KAMBING DAN HUJAN
Novel Kambing dan Hujan - Doc. Pribadi |
Rampung juga
akhirnya! Buku ini salah satu korban tsundoku, haha. Aku lupa kapan beli, yang
jelas sudah hitungan tahun nangkring di rak buku. Seingatku, penasaran menjadi
alasan membeli novel ini pasca dinobatkan sebagai Pemenang Sayembara Novel
Dewan Kesenian Jakarta 2014. Pemenang tahun-tahun berikutnya terus kuikuti,
hingga terakhir aku menunggu ‘Aib dan Nasib’, karya mas bro Minanto, yang
menjadi juara tahun ini.
Dari prolog,
aku sempat menebak akan mendapati novel percintaan dengan bumbu yang mendayu.
Namun, gambaran kehidupan kampung Centong mulai seru dengan kehadiran persaingan
paham dua kubu: masjid utara-Muhammadiyah dan masjid selatan-Nahdlatul Ulama
(NU), wadidaww! Tak pelak, silang sengkarut berbagai perbedaan tradisi
keagamaan kedua paham seagama itu menjadi warna cerita sepanjang 373 halaman.
Kambing dan
Hujan adalah representasi hal yang mustahil. Ya, layaknya kisah asmara Mif dan
Fauzia. Mif adalah anak pak Iskandar, ulama masjid utara. Fauzia adalah anak
pak Fauzan, tokoh masjid selatan. Sementara kedua orangtua itu dulunya teman
karib sejak SR yang “cerai” karena ngotot menjaga fikih masing-masing. Cerita
cinta keduanya terbentur tembok tebal yang dibangun bapak-bapak mereka. Duh!
Tangkapan
cerita novel ini seperti sodoran potret berisi fenomena keberagamaan dalam
masyarakat kini. Iya, sampai saat ini. Bagaimana bisik-bisik tentang perbedaan
jumlah rakaat salat Tarawih, tentang melisankan niat salat, qunut kah saat salat Subuh?, berapa kali
azan dalam salat Jumat, salat Idulfitri di lapangan atau masjid, soal penentuan
hari raya: dengan ru’yatul hilal atau perhitungan, dsb. Hahh... kehidupan
sosial yang menarik!
Dan,
sepertinya cinta masih bisa menjadi juru damai. Tokoh Iskandar dan Fauzan mau
meluruhkan ego, untuk tidak mengabaikan masa depan anak-anaknya. Happy ending dengan status besan tentu
cukup melegakan. Lalu kemana Mif dan Fauzia melabuhkan kecenderungan?
Ehmm… “Subuhnya
tak pakai qunut, tak apa kan?” kata
Mif. Fauzia tersenyum. “Tapi wiridnya yang panjang ya. Keraskan sedikit
bacaannya” ujarnya. Mif mengangguk dan kemudian mengangkat takbir. Fauzia
mengikuti setelah mengumamkan “ushalli”.
Yaps, hahaha.
Credit point tentu untuk Cak
Mahfud. Dalam berbagai postingan ia menegaskan ‘posisinya’ secara pribadi.
Namun, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan apik, dalam ‘posisinya’ sebagai
penulis, J
Komentar
Posting Komentar