FASIH BERKOMUNIKASI DI ERA MEDIA SOSIAL
Judul:
“Flow” di Era Socmed (Efek-Dahsyat Mengikat Makna)
Penulis:
Hernowo Hasim
Penerbit:
Kaifa - Mizan Publishing
Tebal:
228 halaman
ISBN:
978-602-0851-48-8
Dewasa ini, menjadi pengguna media sosial adalah sebuah keniscayaan. Tipikal penyampaian media sosial yang masal, bebas, dan cepat menjadi alasan pemanfaatannya sebagai jalur informasi dan inspirasi, menumpahkan ekspresi (self expression), dan bahkan untuk melakukan pencitraan diri (personal branding). Pengguna diberikan banyak pilihan dengan wujud media sosial yang beragam, mulai dari bentuk visual (Instagram), tayangan bergerak (Youtube), status-komentar (Facebook), info singkat (Twitter), dsb.
Lazimnya sebuah komunikasi, kadang komunikator dapat menyampaikan pesan dengan lancar. Namun, beberapa diantaranya ada yang terbata-bata, sehingga aliran makna pesan menjadi kabur. Hal demikian dialami pula oleh penulis buku ini. Pada bagian pengantar (hal. 11), Hernowo menyampaikan pengalaman pribadinya, bagaimana dari kecil ia sering gagap dalam berkomunikasi dan tidak terlatih menyampaikan pendapat dengan lancar.
Strategi “mengikat makna” kemudian dimunculkan dan berhasil dibuktikannya. Inti “mengikat makna” adalah membaca sederet teks/menyimak informasi dan kemudian menuliskannya/menyampaikan kembali pemahamannya secara bebas (hal 15). Strategi “mengikat makna” digunakan untuk melejitkan keterampilan berbahasa yang integral, meliputi membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Peningkatan keterampilan keempat komponen tersebut lah yang menunjang dan menjadi indikator kecakapan berkomunikasi.
Selain terhadap dirinya sendiri, Hernowo juga mengimplementasikan strategi “mengikat makna” tersebut dalam perkuliahan yang diampunya, khususnya di kelas menulis. Sebagai dosen, ia selalu memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengeluarkan pikiran orisinalnya dan kemauan untuk berlatih menulis (hal 25). Untuk mendekatkan dengan dunia digital kini, media sosial seperti Facebook digunakannya sebagai media dalam melatih. Menariknya, salah satu kesepakatan dalam latihan tersebut, mahasiswa “diharamkan” copy paste. Menurutnya, generasi plagiat harus benar-benar diberantas.
Selain media sosial yang bersifat terbuka (dinikmati bebas oleh khalayak), penulis yang telah “membidani” 24 buku dalam empat tahun ini, juga mengenalkan trik “ruang privat”. Model latihan ini diyakini mampu memberi kenyamanan pada penulis pemula dalam berekspresi. Penulis fokus mempedulikan dan memperhatikan diri sendiri (hal 35). Trik tersebut memunculkan keberanian (tanpa beban dan tekanan) bahwa tulisannya akan dinilai atau bahkan dihakimi oleh orang lain. Penulis bebas berargumen, merevisi, sehingga pesan yang disampaikan menjadi jernih dan tertata sebelum dimunculkan ke ruang publik.
Beberapa pakar yang dirujuk dalam buku ini menjadikan integrasi yang menarik dalam kajian kecakapan berkomunikasi, khususnya menulis. Misalnya, peneliti yang juga psikolog Dr. James W. Pennebaker yang mengemukakan manfaat menulis untuk kesehatan psikis. Ada pula Bobbi DePorter dan Mike Hernacki yang mengemukakan tentang fast writing ala Quantum Writing, sejalan dengan free writing (menulis blak-blakan), dalam arti “membuang” apa yang ada dalam pikiran secara orisinal dengan cepat.
Dewasa ini, menjadi pengguna media sosial adalah sebuah keniscayaan. Tipikal penyampaian media sosial yang masal, bebas, dan cepat menjadi alasan pemanfaatannya sebagai jalur informasi dan inspirasi, menumpahkan ekspresi (self expression), dan bahkan untuk melakukan pencitraan diri (personal branding). Pengguna diberikan banyak pilihan dengan wujud media sosial yang beragam, mulai dari bentuk visual (Instagram), tayangan bergerak (Youtube), status-komentar (Facebook), info singkat (Twitter), dsb.
