KELAS KAMI DI KEDAI KOPI! (1)
Kedai Kopi Kang Putu |
"Di awal
pertemuan ini, saya mengingatkan sampeyan semua, bahwa tidak ada guru dan murid
di "kelas" ini. Kita saling belajar, berbagi pengalaman, berdiskusi,
dan (sangat boleh) mengkritisi", begitu ucap Gunawan Susanto, yang akrab
kami sapa Kang Putu.
Ya, mulai
Senin minggu lalu. Saya bersama bro Widodo (sejawat dosen di BSJ Unnes), bro
Fahmi (mapres bin debater dari FE), bro Muvti (teman guru dari Demak), mb
Renyta (teman guru dari Mranggen), dan mb Mugi (eks TKW Hongkong) dipertemukan
di kedai kopi sederhana milik Kang Putu, yang lokasinya "mblusuk"
sekali, hehe.
Kami
diperkenankan 'ngangsu kawruh' lewat Kelas Menulis periode kesekian yang dibuka
beliau untuk 6 orang saja. Tanpa bayar. Namun, kami dituntut konsisten hadir,
bertanggung jawab atas pilihan mendaftar, dan membawa produk tulisan mulai
pertemuan ketiga. Artinya, ada yang (sedang) menantang produktivitas menulis
kami!
Apa bisa?
"alah bisa karena biasa", beliau meyakinkan. Kalau soal
"mampu" nulis, mestinya iya, kami mampu. Namun, kalau soal apakah
"mau" nulis, nah... sepertinya entah berapa alasan yang akan (coba)
kami hadirkan untuk menutupi kemalasan atau ketidakkonsistenan kami untuk
berlatih menulis.
Dalam
pertemuan pertama, kami berdiskusi seru "mengapa kami perlu menulis?"
dan "ditujukan untuk siapa tulisan kami?". Jawaban kami beragam,
disertai bumbu pengalaman menulis masing-masing.
Sampai pada
diskusi mengenai konten tulisan, Kang Putu mengatakan "Dalam menulis, kita
tidak perlu sok tahu. Tulis saja apa yang sampeyan tahu. Jujur saja lah -no
gimmick! Dan, menurut saya yang paling penting, sampeyan sendiri juga harus
paham apa yang ditulis."
Kelas ini
makin hidup ketika di sela-sela diskusi kami, Kang Putu berkenan turut berbagi
pengalaman-pengalaman beliau mengenai penulisan dalam pola kerja jurnalistik.
Sebagai redaktur sastra di Suara Merdeka, beliau punya banyak stok cerita atau
"kasus-kasus" penulisan yang layak diambil pelajaran. Pun, ada banyak
ulasan mengenai esensi karya-karya yang sudah beliau baca.
Praktis, tidak
ada teori menulis yang kami bahas secara khusus di "kelas" ini.
Kalaulah muncul, teori-teori itu melesap dalam diskusi kami. Toh, teori yang
kadang dibangun sendiri oleh penulis, justru memunculkan ketakutan dan kemudian
menjadi hambatan. Merdeka saja lah!
Dalam
pertemuan kedua, Senin lalu, topik diskusi kami mengenai "cara mengolah
ide dengan bahasa yang tidak klise". Sulit? Iya sih, hehe. Dalam
diskusi, saya mengaku sering comot kata dari sana-sini, hahaha. Parah!
Kang Putu
menyibak 2 klasifikasi, yaitu Konvensi dan Inovasi. Konvensi menjurus tunduk
pada kaidah. Adapun inovasi bersifat manasuka. Berarti bebas dong? Iya, bebas
tetapi harus presisi! Dalam kerja jurnalistik, bahasa yang tidak presisi
akan menyembunyikan informasi. Bila terjadi, maka fakta bisa tidak sepenuhnya
"diudari", ada yang tersembunyi. Inovasi dalam berbahasa (sebenarnya)
membidik autentisitas penulisnya. Ia perlu menggali, eksplorasi, mematangkan
lewat tempaan tulisannya.
Bahasan
diskusi kami berikutnya mengenai segmentasi pembaca. Apa yang bisa kami
lakukan? Kenali dan amati! Sebagai penulis, kita perlu mengenali
"medan". Ini bukan soal kuantitas, berapa puluh, ratus, atau ribu
pembaca, melainkan agar kita tidak menulis "di ruang kosong".
Apalagi, kalau ada misi -kebermanfaatan- yang kita harapkan dari tulisan kita.
Namun sejauh
ini, pada level kami ber-enam, bisa menulis
lancar dan perlahan mampu menghilangkan pretensi yang menghambat saja -hmmm...
sudah alhamdulillah sekali.
*Sekilas
review materi diskusi kami. Mungkin ada manfaatnya, tapi sebenarnya modus saya
untuk memanipulasi ingatan saya yang pendek dengan menuliskannya di sini
sebagai pengingat.
Komentar
Posting Komentar