THE PROFESSORS: HIKAYAT BEGAWAN DARI KAMPUS SEKARAN (BAGIAN 1)
Kali ini, saya tak hendak membuat book-review secara lengkap. Toh, buku yang memotret 55 guru besar UNNES ini sudah launching sejak 2013 silam. Niat "melanjutkan baca" muncul akhir minggu lalu. Rencana sempat urung karena lupa baca sampai halaman berapa. Sudah lah, saya mulai lagi saja dari halaman belakang :)
Petualangan baca (Part 1) ini baru menyisir liku kisah 13 profesor: Prof Sukes, Prof Wi, Prof Wasino, Prof Warsono, Prof Wahyu, Prof Marhaeni, Prof Tri Joko, Prof Totok, Prof Tjetjep, Prof Tandiyo, Prof Suwaji, Prof Yahmo, Prof Supriadi, dan Prof Partono.
Dari 13 kisah, saya ngakak sepanjang baca kisah Prof Tri Joko (FIP) :), narasinya membuat saya membayangkan betapa "kemampleng"-nya beliau ketika muda. Penggambaran sosok yang punya sifat sosial tinggi tetapi "kemakine ra umum", membuat saya gemes mes! Kata beliau "Saya ini profesor, masak disuruh ngurusi kuitansi-" hahaha. Saya paham, Prof! :)
Kisah Prof Tjetjep (FBS) adalah salah satu favorit saya :). Saya bisa merasakan, betapa integritas keilmuan beliau amat terjaga. Tidak berhenti belajar, dengan pengembangan diri yang menawan. Kata beliau "Jangan pernah sekali-kali memalsukan data penelitian. Siapapun atau apapun nantinya kamu, kejujuran adalah hal yang utama. Jangan pernah "mengumpulkan" hasil penelitian palsu. Manusia hidup yang dilihat adalah integritasnya. Duh, Prof. Makjleb! :)
Membaca Prof Tandiyo (FIK) secara pribadi adalah menyelami ketangguhan mental perempuan. Tantangan dimaknainya sebagai kepercayaan. Saya hanyut dan sesekali tersenyum kecut mendapati kisah awal karier dan studi pascasarjana beliau.
Pengalaman head to head dengan dosen di kelas doktoral, kalau buat saya yaaa jelas bikin gentar :). Mendapati tantangan deadline dari dosbing hingga dicurigai akan membuat jasa pengetikan saking ngebutnya ngetik manual adalah epik cerita terpingkal-pingkal :). Pun dengan kisah khayalan punya uang sejuta untuk biaya tanding softball dengan membeli SDSB di Johar, hahaha. Prof, serius ini, beli lotre gitu? :)
Acungan jempol layak diberikan ketika beliau memutuskan tidak memperpanjang lisensi menjadi juri senam dengan alasan memberi kesempatan kepada juniornya. Terlihat biasa saja, tetapi dalam maknanya. Berbesar hati bukan sifat yang bisa dimiliki hanya dalam laku semalam.
Hmmm... saya jadi menimang-nimang, beberapa orang kadang terbelenggu dalam kubangan persaingan (kurang sehat) antarteman. Bukankah persaingan dengan ego diri justru lebih menantang?
To be continue (Part 2) - entah kapan
Komentar
Posting Komentar