CATATAN SESI DISKUSI: CARA PENERBIT BERKELIT DI MASA SULIT!
Selamat sore,
Baru saja saya gabung live IG-nya mas Salman, CEO Bentang Pustaka. Sesi ini bagian dari
Festival Literasi Daring 2020 yang sejurus dengan acara Out of The Boox (tahun lalu sempat “mampir” ke Semarang; bersamaan
dengan hebohnya Patjar Merah). Ya, semuanya memang (mulai) serba daring. Sisi
untungnya? ada banyak sekali kelas virtual yang terhidang. Tinggal kitanya nih,
pilih menyantap atau melewatkan.
Tulisan ini untuk mengikat. Saya pelupa. Selain itu,
ada beberapa mahasiswa PNBI yang bergabung di IG ini untuk unjuk #bookarazzi
keren mereka. Sekalian saja untuk menambah hasil “pergelutan” tanya-jawab daring
yang sudah 4 minggu dijabani bersama, baik ketika masih berumah di WAG dan
setelah migrasi ke Elena. Aktivitas yang mulanya berasa beda, makin lama jadi
lumayan tertata, dan tetap butuh kuota :)
Mas Salman menyampaikan beberapa hal,
1.
Selama pandemi, penerbitan termasuk jenis usaha
yang tidak autoimun.
Artinya, kena imbas juga. Oleh karena itu,
perlu upaya membuat “kenormalan baru”, terkait cara mengurus naskah dan cara
menjual produk terbitan, misalnya. Seperti kebanyakan, cara kerja tatap layar
dipilih untuk menggantikan tatap muka. Walau terpisah, capaian sesuai deskripsi
kerja tetap jalan. Kapasitasnya tetap, mulai dari pertimbangan kelayakan,
proses penyuntingan, penyusunan pruf, hingga kurasi akhir.
2. “Jurus bertahan hidup” terus diupayakan
penerbit. Salah satunya dengan menemukan
medium terbaik untuk men-display
terbitan. Mengalihkan kanal penjualan ke tipe daring makin menjadi pilihan. Offline store macam TB Gramedia tetap
ada lah ya, tetapi jejaring gramediabooks juga tidak berdiam diri begitu saja
:)
Merambah aplikasi penjualan buku elektronik
(e-book), masuk ke sebagian besar
lokapasar (marketplace), memanfaatkan
seluruh akun media sosial merupakan bentuk eksplorasi yang sudah harus total
dilakukan.
3. Penerbit butuh sekali calon naskah yang
mengusung kebaruan. Apakah semua harus benar-benar sesuatu hal yang baru? tidak
juga. Banyak naskah yang ditawarkan dengan tema dan “aroma” yang sama. Namun,
beberapa diantaranya memiliki perspektif yang berbeda. Yaps, beda angle!
4. Dalam proses seleksi naskah, 5-10 halaman
pertama adalah halaman paling krusial. Walau bukan berarti tidak
mempertimbangkan halaman tengah dan akhir, penemuan perspektif baru yang
ditulis dengan artikulatif pada halaman awal akan menjadi poin lebih.
5. Naskah yang ditolak bukan berarti naskah yang
tidak bagus (hahaha, ini pernyataan yang lumayan membesarkan hati). Hmm… ini
pakai contoh kasus di Bentang saja lah ya, ada naskah yang setelah
dipertimbangkan dinyatakan ditolak, ketika sampai di penerbit lain ternyata best seller. Mau tahu judulnya? tidak
menyebutkan tadi, hahaha.
Contoh lain ialah seri Harry Potter.
Beberapa penerbit besar menolak karya fenomenal besutan J.K. Rowling ini,
sampai akhirnya naskah itu berjodoh dengan editor di Bloomsbury Publishing (ini
sebuah penerbitan indie, wah!).
Nah, sementara itu sih
yang ada dalam poin catatan tadi. Banyak kelas virtual lain: dari beberapa
direktorat di Depdikbud (salah satunya Kelas Bersama Kita), kelas-kelas selama
penyelenggaraan Out of The Boox,
kelas-kelas yang sedang dipersiapkan Patjar Merah-Virtual, kelas-kelas
edukasinya Kampus Cikal, online workshop
series-nya iTELL colaps w/ British Council besutan Mr. Gumawang Jati (ITB),
dsb. Oh ya, semuanya gratis! :)
Graha Sartika A/3
Komentar
Posting Komentar