BUKU YANG DIPENJARAKAN
Sumber Foto: Dok. Pribadi |
Membaca memoar adalah membaca
kisah lama yang dikabarkan. Buku ini kutemukan diantara tumpukan datar nan
beragam, saat momen -Ketemu Buku Semarang- tahun lalu. Judul yang terkait
dengan ‘dunia buku’, membuatku berbinar setelah hampir 90-menitan ‘nguplek-nguplek’
ratusan buku di dalam Gedung Wanita -Sriwijaya. Selesai baca narasi di bagian
kover belakang, kupastikan buku masuk keranjang belanjaan.
Rasanya tak asing dengan nama
penulisnya. Nama belakangnya membuatku mengingat pelajaran sejarah (baca: IPS)
sejak sekolah dasar silam. Iya, DN Aidit adalah “nama beken” yang masuk salah
satu hafalan. Dulu orang menyematkan kata “gembong partai komunis” bila ditanya
ia siapa. Yang baru kemudian kutahu DN
adalah kependekan dari Dipa Nusantara J.
Penggantian nama yang tetap tidak meninggalkan nama keluarga: Aidit! Hmm… Sobron,
penulis buku ini, adalah adiknya.
Memoar terbitan Best Publisher
ini mengantarkanku pada pengembaraan panjang Sobron Aidit. Bisa ditebak,
presentase kisah pilu lebih mendominasi. Kisah tentang keluarga, karya,
gempuran sweeping, dan hukuman tanpa
delik aduan bagi siapapun yang terkait dengan partai komunis saat era Orba
diceritakannya dengan cukup lugas. Pun, ada nada pembelaan di setiap kisah yang
dituliskan. Bahwa ada pemutarbalikan fakta, ada sanksi moral yang luar biasa
sepanjang hidupnya, dan ketidakberdayaan menjelaskan bahwa 2nd name-nya adalah nama keluarga yang tak ingin Ia
lepas begitu saja.
Dari keseluruhan isi, buatku
bagian kisah tentang nasib buku-buku “kiri” yang menjadi koleksi teramat
menarik untuk dikaji. Bila kondisi memungkinkan, aku berniat menghubungi
Perpusnas untuk menanyakan apakah aturan mengakses buku-buku “terlarang” masih
berlaku hingga kini? J
Kisah tersebut dituliskan
Sobron di bagian awal. Pengkotakan buku yang bebas diakses (pinjam atau baca
ditempat) dan yang tidak boleh tak dijelaskan secara detail. Namun, kisah
tentang buku-buku yang ditempatkan di satu ruang khusus, bahkan berjeruji besi,
mengantarkan pada bayangan buku-buku “tak normal” yang perlu diisolasi. Akses
baca amat terbatas. Bahkan, begitu calon peminjam masuk maka ruangan akan
dikunci dari luar, ada lubang pengintai dan diawasi petugas secara kontinu saat
mengakses bacaan. Ada tanggapan? J
Persetujuan untuk masuk “ruang
khusus” itu pun amat panjang, tahapan izin mulai dari Kaperpusnas, Mendikbud,
Kejagung, BIN, dan BAKIN mesti dilalui terlebih dahulu. Hmmm… begitu selesai
membaca bagian ini, aku teringat beberapa buku yang bisa menjadi referensi
terkait. Buku-buku seperti Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa-nya Baez,
Mengubur Peradaban-nya Fauzan, Pelarangan Buku di Indonesia-nya Jaringan Kerja
Budaya, Buku-Buku Pengubah Sejarah-nya Downs, dan Buku dalam Indonesia Baru-nya
Taryadi amat lezat untuk disantap J
Komentar
Posting Komentar