, demi menuntaskan pertanyaan “Lolongan itu yang bagaimana, Mah?” ketika sampai pada kalimat “…terdengar suara lolongan serigala dari dalam hutan”. Memastikan anak terpuaskan atas pertanyaan dan rasa penasarannya akan memberi poin lebih dalam aktivitas membaca lantang berikutnya.

Adapun pada tahap pasca membaca, orang tua dapat mengajak anak mendiskusikan salah satu tokoh cerita, atau meminta anak menjelaskan hubungan antartokoh cerita. Beri kesempatan kepada anak untuk menyampaikan sudut pandang sederhana terkait esensi cerita. Bisa pula dengan meminta anak untuk menceritakan kembali isi cerita dengan kosakata yang telah dikuasainya.

Dalam implementasi yang tepat, membaca lantang tidak akan memunculkan kebosanan, stres, dan tidak memerlukan tempat khusus. Orang tua sebagai pemrakarsa harus menyiapkan diri. Selain kemampuan, tentu juga kemauan. Apalagi bila mengingat besarnya kebermanfaatan yang bisa didapatkan anak melalui aktivitas ini. Antara lain peningkatan kecakapan berbahasa, pemodelan cara membaca yang baik, stimulasi berpikir kritis, serta kedekatan dengan orang tua dan buku.

Bagi generasi Z, aktivitas ini bisa diinovasikan dengan penggunaan buku elektronik (walau tetap disarankan buku cetak, untuk meneguhkan consept of print pada anak). Bila menggunakan buku elektronik, anak akan terbawa dalam “suasana digital”. Pada tahap awal, biarkan anak mengeksplorasi fitur-fitur terlebih dahulu sampai pada kesiapan mulai membaca lantang. Selanjutnya, tahapan demi tahapan sama dengan ketika menggunakan buku cetak.

Inovasi lain yang bisa dihadirkan untuk generasi Z ialah mengekplorasi tahap pasca membaca lantang, dengan membuat video ketika anak menceritakan kembali cerita. Konten dan tampilan video yang telah teredit selanjutnya dapat diteruskan untuk diunggah dalam akun youtube, sehingga aktivitas ini mempunyai luaran. Membaca lantang masih relevan untuk terus diterapkan kini. Generasi Z diharapkan tidak lagi sekadar sebagai school-time reader, namun merupakan life-time reader.


*telah dipublikasikan oleh Harian Suara Merdeka
https://www.suaramerdeka.com/smcetak/baca/167761/menakar-relevansi-read-aloud-kini

3 komentar:

  1. Wah jadi ingat kenangan masa kecil, dibacakan cerita oleh ayah dan setelah SD-SMP gantian membacakan berita di koran untuk nenek. Apakah itu termasuk dlm hal ini ya?

    BalasHapus
  2. Kemarin dah komen via hp, nggakmasuk ya? Keren banget artikelnya Mbak. Kalau aku sih hanya nggambar saja. Terus si kecil kuminta bercerita versinya aja. Jadi 1 gambar bisa kemana-mana, walaukadang nggak nyambung hehehe...

    BalasHapus
  3. Baca ini ko jadi malu.. Karena masih kurang banget budaya membaca buku di keluargaku. Buku sudah ada, tapo bacanya maish blm rajin 🙈

    BalasHapus

KULIAH PAKAR ADOBSI