Rabu, 18 Maret 2020

BUKU YANG DIPENJARAKAN

Sumber Foto: Dok. Pribadi

Membaca memoar adalah membaca kisah lama yang dikabarkan. Buku ini kutemukan diantara tumpukan datar nan beragam, saat momen -Ketemu Buku Semarang- tahun lalu. Judul yang terkait dengan ‘dunia buku’, membuatku berbinar setelah hampir 90-menitan ‘nguplek-nguplek’ ratusan buku di dalam Gedung Wanita -Sriwijaya. Selesai baca narasi di bagian kover belakang, kupastikan buku masuk keranjang belanjaan.

Rasanya tak asing dengan nama penulisnya. Nama belakangnya membuatku mengingat pelajaran sejarah (baca: IPS) sejak sekolah dasar silam. Iya, DN Aidit adalah “nama beken” yang masuk salah satu hafalan. Dulu orang menyematkan kata “gembong partai komunis” bila ditanya ia siapa.  Yang baru kemudian kutahu DN adalah kependekan dari Dipa Nusantara J. Penggantian nama yang tetap tidak meninggalkan nama keluarga: Aidit! Hmm… Sobron, penulis buku ini, adalah adiknya.

Memoar terbitan Best Publisher ini mengantarkanku pada pengembaraan panjang Sobron Aidit. Bisa ditebak, presentase kisah pilu lebih mendominasi. Kisah tentang keluarga, karya, gempuran sweeping, dan hukuman tanpa delik aduan bagi siapapun yang terkait dengan partai komunis saat era Orba diceritakannya dengan cukup lugas. Pun, ada nada pembelaan di setiap kisah yang dituliskan. Bahwa ada pemutarbalikan fakta, ada sanksi moral yang luar biasa sepanjang hidupnya, dan ketidakberdayaan menjelaskan bahwa 2nd name-nya adalah nama keluarga yang tak ingin Ia lepas begitu saja.

Dari keseluruhan isi, buatku bagian kisah tentang nasib buku-buku “kiri” yang menjadi koleksi teramat menarik untuk dikaji. Bila kondisi memungkinkan, aku berniat menghubungi Perpusnas untuk menanyakan apakah aturan mengakses buku-buku “terlarang” masih berlaku hingga kini? J

Kisah tersebut dituliskan Sobron di bagian awal. Pengkotakan buku yang bebas diakses (pinjam atau baca ditempat) dan yang tidak boleh tak dijelaskan secara detail. Namun, kisah tentang buku-buku yang ditempatkan di satu ruang khusus, bahkan berjeruji besi, mengantarkan pada bayangan buku-buku “tak normal” yang perlu diisolasi. Akses baca amat terbatas. Bahkan, begitu calon peminjam masuk maka ruangan akan dikunci dari luar, ada lubang pengintai dan diawasi petugas secara kontinu saat mengakses bacaan. Ada tanggapan? J

Persetujuan untuk masuk “ruang khusus” itu pun amat panjang, tahapan izin mulai dari Kaperpusnas, Mendikbud, Kejagung, BIN, dan BAKIN mesti dilalui terlebih dahulu. Hmmm… begitu selesai membaca bagian ini, aku teringat beberapa buku yang bisa menjadi referensi terkait. Buku-buku seperti Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa-nya Baez, Mengubur Peradaban-nya Fauzan, Pelarangan Buku di Indonesia-nya Jaringan Kerja Budaya, Buku-Buku Pengubah Sejarah-nya Downs, dan Buku dalam Indonesia Baru-nya Taryadi amat lezat untuk disantap J

Rabu, 11 Maret 2020

PENDIDIKAN LITERASI

Dok: Sumber Pribadi


Pagi hari dan literasi. Agaknya, literasi masih terus menjadi bahasan empuk hingga kini. Ia masih terus dikaji dari berbagai perspektif, termasuk dalam esensi buku ini. 
Prof. Sarwiji enggan mempersepsi literasi hanya sekadar tipis di area permukaan, yaitu seputar aktivitas membaca dan menulis saja. Beliau membawa perspektif literasi hingga ranah bermasyarakat dan berbangsa. Sudut pandang kajian tak pula melulu dijejali dengan pengertian yang deskripsional. Ada upaya pembangunan generasi literat yang disampaikan. Berharap para pemangku kepentingan (stakeholder) turut bahu membahu mengimplementasikan.

