Selasa, 24 September 2019

KELAS KAMI DI KEDAI KOPI! (1)

Kedai Kopi Kang Putu 



"Di awal pertemuan ini, saya mengingatkan sampeyan semua, bahwa tidak ada guru dan murid di "kelas" ini. Kita saling belajar, berbagi pengalaman, berdiskusi, dan (sangat boleh) mengkritisi", begitu ucap Gunawan Susanto, yang akrab kami sapa Kang Putu.



Ya, mulai Senin minggu lalu. Saya bersama bro Widodo (sejawat dosen di BSJ Unnes), bro Fahmi (mapres bin debater dari FE), bro Muvti (teman guru dari Demak), mb Renyta (teman guru dari Mranggen), dan mb Mugi (eks TKW Hongkong) dipertemukan di kedai kopi sederhana milik Kang Putu, yang lokasinya "mblusuk" sekali, hehe.

Kami diperkenankan 'ngangsu kawruh' lewat Kelas Menulis periode kesekian yang dibuka beliau untuk 6 orang saja. Tanpa bayar. Namun, kami dituntut konsisten hadir, bertanggung jawab atas pilihan mendaftar, dan membawa produk tulisan mulai pertemuan ketiga. Artinya, ada yang (sedang) menantang produktivitas menulis kami!
Apa bisa? "alah bisa karena biasa", beliau meyakinkan. Kalau soal "mampu" nulis, mestinya iya, kami mampu. Namun, kalau soal apakah "mau" nulis, nah... sepertinya entah berapa alasan yang akan (coba) kami hadirkan untuk menutupi kemalasan atau ketidakkonsistenan kami untuk berlatih menulis.

Dalam pertemuan pertama, kami berdiskusi seru "mengapa kami perlu menulis?" dan "ditujukan untuk siapa tulisan kami?". Jawaban kami beragam, disertai bumbu pengalaman menulis masing-masing.

Sampai pada diskusi mengenai konten tulisan, Kang Putu mengatakan "Dalam menulis, kita tidak perlu sok tahu. Tulis saja apa yang sampeyan tahu. Jujur saja lah -no gimmick! Dan, menurut saya yang paling penting, sampeyan sendiri juga harus paham apa yang ditulis."

Kelas ini makin hidup ketika di sela-sela diskusi kami, Kang Putu berkenan turut berbagi pengalaman-pengalaman beliau mengenai penulisan dalam pola kerja jurnalistik. Sebagai redaktur sastra di Suara Merdeka, beliau punya banyak stok cerita atau "kasus-kasus" penulisan yang layak diambil pelajaran. Pun, ada banyak ulasan mengenai esensi karya-karya yang sudah beliau baca.

Praktis, tidak ada teori menulis yang kami bahas secara khusus di "kelas" ini. Kalaulah muncul, teori-teori itu melesap dalam diskusi kami. Toh, teori yang kadang dibangun sendiri oleh penulis, justru memunculkan ketakutan dan kemudian menjadi hambatan. Merdeka saja lah!

Dalam pertemuan kedua, Senin lalu, topik diskusi kami mengenai "cara mengolah ide dengan bahasa yang tidak klise". Sulit? Iya sih, hehe. Dalam diskusi, saya mengaku sering comot kata dari sana-sini, hahaha. Parah!

Kang Putu menyibak 2 klasifikasi, yaitu Konvensi dan Inovasi. Konvensi menjurus tunduk pada kaidah. Adapun inovasi bersifat manasuka. Berarti bebas dong? Iya, bebas tetapi harus presisi! Dalam kerja jurnalistik, bahasa yang tidak presisi akan menyembunyikan informasi. Bila terjadi, maka fakta bisa tidak sepenuhnya "diudari", ada yang tersembunyi. Inovasi dalam berbahasa (sebenarnya) membidik autentisitas penulisnya. Ia perlu menggali, eksplorasi, mematangkan lewat tempaan tulisannya.

Bahasan diskusi kami berikutnya mengenai segmentasi pembaca. Apa yang bisa kami lakukan? Kenali dan amati! Sebagai penulis, kita perlu mengenali "medan". Ini bukan soal kuantitas, berapa puluh, ratus, atau ribu pembaca, melainkan agar kita tidak menulis "di ruang kosong". Apalagi, kalau ada misi -kebermanfaatan- yang kita harapkan dari tulisan kita.

Namun sejauh ini, pada level kami ber-enam, bisa menulis lancar dan perlahan mampu menghilangkan pretensi yang menghambat saja -hmmm... sudah alhamdulillah sekali.

*Sekilas review materi diskusi kami. Mungkin ada manfaatnya, tapi sebenarnya modus saya untuk memanipulasi ingatan saya yang pendek dengan menuliskannya di sini sebagai pengingat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KULIAH PAKAR ADOBSI