LEARN MANNERS BEFORE LEARNING KNOWLEDGE
Setuju sekaleee dengan ungkapan itu. Seolah
menegaskan ungkapan (lainnya) “baik untuk menjadi orang penting, namun lebih
penting menjadi orang baik”. Sebenarnya, keduanya punya standard masing-masing,
butuh efforts yang lebih, ada yang
harus dikorbankan, dan merupakan pilihan. Kita bahas bentar yuks!
Pertama, standard yang dimaksudkan ialah sudut
pandang (jadi inget istilah point of view
yang selalu didengungkan Prof. Herman J. Waluyo sewaktu kuliah duluuu, hiehie).
Sudut pandang itu penilaian merdeka dari tiap kita. Sudut pandang seseorang
memaknai ‘orang penting’ dan ‘orang baik’ tentu sangat berbeda-beda. Sama
halnya orang punya standard masing-masing untuk menyatakan hakikat:
kebahagiaan, kesuksesan, kesederhanaan, dtt (dan teman-temannya, wkwk). So, ada
baiknya tidak pakai standard orang lain. Konstruk standard pribadi, kemudian
taat dan patuhi!
Kedua, upaya untuk jadi orang penting (duh, ini
perkiraan w/ logika lho ya, ga bisa share pengalaman karena belum pernah
jadi orang penting, haha) itu bisa dilakukan dengan berbagai cara. Baik dan
buruk. Sebelum lebih jauh, perlu saya jelaskan bahwa asumsi ‘orang penting’
bagi saya ialah orang yang punya kuasa dalam konteks apapun itu. Menurut saya,
cara baik dilakukan dengan “memantaskan diri” untuk mendapat amanah itu alias
pakai “jalur depan”. Tentu saja include
kemauan dan kesiapan. Adapun cara buruk, misal “menjilat” (ihh kayak gukguk,
weks!), memprovokasi, caper dan “teman seperjuangannya” yaitu carmuk (hahaha…
tipe ini nggak bersyukur banget ya, lha wong ngerewat muka 1 aja kadang
muncul jerawat kok masih saja usaha cari muka, weks!). Intinya jangan cuma
karena nekat dan ‘dekat’. Ada baiknya karena kompetensi pun telah teruji.
Ketiga, jelas ada yang harus dikorbankan. Salah
satunya adalah korban perasaan, haha. Cara baik pun yang buruk akan mengundang
reaksi. Wujudnya beragam. Sekadar komentar? Lah, itupun ada yang komentar sopan
penuh pujian atau komentar nyinyir berbau anyir. Asal bisa ‘menelan’ dengan
baik, menyikapi dengan bijak, dan lapang hati bila ada yang kurang berkenan di
hati, no problem!
Keempat, setiap pilihan punya resiko. Hanya
saja, yang terbijak ialah memilih yang resikonya paling kecil atau yang
sekiranya mampu ditanggung ybs. Hati sering butuh kepastian dalam waktu yang
relatif cepat. Yen wani ojo njejirihi,
yen jirih ojo nganti kewanen!
Oleh karenanya, sekeren apapun profesi
seseorang, setinggi apapun puncak karier seseorang, sekaya apapun kehidupan
seseorang, dtt (hehe) betapa manners
akan pegang poin penuh! Memaknai tata krama ini bukan masalah nunduk-nunduk
pada atasan, ngomong sopan dengan salam buatan, atau ngikik pelan karena takut
dikira berangasan. No, lebih dari
itu. Lebih dalam hati. Manners-nya
lebih pada legawa menerima kritikan,
sopan dalam memberikan tanggapan, menyampaikan kritikan, mengevaluasi keadaan,
paham dan SADAR akan posisi – tahu sedang dalam posisi berhak dilayani atau
sedang dalam posisi melayani, berbesar hati memberi dan menerima maaf, diam
bila berbicara itu tak guna apalagi berpotensi ‘kemana-mana’, dtt. Ini sikap
yang gampang sih, namun bukan gampangan. Seriously!
Dari situ, baru sadar mengapa character education begitu dikedepankan
kini. Seolah nunjuk seseorang sambil dicecar pertanyaan: “mana karakter elu?”.
Kalau jawabannya: “ini lho gue pinter!”, “heih, gue guru besar mamennnn!”, “gue
yang nulis buku ini itu lho!”, “gue yang njabat di sono noh!”. Haishhhh, itu
bukan karakter melainkan prestasi/pencapaian. Karakter terhadap hal itu? Bisa
berupa menghargai prestasi diri dan orang lain, jujur atas proses pencapaian
itu, bertanggung jawab atas amanah yang diberikan, dtt. So, mengiringi
penguasaan pengetahuan dengan penguasaan tata krama? Ahh… betapa indahnya.
GS A/3 – 02.39 WIB
*(terus) belajar ‘lapang’!
Komentar
Posting Komentar