Dalam konteks pendidikan, pembelajaran bahasa Indonesia (pun guru bahasa Indonesia) tidak terlepas dari aktivitas berliterasi di sekolah. Cukup rasional, karena anggapan awal bahwa literasi pasti berhubungan dengan membaca dan menulis. Dalam lingkup sekolah kemudian diejawantahkan dalam bentuk Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Namun, bila menelisik konsep literasi lebih dalam, amatlah dangkal bila literasi sekadar “ditasbihkan” dalam program membaca buku nonteks pelajaran selama 15 menit pada awal pembelajaran. Fixed, telah terjadi miskonsepsi literasi!

Miskonsepsi tersebut pula lah yang menarik saya untuk menjadikannya sebagai topik riset tahun ini. Pun, adanya Diskusi kecil dengan Rizqy Rahmat Hani, alumnus kerens yang sedang gencar menyalakan api literasi bagi negeri lewat Kampus Cikal. Tidak berharap muluk dari hasil riset nanti. Namun, semoga (minimal) bisa memberi sedikit ide untuk mereduksi miskonsepsi dan kemudian me-redesain program atau aktivitas terkait literasi. Peduli amat akhirnya dari mana sumber pendanaan risetnya nanti. Bukankah berada pada level merasa nyaman dengan apapun topik riset yang sedang digeluti mesti dimulai dari diri?

Terakhir, bahasan pada BAB IV buku ini cukup menarik dengan dimunculkannya tantangan untuk mencetak peluang berwirausaha di bidang literasi. Potensi yang besar di bidang teknologi informasi melalui literasi digital/literasi teknologi/literasi media, misalnya, perlu digarap dengan optimal. Penyiapan kebijakan, regulasi, dan panduan rancangan serta implementasi program pengembangan wirausaha literasi perlu segera diagendakan.

Rabu, 12 Februari 2020

PENDEKAR BAHASA

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Awal minggu, menuntaskan satu buku. Kumpulan esai karya Holy Adib ini memberi narasi panjang tentang keasyikan, sekaligus kepelikan dunia kebahasaan. Yaaa... miriplah dengan dunia persilatan :) Oleh karena itu, bahasa Indonesia butuh 'pendekar-pendekar' yang turut serta bersiaga.

Pendekar bahasa adalah mereka-mereka yang tidak berbasis ilmu bahasa, tetapi menyumbangkan pemikirannya bagi kemajuan bahasa Indonesia (Hal. 19). Siapa sajakah mereka? Cukup banyak 'para pendekar' yang disebutkan. Buat saya, ada 4 yang cukup familier.

Pertama, Prof. Liek Wilardjo, fisikawan dari UKSW Salatiga. Berselancarlah di mesin pencari sebentar dan Anda akan mendapati Kamus Fisika dan Kamus Umum Istilah Ilmu Dasar berada diantara deretan karya beliau, yang sebagian besar dalam bidang sains tentunya.

Kedua, Prof. Mien A. Rifai, peneliti utama LIPI di bidang Botani. Deretan sumbangsih beliau: a. Kamus Mikrobiologi, b. Kamus Istilah Biologi, c. Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah, dan masih banyak lagi. Karya-karya yang bermodal kepedulian penuh terhadap bahasa Indonesia.

Ketiga, Ivan Lanin, sarjana Teknik Kimia dan magister Teknologi Informasi. Padanan-padanan kata di bidang Teknologi Informasi coba dikuliknya. Imbauan penggunaan bahasa Indonesia via akun twitter-nya cukup kontinu. Karya Uda Ivan berjudul Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? juga turut memberi penguatan.

Keempat, Gustaf Kusno, dokter gigi militer berpangkat kolonel. Ulasan-ulasan kebahasaannya diterbitkan dalam bunga rampai berjudul Gara-Gara Alat Vital dan Kancing Gigi. Tulisan ringan yang mencerahkan.

