LAYANAN PROGRAM KEAKSARAAN ADAPTIF
Penyebaran
virus COVID-19 yang masif di Indonesia memberi dampak yang nyata dalam berbagai
bidang kehidupan masyarakat, termasuk bidang pendidikan. Kebijakan pelaksanaan
pendidikan dalam masa darurat COVID-19 telah ditetapkan oleh pemerintah melalui
Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) No. 4 Tahun 2020.
Kebijakan tersebut didukung oleh Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemdikbud No.
15 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah dalam Masa
Darurat Penyebaran COVID-19. Dalam kondisi ketidaksiapan, pembelajaran moda
daring menjadi pilihan yang memungkinkan agar pembelajaran, sebagai hak
pendidikan bagi masyarakat, terus berlangsung dengan tetap patuh akan anjuran
pembatasan sosial (social distancing).
Implementasi Belajar dari Rumah yang
telah terlaksana lebih dari satu tahun ini belum dalam kondisi ideal, tetapi
terus dilakukan evaluasi dan tindak lanjut ke arah perbaikan. Para pelaku
pendidikan, utamanya yang terlibat langsung dalam proses belajar mengajar
(guru, peserta didik, dan orang tua) mengutarakan beberapa kendala, antara lain
terkait sarana dan prasarana, baik ketersediaan perangkat keras (personal
computer, laptop, atau telepon pintar), ketercukupan data atau kuota
internet, dan akses sinyal yang berbeda-beda di setiap titik domisili, baik
pengajar maupun pembelajar. Pemerintah tidak tinggal diam, kebijakan pemberian
bantuan kuota untuk pembelajaran bagi guru dan peserta didik di semua jenjang
pendidikan patut diapresiasi, walaupun tetap perlu ada tinjauan dalam pendistribusian
dan efisiensi penggunaan.
Hal lain yang menjadi hambatan pula
ialah alih wahana pembelajaran dalam waktu relatif singkat. Pembelajaran pada
jenjang menengah dan perguruan tinggi memang telah memulai pola pembelajaran
campuran (blended learning) sebelum masa pandemi, tetapi kuantitasnya
masih sangat minim. Sementara, jenjang dasar dan usia dini dominan belum
memulai. Meski gagap pada awal pelaksanaan, kini adaptasi akan pola pembelajaran
moda daring mulai terbentuk. Bagi guru, hal-hal baru mengenai persiapan
pembelajaran, pola penyampaian materi secara virtual, penilaian secara
elektronik, hingga penyesuaian dengan kurikulum darurat memerlukan upaya lebih.
Gejala lain yang disinyalir melekat
pasca penerapan kebijakan Belajar dari Rumah ialah learning loss. Mahdum (2021) menyatakan learning loss
merupakan suatu kondisi hilangnya atau menurunnya kompetensi kognitif, afektif,
dan psikomotor peserta didik yang diakibatkan terhentinya proses pembelajaran
yang bermakna. Learning loss rentan dialami oleh peserta didik yang
tidak memiliki akses yang maksimal untuk melakukan pembelajaran daring. Hal
tersebut tidak hanya terjadi pada area pendidikan formal tetapi juga pada ranah
pendidikan nonformal, salah satunya pada layanan program keaksaraan.
Literacy
Loss
Program keaksaraan merupakan salah
satu program pembelajaran nonformal yang sangat mendasar dan penting dalam
menjalani kehidupan di abad 21. Misi program keaksaraan ialah memberi layanan
pembelajaran membaca, menulis, berhitung (calistung), dan kemampuan berbahasa
Indonesia sebagai keterampilan dasar untuk meningkatkan kualitas dan taraf
hidup. Saat ini pemberantasan buta aksara di Indonesia belum tuntas. Suryana
(2020) menyebut pada tahun lalu jumlah buta aksara di Indonesia masih tersisa
1,7 persen atau 3,2 juta dari penduduk Indonesia. Dukungan dari seluruh
pemerintah daerah, tutor, relawan layanan keaksaraan, dan masyarakat luas masih
terus diharapkan hingga target pemberantasan buta aksara mencapai zero persen
pada tahun 2030.
