MENGUPACARAI BUKU
Kami
berguru pada buku! Begitu ucapan yang terlontar dari kaum bibliofili, pecinta
buku, untuk menggambarkan kasih mereka pada berderet-deret pustaka. Bagi
mereka, buku merupakan sebuah artefak pengetahuan dan membaca adalah laku budaya
untuk menyesapnya. Penghikmatan terhadap buku dipupuk saban hari dan diupacarai
pada beberapa momen, salah satunya saat Hari Buku Nasional, setiap 17 Mei.
Menilik dunia di balik buku terkadang
mengundang keseruan baru. Benar, bahwa tidak setiap pembaca perlu tahu. Namun,
bagaimana buku dilahirkan, dikemas, dan disuguhkan oleh pelaku perbukuan akan
berdampak pada pembaca selaku konsumennya. Berbagai regulasi yang menyertai tidak
semua berganti, tetapi selalu bertumbuh seturut peradaban. Dunia perbukuan
telah membentuk sebuah ekosistem. Untuk bertahan, Ia mesti selalu relevan
dengan perkembangan zaman.
Mendefinisikan buku versi Unesco
sebagai publikasi tercetak, tidak berkala, ketebalan lebih dari 49 halaman,
memiliki kover yang khas, diterbitkan di suatu negara, dicetak
sekurang-kurangnya 50-100 eksemplar, dan disebarkan kepada publik, tentu sudah kurang
sesuai dengan arus perbukuan sekarang. Beberapa aspek, yaitu medium cetak,
kuantitas halaman dan minimum cetakan ditenggarai kurang adaptif dengan perkembangan.
Kini, buku tak hanya yang berwujud teks
tercetak saja. Buku elektronik dan buku suara (audio book) sudah kian
digemari dan mudah ditemui. Artinya, buku cetak bukan lagi pilihan tunggal. Terkait
kuantitas halaman, ada banyak sekali buku-buku untuk jenjang usia dini yang
tidak sampai 49 halaman. Jadi, bila mengacu pada ketentuan itu, akan banyak
yang terelimininasi dari kategori buku. Adapun mengenai minimum cetakan, kini sistem
Print on Demand (PoD) telah memberi layanan cetak sesuai permintaan.
Sistem ini amat membantu penulis indie yang memilih jalur penerbitan mandiri (self
publisher). Namun, kekurangsesuaian ketentuan-ketentuan tersebut amat wajar
mengingat standar Unesco tersebut ditetapkan 57 tahun silam.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mentasbihkan buku sebagai karya tulis
dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa
publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala. Ya, ada satu hal
yang menunjukkan keadaptifan, yaitu publikasi elektronik. Penggarapan buku yang
dipublikasikan secara elektronik terejawantah dengan sebutan buku elektronik (electronic
book atau e-book). Pembaca masa kini disuguhi konsep membaca tanpa
menimang-nimang kertas (Dahlan, 2009). Selain tidak memerlukan perawatan yang
ekstra, alasan akses terhadap buku elektronik yang kian terbuka juga makin
mengemuka. Pasar buku jenis ini memang belum merata, tetapi besarnya peluang
membuat penerbit-penerbit tak menutup mata. Mereka mulai nyicil dan
bergerak secara masif. Oh ya, kehadiran buku suara (audio book) juga
alternatif yang makin ramai peminat. Betapa tidak? Konsep membaca dengan
telinga ini begitu memanjakan pembaca dengan keleluasaan akses. Pembaca serasa
masuk dalam ruang maya, belajar sambil berleha-leha.
Transformasi
Digital
Transformasi ke ranah serba online
tak hanya sampai pada penampilan buku saja. Kini pembaca juga dapat mengakses
dan memperbincangkan aneka rupa bacaan melalui perpustakaan digital (electronic
library atau digital library), toko-toko buku digital (online
bookstore), serta pertemuan-pertemuan dengan klub dan komunitas baca secara
virtual. Melalui perpustakaan digital, masyarakat mestinya sudah mulai
meninggalkan alasan usang “harga buku mahal” untuk dapat bertemu, mencecap
ilmu, hingga mengkritisi esensi yang ditawarkan buku. Instansi-instansi
pemerintah, seperti perpustakaan nasional (i-pusnas) dan perpustakaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (EPerpusdikbud menyuguhkan
aplikasi layanan perpustakaan digital yang serba gratis. Belum lagi,
perpustakaan digital yang disediakan oleh hampir seluruh kampus di Indonesia,
bahkan di dunia.