Jurus-jurus maut para pendekar tersebut turut membawa angin segar di tengah tantangan era plus sikap negatif penutur asli bahasa Indonesia. Ulah "hipnotis" oleh beberapa pihak bahwa menggunakan bahasa Indonesia bukan sesuatu yang penting harus diakui berhasil membawa masyarakat pengguna bahasa Indonesia serempak mengidap penyakit Xenomania bahasa.

Apakah Xenomania bahasa itu? Hmm... tunggu tulisan saya berikutnya ya :)

Sabtu, 01 Februari 2020

MOJOK: Tentang Bagaimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, dan Mencoba Bertahan

Sumber: Dok Pribadi


Sudah pernah akses mojok.co kan ya?

Nah, buku ini menceritakan dapur redaksinya. Iya, mungkin maunya mbuat ala-ala The Toyota Way gitu kali, hahaha. Buat saya, Mojok adalah Iqbal (Aji Daryono) dan Iqbal adalah Mojok, hahaha. Pertama kenal mojok karena tulisan-tulisannya mas Iqbal. Walau bukan awak redaksi, dia adalah kontributor kerens. Kalau di ranah akademik, tulisan mas Iqbal (khususnya selama ontrang-ontrang pilpres kemarin) bisa masuk kategori terindeks Scopus – Q1. Setelahnya, saya baru familiar dengan nama kepala sukunya, mas Puthut EA, lewat cerpen-cerpen kerennya. Diikuti, jadi follower-nya Gus Mul, si Pemred, yang selera humornya ngedhap-ngedhapi bin nggegirisi.

Dua belas awak mojok menyumbangkan tulisan pengalaman selama turut membesarkan mojok. Peran mereka berbeda-beda: awak redaksi, ilustrator, medsos content planner, webmaster, hingga kurator. Karena perbedaan itulah, pola tulisan dalam buku ini juga beda-beda (baca: njomplang). Kalau diibaratkan sebuah grafik, terus terjadi penurunan dari bagian I hingga bagian V. Drastis.

Saat mendapati tulisan mas Puthut, Bana, Gus Mul di bagian-bagian awal langsung muncul simpulan “seru nih buku!”. Namun, begitu masuk bagian II, mulai garing euy :). Eh, tapi saya maklum, buktinya tetap saya baca sampai akhir.

***

Mojok adalah media ‘kecil’ berawak 15 orang. Lahir saat perubahan-perubahan begitu cepat dan menjadi sebuah tuntutan. Skema media digital mengharuskan seluruh komponen di dalamnya pandai membaca zaman. Strategi konten, kekhasan, platform, inovasi, dan terobosan terus didiskusikan dalam internal. Apa pasal? yaaa… spesies bernama netizen maunya dimanjakan dengan tampilan berkesan.

Mojok, ternyata bukan media yang kokoh berdiri dengan trengginas. Ia pernah ambruk, tutup, menyusul banyak media-media lain yang telah berstatus “almarhum” sebelumnya. Namun, ternyata Mojok hanya mati suri. Ia hidup kembali berkat bantuan pernapasan dari Tirto.id. Kini Mojok reborn makin banyak akal dan tetap sedikit nakal. 

Sukses ya, Jok. Jangan bikin kami makin terpojok!

Rabu, 15 Januari 2020

MENJAGA EKOSISTEM PERBUKUAN

Tribun Jateng 150120 - Doc. Pribadi

Literasi dan buku ibarat sepasang kaki yang mesti sejalan. Benar, bahwa agenda literasi tak sekadar kegiatan membaca (dan menulis). Namun, kecakapan berbagai jenis literasi umumnya diawali dari asupan bacaan yang bergizi. Bacaan bermutu dilahirkan melalui proses panjang dan melibatkan para pelaku perbukuan. UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan menyebut pemangku kepentingan (stake holder) perbukuan meliputi penulis, editor, penerjemah, penyadur, desainer, ilustrator, pencetak, pengembang buku elektronik, penerbit, dan toko buku.

