DI MANA MAHASISWA BISA PUBLIKASI KARYA?
Sumber: IG BP2M UNNES |
“Adakah mahasiswa yang tidak menulis?”
sepertinya mustahil menjawab “ada”. Minimal, selama proses perkuliahan mereka
dipastikan menghasilkan sejumlah tulisan ilmiah. Bentuknya beragam, mulai dari
makalah, artikel, laporan riset mini, laporan praktikum, proposal, dsb. Betul,
bahwa ada yang disusun di bawah bimbingan dosen dan ada pula yang dieksekusi
secara mandiri. Artinya, kompetensi menulis mahasiswa pasti ada. Hanya saja, tingkatan
kompetensinya bisa jadi berbeda-beda.
Akan lain bila pertanyaan yang diajukan “Apakah
mahasiswa sudah memiliki karya?” Hmm… pernah dengan wajah berbinar seorang
mahasiswa di kelas saya menjawab, “Sudah dong, Bu, tiap hari saya nulis kok. Status
di Facebook dan caption di Instagram
(IG) merupakan portofolio karya saya!” Saya spontan bertepuk tangan mendengarnya.
Tentu saja, teman-temannya lebih memilih bereaksi menyoraki dan tertawa meledeki.
Ya, sebagian masih beranggapan bahwa “karya” hanya
merujuk pada tulisan nonilmiah dalam bentuk puisi, cerpen, novel, atau resensi,
misalnya. Bagaimana dengan kisah lahirnya novel dan rakitan skrip Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini
(NKCTHI)? Marchella FP mengawalinya dari coretan di IG. Contoh lainnya? Raditya
Dika mengawali jejak karier sebagai narablog (blogger). Ia memanfaatkan blogpost
pribadinya sebagai pijakan ke jenjang penulis kategori bestseller, komika, sutradara, pencetus konten (content creator) dan naravlog (vlogger) sekaligus.
Ada contoh lain (lagi) kah? seorang Zarry
Hendrik menangkap celah pangsa pasar bisnis penciptaan untaian kata-kata. Ia
cermat membaca peluang bahwa takarir (caption)
telah menjadi kebutuhan bagi individu maupun perusahaan, untuk penjenamaan
pribadi (personal branding) misalnya. Kerja kreatif lewat
tulisan yang ditekuninya membawa hasil yang baik. Kabarnya, kapitulis.id, biro
jasa perangkai kata-kata tempatnya bernaung kini telah beromset di atas
rata-rata.
Karya mestinya tidak semata diamati dari
bentuknya. Kedalaman pikir, rasa, dan tangkapan indra dalam mengolah ilmu dan
fenomena menjadi poin utama. Apalagi, bila penyusunan karya dibarengi niat
berbagi wawasan dan pengalaman. The best
people are those who can be useful for others. Tidak mudah memang, tetapi
bukan berarti tidak bisa. Biasanya, kuantitas karya akan berbanding lurus
dengan keterasahan dan kepekaan dalam berkarya.
Apakah prosesnya cukup sampai di sini? belum!
Publikasi akan merekatkan margin antara penulis dan pembaca. Ini penting agar
konten karya dan pesan yang ada di dalamnya bisa tersampaikan dengan paripurna.
Variasi medium publikasi tidak perlu dikhawatirkan lagi. Ranah digital kini
telah menyediakan begitu banyak pilihan publikasi dalam versi daring (online). Mulai dari fitur-fitur di
setiap akun media sosial hingga penyediaan platform-platform khusus menulis,
seperti wattpad, storial, atau kompasiana. Belum lagi, media massa daring yang
juga masih sangat terbuka. Jadi, sebenarnya tak cukup alasan lagi mengenai
kesulitan publikasi.
Agak berbeda bila yang akan dituju ialah
publikasi dalam versi cetak. Pun sama, ini memang sulit tetapi tetap bisa
diupayakan pula. Selain media massa cetak, penerbit (publisher) akan menjadi perantara antara penulis dan pembaca.
