RUMAH KERTAS
Dok. Pribadi - Kampus Undip |
Bacaan diantara koreksian. Yeay… selesai. Tahun
lalu lihat novel ini di toko buku online JBS Jogja. Seperti biasa, cermati
judulnya, mengintepretasikan isinya, berniat beli, dan baru berjodoh akhir
tahun ini.
Ilustrasi “Le Libraire” karya Andre Martins de
Barros menjadikan sampul novel ini apik dan eksotik! Secara fisik, novel
terjemahan ini amat tipis untuk ukuran pembaca novel di Indonesia. Namun, kisah
yang disampaikan tidak sedangkal yang ku kira. Novel berjudul asli La Casa de
Papel ini kali pertama diterbitkan di Montevideo, Uruguay (2002).
Carlos Brauer adalah seorang bibliofil sejati
(super parah –kalau menurut saya!). Baginya buku bukan sekadar alat belajar,
yang layak untuk didiskusikan, atau sekadar dicokok untuk menambah wawasan. Di
matanya, buku adalah benda diam yang menantang. Setiap lembarnya seolah
menyeru-menyeru minta perhatian. Di tangannya, takdir buku seolah berubah
menjadi peragaan indah sampul dan jilidan.
Dalam kegilaan terhadap buku, ia terus memburu
dan menambah koleksi. Berapa pun uang yang ia punya, dialokasikan untuk belanja
buku. Benar saja, koloni raksasa serupa perpustakaan pribadi telah mengambil
alih lorong-lorong rumahnya dan menguasai setiap jengkal dinding tuanya.
Fumigasi setiap enam bulan dilakukan sebagai wujud “pengasuhan”.
Ia bisa menghabiskan waktu sepanjang siang malam
dengan buku. Baginya, pembaca buku adalah pengelana dalam lanskap buatan
penyusunnya. Coretan berisi komentar dan catatan yang tak begitu rapi selalu
memenuhi marjin-marjin buku yang dibacanya. Sepertinya, Ia tipe pembaca gaya
lama! *eh, aku juga, hahaha.
Suatu pagi, ia mendapati asap dari lantai dasar
rumahnya. Api telah menelan habis indeks buku yang ia susun mati-matian
beberapa tahun ini. Semua ilusi untuk menata kembali perpustakaannya pupus dalam
sehari. Ia merasa lenyaplah sudah sejarah diri pribadi.
Dalam brutalisme diri yang belum terkendali, ia
memilih pergi. Pesisir Rocha yang sepi mungkin bisa memberi ketenangan
tersendiri. Beberapa truk kontainer membawa serta koleksi-koleksi bukunya.
Dalam proses pembangunan “rumah” baru di pinggir teluk itu, ia menyuruh
kuli/tukang menjadikan buku-bukunya menjadi bata. Iya, bahan baku dinding
penyangga!
Brauer ingin buku-buku itu terus menemani,
melindungi, meneduhi, dan membentengi. Ia mengantarkan koleksi-koleksinya
menemui takdir sepi, yang tak seorang pun akan membukanya lagi. Halaman demi
halaman, jilid demi jilid, edisi demi edisi lebur bersama pasir dan kemudian
diringkus dengan semen.
Brauer bilang “buku-buku adalah rumahku!”
Komentar
Posting Komentar