Hadirnya UU Sistem Perbukuan meneguhkan peran pemerintah dalam mengupayakan tata kelola perbukuan nasional. Salah satu tujuan yang diharapkan maksimal ialah peningkatan peran pemangku kepentingan tersebut, dalam kerja budaya melalui buku. Sayangnya, akhir-akhir ini peran tersebut makin terusik dengan banyaknya praktik pembajakan buku. Kalau akan dikisahkan, kasus pembajakan buku di Indonesia ibarat rangkaian drama dalam ratusan babak. Telah berjalan begitu lama dan sekadar menjadi tontonan, tanpa penindakan. Selain sudah sangat terang-terangan, pembajakan buku juga telah menjelma menjadi sebuah industri dalam skala besar.

Dalam beberapa kesempatan, berbagai dalih diajukan oleh pembajak buku untuk memperoleh pembenaran. Contohnya, penerbitan tanpa mengindahkan hak cipta dan hak kekayaan intelektual (author rights) itu dilakukan demi turut menyebarkan ilmu pengetahuan. Alasan apologetis yang penuh kelicikan dan mencolok moral. Beberapa diantaranya malah mengatasnamakan penulis, dengan asumsi bahwa penulis pasti senang bila bukunya makin banyak dibaca. Begitu meremehkan waktu, pikiran, dan imajinasi penulis dalam menghasilkan karya.

Pembajakan Kian Marak
Mengapa praktik pembajakan buku tak kunjung redup? karena permintaan pasar pun tak pernah surut. Artinya, konsumen buku bajakan masih menganggap hal tersebut sesuatu yang lumrah dan baik-baik saja. Campur tangan pasar dengan konsumen yang belum teredukasi ini akan makin menambah tebal modal pembajak. Mereka akan makin leluasa dan masif memproduksi buku-buku yang dilabeli buku KW, buku nonorisinal, atau buku repro itu.

Dua poin yang dikeluhkan konsumen buku bajakan terhadap penjualan buku orisinal adalah harga dan isi. Terkait harga, buku orisinal dirasa amat mahal dan memberatkan. Wajar, mengingat sebaran persentase dari biaya produksi hingga biaya distribusi yang tak murah juga. Kurniawan (2019) memerinci persentase biaya yang mesti dibagi mulai dari praproduksi, pajak,  royalti penulis, biaya cetak, marketing dan toko buku. Maka, sangat wajar bila harga buku bajakan jauh lebih murah. Pembajak hanya perlu “merampok” isinya, cetak, dan jual semaunya. Sangat tercela!

Terkait isi, konsumen buku bajakan umumnya berseloroh “toh isinya sama dengan aslinya”. Beberapa diantaranya berpikir “yang penting punya buku dan dapat dibaca”. Betapa egoisnya! Pernyataan tersebut juga menandakan bagaimana cara pandang mereka terhadap buku. Hakikatnya buku bukan sekadar benda atau objek, melainkan juga “juru bicara” penulis. Bila ditarik ke belakang, banyak penulis menjadikan aktivitas menulisnya sebagai sebuah profesi. Lewat royalti 10-20% dari harga buku yang terjual lah, kerja intelektual itu dibayar. Dan, perolehan royalti itu berasa mimpi bila karya mereka terus “dicuri”. Ayolah, masih tegakah?

Edukasi Konsumen Buku
Konsumen buku memang pribadi merdeka dalam menentukan pilihan. Namun, melihat gelagat sekarang, rasanya gerakan moral peduli ekosistem perbukuan yang sehat perlu konsisten dikampanyekan. Edukasi dari berbagai pemangku kepentingan juga tak kurang-kurang. Lewat berbagai jalur, khususnya media sosial, telah banyak imbauan dengan harapan kuantitas penjualan buku bajakan bisa ditekan.

