MENJAGA EKOSISTEM PERBUKUAN
Tribun Jateng 150120 - Doc. Pribadi |
Literasi dan buku ibarat sepasang kaki yang
mesti sejalan. Benar, bahwa agenda literasi tak sekadar kegiatan membaca (dan
menulis). Namun, kecakapan berbagai jenis literasi umumnya diawali dari asupan
bacaan yang bergizi. Bacaan bermutu dilahirkan melalui proses panjang dan
melibatkan para pelaku perbukuan. UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan
menyebut pemangku kepentingan (stake
holder) perbukuan meliputi penulis, editor, penerjemah, penyadur, desainer,
ilustrator, pencetak, pengembang buku elektronik, penerbit, dan toko buku.
Hadirnya
UU Sistem Perbukuan meneguhkan peran pemerintah dalam mengupayakan tata kelola
perbukuan nasional. Salah satu tujuan yang diharapkan maksimal ialah
peningkatan peran pemangku kepentingan tersebut, dalam kerja budaya melalui
buku. Sayangnya, akhir-akhir ini peran tersebut makin terusik dengan banyaknya
praktik pembajakan buku. Kalau akan dikisahkan, kasus pembajakan buku di
Indonesia ibarat rangkaian drama dalam ratusan babak. Telah berjalan begitu
lama dan sekadar menjadi tontonan, tanpa penindakan. Selain sudah sangat
terang-terangan, pembajakan buku juga telah menjelma menjadi sebuah industri
dalam skala besar.
Dalam
beberapa kesempatan, berbagai dalih diajukan oleh pembajak buku untuk memperoleh
pembenaran. Contohnya, penerbitan tanpa mengindahkan hak cipta dan hak kekayaan
intelektual (author rights) itu
dilakukan demi turut menyebarkan ilmu pengetahuan. Alasan apologetis yang penuh
kelicikan dan mencolok moral. Beberapa diantaranya malah mengatasnamakan
penulis, dengan asumsi bahwa penulis pasti senang bila bukunya makin banyak dibaca.
Begitu meremehkan waktu, pikiran, dan imajinasi penulis dalam menghasilkan
karya.
Pembajakan
Kian Marak
Mengapa
praktik pembajakan buku tak kunjung redup? karena permintaan pasar pun tak
pernah surut. Artinya, konsumen buku bajakan masih menganggap hal tersebut
sesuatu yang lumrah dan baik-baik saja. Campur tangan pasar dengan konsumen
yang belum teredukasi ini akan makin menambah tebal modal pembajak. Mereka akan
makin leluasa dan masif memproduksi buku-buku yang dilabeli buku KW, buku
nonorisinal, atau buku repro itu.
Dua
poin yang dikeluhkan konsumen buku bajakan terhadap penjualan buku orisinal adalah
harga dan isi. Terkait harga, buku orisinal dirasa amat mahal dan memberatkan.
Wajar, mengingat sebaran persentase dari biaya produksi hingga biaya distribusi
yang tak murah juga. Kurniawan (2019) memerinci persentase biaya yang mesti
dibagi mulai dari praproduksi, pajak,
royalti penulis, biaya cetak, marketing dan toko buku. Maka, sangat
wajar bila harga buku bajakan jauh lebih murah. Pembajak hanya perlu “merampok”
isinya, cetak, dan jual semaunya. Sangat tercela!
Terkait
isi, konsumen buku bajakan umumnya berseloroh “toh isinya sama dengan aslinya”.
Beberapa diantaranya berpikir “yang penting punya buku dan dapat dibaca”.
Betapa egoisnya! Pernyataan tersebut juga menandakan bagaimana cara pandang
mereka terhadap buku. Hakikatnya buku bukan sekadar benda atau objek, melainkan
juga “juru bicara” penulis. Bila ditarik ke belakang, banyak penulis menjadikan
aktivitas menulisnya sebagai sebuah profesi. Lewat royalti 10-20% dari harga
buku yang terjual lah, kerja intelektual itu dibayar. Dan, perolehan royalti
itu berasa mimpi bila karya mereka terus “dicuri”. Ayolah, masih tegakah?
Edukasi
Konsumen Buku
Konsumen
buku memang pribadi merdeka dalam menentukan pilihan. Namun, melihat gelagat
sekarang, rasanya gerakan moral peduli ekosistem perbukuan yang sehat perlu konsisten
dikampanyekan. Edukasi dari berbagai pemangku kepentingan juga tak
kurang-kurang. Lewat berbagai jalur, khususnya media sosial, telah banyak
imbauan dengan harapan kuantitas penjualan buku bajakan bisa ditekan.
Esensi
edukasi harus lebih luas lagi. Selama ini, materi edukasi terhenti pada cara
mengenali ciri fisik buku bajakan, ketidakwajaran harga, dan kerugian-kerugian
yang dikhawatirkan merusak ekosistem perbukuan nasional. Padahal, konsumen buku
kadang masih belum paham apakah buku-buku dalam format pdf yang dengan mudah diunduh (download)
dari berbagai laman (website) dan kemudian
dibagikan via grup-grup media sosial, juga merupakan bagian dari pembajakan?
Beberapa konsumen buku perlu solusi pula bila tak mendapati buku-buku masterpiece yang sudah tak diterbitkan
ulang atau sulit ditemukan versi orisinalnya di toko-toko buku. Sementara,
konsumen buku di luar Jawa mengeluhkan besarnya ongkos kirim bila mengupayakan
pembelian buku-buku orisinal via toko buku daring (online) atau order melalui berbagai lokapasar (market place).
“Perang”
terhadap praktik pembajakan perlu terus dilakukan, diantaranya mengakses
buku-buku di perpustakaan, dengan harapan proses pembaruan koleksi buku terus
dilakukan. Selain itu, pembaca dapat pula mengakses aplikasi penyedia buku
elektronik legal seperti i-Pusnas, saling bertukar pinjam, memanfaatkan momen flash sale/diskon/obral dari berbagai
penerbit, atau alternatif akhir membeli buku-buku bekas atau sekenan.
Sikap
kibas terhadap pembelian buku bajakan bisa mengakar kuat dan membentuk tabiat.
Bukan tidak mungkin, akhirnya kebebalan tersebut menulari orang-orang sekitar.
Oleh karenanya, upaya membentuk mentalitas anti buku bajakan perlu terus
diupayakan. Legitimasi mengonsumsi buku hasil “rampokan” atau “curian” dengan
dasar “maunya menang sendiri” mesti diluruhkan. Masih ada banyak solusi tanpa
harus menzalimi orang lain. Cobalah bijak dengan tidak menjadi konsumen buku
yang dibajak! Mari dukung perjuangan literasi dengan tidak menjadi penjajah di
negeri sendiri.
*Telah dipublikasikan di Harian Tribun Jateng, 15 Januari 2020
https://jateng.tribunnews.com/2020/01/15/opini-santi-pratiwi-t-utami-menjaga-ekosistem-perbukuan
https://jateng.tribunnews.com/2020/01/15/opini-santi-pratiwi-t-utami-menjaga-ekosistem-perbukuan
Komentar
Posting Komentar