Begitu mendengar kata penerbit, sebagian mahasiswa saya merujuk kepada
penerbit-penerbit “arus utama” macam Kompas Gramedia, Mizan, Republika, Bentang
Pustaka, dsb. Tidak salah memang, tetapi biasanya yang terpikir kemudian
langsung mengarah pada sulitnya menembus penerbit-penerbit kelas atas tersebut.
Oleh karena itu, asupan mengenai berbagai jenis penerbitan menjadi perlu.
Setidaknya terdapat 4 (empat) jenis penerbit
yang saat ini dilakoni oleh teman-teman di bidang perbukuan, yaitu trade publisher, vanity publisher, university
publisher, dan selfpublisher. Keempatnya
memiliki acuan kerja yang agak berbeda. Trade
publisher paling mendekati pemahaman awam mengenai sebuah penerbitan.
Bahwa, draf naskah karya diserahkan oleh penulis kepada penerbit dengan tujuan
untuk dipertimbangkan kelayakan terbitnya. Bila dinyatakan layak, maka akan ada
proses tindak lanjut mulai dari kesepakatan teknis penerbitan (termasuk royalti)
hingga penyuntingan, percetakan, hingga promosi dan distribusi.
Apa yang membedakan dengan vanity publisher? pendanaan! Ya, vanity publisher mensyaratkan penulis membayar biaya produksi
penerbitan naskahnya. Biasanya dalam hitungan eksemplar. Cetak 100 eksemplar
maka biaya produksinya sekian juta, misalnya. Total bayar tersebut harus
disanggupi penulis terlebih dahulu. “Lho, penulis sudah menghasilkan karya kok
masih disuruh menanggung biaya produksi?” begitu biasanya pertanyaan yang
muncul. Vanity publisher memang
banyak dijadikan sasaran penulis yang publikasi karya untuk tujuan tertentu,
sebagai alat promosi diri misalnya. Contohnya, biografi calon legislatif, buku
profil perusahaan, dsb.
Bagaimana dengan university publisher? penerbit
ini berada di bawah naungan perguruan tinggi atau universitas yang dilekati. Di
UNNES misalnya, ada LPPM UNNES Press yang menjadi subkerja di bawah Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat. Biasanya, university publisher fokus pada buku-buku ajar di jenjang perguruan
tinggi. Karya-karya dosen banyak sekali yang diterbitkan melalui penerbit jenis
ini. Namun, university publisher
sudah bersifat terbuka sekarang. Artinya, tidak hanya buku-buku ajar karya
dosen saja yang digarap. Karya mahasiswa pun punya kans pula untuk dilirik dan
diterbitkan. Coba saja!
Dalam dunia perbukuan, selfpublisher disebut pula penerbit indie. Sesuai namanya, penerbit
ini bersifat independen. Penulis dapat secara merdeka memperlakukan naskah yang
dipunyainya. Artinya, tanpa proses kerja penerbitan pada umumnya dan pendanaan
ditanggung total oleh penulisnya. Bila dirasa perlu, penulis bisa menggunakan
jasa editor freelance untuk memoles atau
memberi masukan atas konten karya. Penulis bebas pula menentukan jumlah
eksemplar terbit dengan bantuan percetakan mandiri. Bagaimana peredarannya?
sama! Promosi dan distribusi dilakukan secara mandiri oleh penulisnya pula. Karya
terbitan selfpublisher tetap bisa mendapatkan
ISBN (International Standar Book Number)
dengan melakukan pengajuan melalui Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI.
Nah, begitu banyak pilihan bukan? saatnya fokus
berkarya, menentukan medium publikasi, dan terus menginspirasi.
*pernah dipublikasikan di linikampus.com, 17 Mei 2020
http://linikampus.com/2020/05/17/di-mana-mahasiswa-bisa-publikasi-karya/
Komentar
Posting Komentar