Lazimnya sebuah komunikasi, kadang komunikator dapat menyampaikan pesan dengan lancar. Namun, beberapa diantaranya ada yang terbata-bata, sehingga aliran makna pesan menjadi kabur. Hal demikian dialami pula oleh penulis buku ini. Pada bagian pengantar (hal. 11), Hernowo menyampaikan pengalaman pribadinya, bagaimana dari kecil ia sering gagap dalam berkomunikasi dan tidak terlatih menyampaikan pendapat dengan lancar.
Strategi “mengikat makna” kemudian dimunculkan dan berhasil dibuktikannya. Inti “mengikat makna” adalah membaca sederet teks/menyimak informasi dan kemudian menuliskannya/menyampaikan kembali pemahamannya secara bebas (hal 15). Strategi “mengikat makna” digunakan untuk melejitkan keterampilan berbahasa yang integral, meliputi membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Peningkatan keterampilan keempat komponen tersebut lah yang menunjang dan menjadi indikator kecakapan berkomunikasi.
Selain terhadap dirinya sendiri, Hernowo juga mengimplementasikan strategi “mengikat makna” tersebut dalam perkuliahan yang diampunya, khususnya di kelas menulis. Sebagai dosen, ia selalu memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengeluarkan pikiran orisinalnya dan kemauan untuk berlatih menulis (hal 25). Untuk mendekatkan dengan dunia digital kini, media sosial seperti Facebook digunakannya sebagai media dalam melatih. Menariknya, salah satu kesepakatan dalam latihan tersebut, mahasiswa “diharamkan” copy paste. Menurutnya, generasi plagiat harus benar-benar diberantas.
Selain media sosial yang bersifat terbuka (dinikmati bebas oleh khalayak), penulis yang telah “membidani” 24 buku dalam empat tahun ini, juga mengenalkan trik “ruang privat”. Model latihan ini diyakini mampu memberi kenyamanan pada penulis pemula dalam berekspresi. Penulis fokus mempedulikan dan memperhatikan diri sendiri (hal 35). Trik tersebut memunculkan keberanian (tanpa beban dan tekanan) bahwa tulisannya akan dinilai atau bahkan dihakimi oleh orang lain. Penulis bebas berargumen, merevisi, sehingga pesan yang disampaikan menjadi jernih dan tertata sebelum dimunculkan ke ruang publik.
Beberapa pakar yang dirujuk dalam buku ini menjadikan integrasi yang menarik dalam kajian kecakapan berkomunikasi, khususnya menulis. Misalnya, peneliti yang juga psikolog Dr. James W. Pennebaker yang mengemukakan manfaat menulis untuk kesehatan psikis. Ada pula Bobbi DePorter dan Mike Hernacki yang mengemukakan tentang fast writing ala Quantum Writing, sejalan dengan free writing (menulis blak-blakan), dalam arti “membuang” apa yang ada dalam pikiran secara orisinal dengan cepat.
Membaca “Ngemil”
dan Menyimak Empatik
Untuk dapat berkomunikasi dengan fasih (flow), penulis harus memiliki asupan untuk kemudian dituangkan. Membaca merupakan aktivitas perangsang untuk mendapatkan input yang baik. Membaca ngemil harus dijadikan kebiasaan, pun dalam memanfaatkan waktu di sela kesibukan penulis. Membaca jenis ini dilakukan tanpa tergesa-gesa (santai) dan sedikit demi sedikit (hal 125). Akan lebih lengkap lagi bila buku yang dibaca berkategori bacaan “bergizi”. Selain melalui aktivitas membaca, asupan juga bisa didapatkan dari aktivitas menyimak informasi yang berjubel setiap hari. Menyimak empatik diperkenalkan dalam buku ini sebagai salah satu trik “mengikat makna”. Menyimak secara empatik berarti mendengar dengan menggunakan pikiran yang jernih dan terbuka (hal 165). Dengan demikian, penyimak empatik akan memahami apa yang disampaikan oleh komunikan. Informasi tersebutkan yang bisa merangsang ide atau gagasan untuk dituangkan kembali dalam bentuk tulisan.