Layanan program keaksaraan termasuk
program pembelajaran sepanjang hayat (longlife learning) yang terdampak
pandemi COVID-19. Handayani (2021) menyebut program keaksaraan harus berhenti
sementara waktu karena ketidaksiapan layanan daring mengingat subjek didiknya
tidak sama dengan pendidikan formal. Sasaran program keaksaraan ialah warga
masyarakat yang belum dapat membaca, menulis, dan berhitung (calistung) melalui
program keaksaraan dasar. Selain itu, program luar sekolah ini juga memberi
layanan kepada warga buta aksara (illiterate) untuk mampu mengamati dan
menganalisis yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dengan memanfaatkan
potensi yang ada di lingkungan sekitar untuk peningkatan taraf hidupnya melalui
program keaksaraan lanjutan (fungsional). Bila ditelaah lebih dalam, program
keaksaraan lanjutan sampai dengan tahapan pemberian perlakuan yang merujuk pada
kemampuan multiaksara atau keaksaraan usaha mandiri (KUM). Jadi, tidak sekadar
berhenti pada kemampuan calistung, tetapi juga mengarah pada kecakapan
fungsional dalam kehidupan.
Dalam konteks pembelajaran jarak
jauh (distance learning) dengan moda daring, layanan program keaksaraan
memang sulit terwujud. Selain masih dalam kondisi buta aksara, warga masyarakat
yang mengikuti layanan ini dominan berada di daerah terpencil, sulit terjangkau
secara fisik maupun terkait akses sarana prasana, dan berusia lanjut. Namun,
bila selama masa pandemi ini tidak ada upaya untuk menggerakkan atau
menghidupkan kembali layanan program keaksaraan maka bukan hanya gejala learning
loss yang akan dialami, melainkan juga literacy loss.
Bao et all (2020) menyatakan literacy
loss merupakan kemerosotan atau hilangnya keterampilan literasi yang sebelumnya
sudah dimiliki. Berhentinya layanan program keaksaraan sangat mungkin membuat
hasil pembelajaran sebelumnya lepas atau bahkan hilangnya pemahaman awal.
Gejala literacy loss bagi warga masyarakat yang mengikuti layanan
keaksaraan perlu diminimalisasi dengan sikap adaptif terhadap kondisi.
Sulasmono (2012) menyatakan pembelajaran yang adaptif merupakan proses pembelajaran dengan
menyesuaikan kondisi, kebutuhan, dan lingkungan peserta didik sehingga terjadi
penguasaan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan.
Proses adaptif dilakukan dengan mengukur modalitas belajar siswa dan
mempertimbangkannya di dalam proses mendesain pembelajaran.
Program
Keaksaraan yang Adaptif
Kondisi masa pandemi COVID-19 ini
mendorong berbagai sektor kehidupan untuk adaptif terhadap keadaan sekitar.
Konsep adaptif dipakai dalam berbagai hal, mulai dari kepemimpinan adaptif,
kewirausahaan adaptif, hingga pembelajaran adaptif, termasuk dalam
keberlangsungan program keaksaraan. Merawat layanan program keaksaraan mesti
dilakukan semaksimal mungkin walau dengan medium yang minimal dan dalam kondisi
yang kurang ideal. Dalam konteks pandemi COVID-19, layanan program keaksaraan
mesti adaptif dengan warga masyarakat yang menjadi peserta, dengan standar:
minimal tidak terhenti.
Anjuran pembatasan sosial jelas
tidak berbanding lurus dengan minimnya kecakapan warga masyarakat peserta
program keaksaraan terhadap teknologi informasi bila akan diterapkan layanan
dengan moda daring. Oleh karena itu, pemerintah daerah dan lembaga keaksaraan
perlu memaksimalkan bantuan keluarga dan masyarakat di sekitar peserta. Gerakan
Literasi Masyarakat (GLM) dan Gerakan Literasi Keluarga (GLK) mesti digerakkan
dan disinergikan untuk memaksimalkan keberlangsungan layanan program
keaksaraan. Memaksimalkan media yang ada seperti televisi, radio, ruang terbuka
di sekitar domisili peserta, serta produk-produk kearifan lokal perlu
dilakukan.
Kerja sama yang apik antara seluruh
pemangku kepentingan pendidikan dan ekosistem layanan program keaksaraan
diharapkan dapat menjadi solusi pemertahanan keberlangsungan layanan
keaksaraan. Perubahan konsep pedagogi yang adaptif merupakan langkah ekspansif
layanan keaksaraan yang semoga terus memberi daya gugah, daya ubah, dan daya
guna bagi masyarakat. Keeping literacy alive during pandemic!
*telah dipublikasikan di metrobali.com, 9 Juli 2021
http://metrobali.com/layanan-program-keaksaraan-adaptif-perlu-diterapkan-di-tengah-pandemi-covid-19/
Komentar
Posting Komentar