Selain layanan perpustakaan dalam medium
virtual, masyarakat pembaca pasti juga telah begitu intim dengan repositori
maya terbesar seperti Google dan ensiklopedia raksasa semacam Wikipedia. Namun
demikian, dua sumber terakhir ini mestinya tidak serta merta dijadikan
referensi ilmiah tanpa penelusuran yang lebih mendalam. Toko-toko buku digital
juga menawarkan kemudahan. Melalui lokapasar (marketplace), ratusan
penjual berasa dalam gengaman. Belanja buku jarak jauh ini tak banyak aral,
kecuali mesti sangat waspada pada lapak-lapak buku bajakan. Efisiensi pola
belanja yang selaras dengan pola hidup kini, utamanya bila menyoal waktu dan
tenaga.
Perkembangan jagat siber telah memangkas jalur panjang
distribusi karya dari penulis-penerbit kepada pembaca. Pilihan-pilihan solusi
atas keterbatasan akses buku (cetak) telah dikemukakan di atas. Imbauan tak pernah
kurang, tetapi terkadang masyarakat tetap memilih solusi yang bersifat menghancurkan.
Iya, dengan tetap membeli buku bajakan, misalnya. Daya dobrak bisnis buku
bajakan berpotensi merobohkan ekosistem perbukuan. Kalaulah tetap ingin
mempunyai buku (cetak) dengan harga yang tidak mahal, membeli di lapak-lapak
buku seken (second-an) jauh lebih bermartabat daripada mengakses barang
curian.
Selain pembajakan buku, kehadiran buku-buku
tanpa kurasi juga berperan besar menghadirkan tsunami buku yang belum tentu
bermutu. Benar bahwa kualitas sebuah buku dari sisi pembacanya akan bersifat
subjektif. Takaran bermanfaat atau tidaknya menjadi otoritas pembaca. Namun,
tanpa adanya penyaringan karya yang dilempar kepada pasar (pembaca), siapa yang
akan bertanggung jawab atas esensi yang ditawarkan? Penerbitan mandiri menjadi
pihak yang paling sering disorot mengenai hal ini. Namun, akan sangat baik bila
penerbit mayor pun terus mengupayakan perhatian terhadap hal tersebut, dengan
menjaga ketat kualitas produk buku yang hendak digarap dan dipublikasikan.
Verba Volant Scripta Manent!
Peribahasa Latin ini menyemai arti “Apa yang terkatakan, akan segera lenyap.
Apa yang tertulis akan menjadi abadi!” Masyarakat pembaca tentu terus berharap
kesuburan karya para penulis dari berbagai pelosok negeri, dari kalangan yang
beragam, dan dari berbagai bidang keilmuan. Mereka diharapkan terus mencipta
ruang-ruang penuh wawasan, yang kemudian dapat dicerna, didiskusikan dalam
bilik-bilik kebersamaan, hingga dikritisi dan diapresiasi.
Mata rantai perbukuan selalu dimulai dari
naskah mentah karya pengarang yang disusun bukan hanya dengan keterampilan
menulis, melainkan juga keterampilan membaca, melakukan riset bahan tulisan,
dan memiliki daya libat atas permasalahan yang akan diajukan. Atas kerja keras
tersebut, masyarakat pembaca akan belajar dari seseorang yang (memang) tidak
selalu hadir secara fisik. Namun, aliran pengetahuan baru dan nasihat baik akan
dapat terus diunduh kapan saja dan oleh siapa saja.
*Telah dipublikasikan di linikampus.com, 17 Mei 2020
https://linikampus.com/2021/05/17/mengupacarai-buku/
Komentar
Posting Komentar