Flow yang diartikan mengalirkan pikiran dalam berkomunikasi (tulis) ini merupakan pengalaman awal penulis dalam menerapkan free writing setelah berhasil “mengikat makna” dari aktivitas membaca dan menyimak. Strategi tersebut dapat dilakukan di ruang privat, sehingga menjadi terapi yang baik menuju kecakapan berkomunikasi yang tertata di ruang publik.
Untuk dapat berkomunikasi dengan fasih (flow), penulis harus memiliki asupan untuk kemudian dituangkan. Membaca merupakan aktivitas perangsang untuk mendapatkan input yang baik. Membaca ngemil harus dijadikan kebiasaan, pun dalam memanfaatkan waktu di sela kesibukan penulis. Membaca jenis ini dilakukan tanpa tergesa-gesa (santai) dan sedikit demi sedikit (hal 125). Akan lebih lengkap lagi bila buku yang dibaca berkategori bacaan “bergizi”. Selain melalui aktivitas membaca, asupan juga bisa didapatkan dari aktivitas menyimak informasi yang berjubel setiap hari. Menyimak empatik diperkenalkan dalam buku ini sebagai salah satu trik “mengikat makna”. Menyimak secara empatik berarti mendengar dengan menggunakan pikiran yang jernih dan terbuka (hal 165). Dengan demikian, penyimak empatik akan memahami apa yang disampaikan oleh komunikan. Informasi tersebutkan yang bisa merangsang ide atau gagasan untuk dituangkan kembali dalam bentuk tulisan.
Flow yang diartikan mengalirkan pikiran dalam berkomunikasi (tulis) ini merupakan pengalaman awal penulis dalam menerapkan free writing setelah berhasil “mengikat makna” dari aktivitas membaca dan menyimak. Strategi tersebut dapat dilakukan di ruang privat, sehingga menjadi terapi yang baik menuju kecakapan berkomunikasi yang tertata di ruang publik.
Diresensi oleh:
Santi Pratiwi T. Utami
OTM Agita Gaza Kinasih (TK B2) Nasima Semarang
*Dimuat di Majalah Pendidikan Merah Putih, Edisi 116/Februari 2019
Semakin banyak buku yg berkaitan dgn sosmed ya. Boleh nih buat referensi
BalasHapusMakin banyak buku yg bahas ttg sosmed yahh bisa nih buat referensi.
BalasHapusMakin banyak buku yg bahas ttg sosmed yahh bisa nih buat referensi.
BalasHapusSaya juga masih sering gagap kalau bicara langsung mbak. Lebih enak nulis, hehe
BalasHapusKangen baca bukunya Pak Hernowo, salut atas kepiawaian beliau menulis ya renyah dibaca..beneran penulis harus selalu ngemil bulu yang bergizi agar idenya selaluengalir..
BalasHapusSosmed jadi hal yang seru untuk dipahami, dijelajahi, dan dinikmati. Asik juga ada yang membahas dengan gaya ilmiah begini.
BalasHapusMembaca ngemil sama gak sih maknanya dengan 'ngemil bacaan' artinya membaca sedikit-demi sedikit saat ada waktu luang gitu?
BalasHapusIya betul harus banyak membaca nambah wawasan mau nulis di sosmed atau blog, agar gak salah paham pembacanya heuheu..
BalasHapusNah bener membaca itu harus layaknya ngemil, santai dinikmati bener2.
BalasHapusbisa nih di jadiin referensi buat bacaan.. nambah-nambah ilmu. thanks ya mbaa
BalasHapusPenulis tanpa baca, mlompong isi ceritanya ya Mbak
BalasHapusaku jadi pengen baca juga nih, udah lama nggak baca buku fisik biasanya baca yang onlinean melulu hehehe makasih ngingetin mb
Sumbernya nulis itu baca. Sayang sekarang saya jarang baca 😭
BalasHapusBtw aku jg punya masalah kesulitan menyampaikan pendapat... Jadi pengen punya bukunya