Esensi edukasi harus lebih luas lagi. Selama ini, materi edukasi terhenti pada cara mengenali ciri fisik buku bajakan, ketidakwajaran harga, dan kerugian-kerugian yang dikhawatirkan merusak ekosistem perbukuan nasional. Padahal, konsumen buku kadang masih belum paham apakah buku-buku dalam format pdf yang dengan mudah diunduh (download) dari berbagai laman (website) dan kemudian dibagikan via grup-grup media sosial, juga merupakan bagian dari pembajakan? Beberapa konsumen buku perlu solusi pula bila tak mendapati buku-buku masterpiece yang sudah tak diterbitkan ulang atau sulit ditemukan versi orisinalnya di toko-toko buku. Sementara, konsumen buku di luar Jawa mengeluhkan besarnya ongkos kirim bila mengupayakan pembelian buku-buku orisinal via toko buku daring (online) atau order melalui berbagai lokapasar (market place).

“Perang” terhadap praktik pembajakan perlu terus dilakukan, diantaranya mengakses buku-buku di perpustakaan, dengan harapan proses pembaruan koleksi buku terus dilakukan. Selain itu, pembaca dapat pula mengakses aplikasi penyedia buku elektronik legal seperti i-Pusnas, saling bertukar pinjam, memanfaatkan momen flash sale/diskon/obral dari berbagai penerbit, atau alternatif akhir membeli buku-buku bekas atau sekenan.

Sikap kibas terhadap pembelian buku bajakan bisa mengakar kuat dan membentuk tabiat. Bukan tidak mungkin, akhirnya kebebalan tersebut menulari orang-orang sekitar. Oleh karenanya, upaya membentuk mentalitas anti buku bajakan perlu terus diupayakan. Legitimasi mengonsumsi buku hasil “rampokan” atau “curian” dengan dasar “maunya menang sendiri” mesti diluruhkan. Masih ada banyak solusi tanpa harus menzalimi orang lain. Cobalah bijak dengan tidak menjadi konsumen buku yang dibajak! Mari dukung perjuangan literasi dengan tidak menjadi penjajah di negeri sendiri.

*Telah dipublikasikan di Harian Tribun Jateng, 15 Januari 2020
https://jateng.tribunnews.com/2020/01/15/opini-santi-pratiwi-t-utami-menjaga-ekosistem-perbukuan

Senin, 13 Januari 2020

KAMBING DAN HUJAN

Novel Kambing dan Hujan - Doc. Pribadi


Rampung juga akhirnya! Buku ini salah satu korban tsundoku, haha. Aku lupa kapan beli, yang jelas sudah hitungan tahun nangkring di rak buku. Seingatku, penasaran menjadi alasan membeli novel ini pasca dinobatkan sebagai Pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014. Pemenang tahun-tahun berikutnya terus kuikuti, hingga terakhir aku menunggu ‘Aib dan Nasib’, karya mas bro Minanto, yang menjadi juara tahun ini.

Dari prolog, aku sempat menebak akan mendapati novel percintaan dengan bumbu yang mendayu. Namun, gambaran kehidupan kampung Centong mulai seru dengan kehadiran persaingan paham dua kubu: masjid utara-Muhammadiyah dan masjid selatan-Nahdlatul Ulama (NU), wadidaww! Tak pelak, silang sengkarut berbagai perbedaan tradisi keagamaan kedua paham seagama itu menjadi warna cerita sepanjang 373 halaman.

Kambing dan Hujan adalah representasi hal yang mustahil. Ya, layaknya kisah asmara Mif dan Fauzia. Mif adalah anak pak Iskandar, ulama masjid utara. Fauzia adalah anak pak Fauzan, tokoh masjid selatan. Sementara kedua orangtua itu dulunya teman karib sejak SR yang “cerai” karena ngotot menjaga fikih masing-masing. Cerita cinta keduanya terbentur tembok tebal yang dibangun bapak-bapak mereka. Duh!

Tangkapan cerita novel ini seperti sodoran potret berisi fenomena keberagamaan dalam masyarakat kini. Iya, sampai saat ini. Bagaimana bisik-bisik tentang perbedaan jumlah rakaat salat Tarawih, tentang melisankan niat salat, qunut kah saat salat Subuh?, berapa kali azan dalam salat Jumat, salat Idulfitri di lapangan atau masjid, soal penentuan hari raya: dengan ru’yatul hilal atau perhitungan, dsb. Hahh... kehidupan sosial yang menarik!

Dan, sepertinya cinta masih bisa menjadi juru damai. Tokoh Iskandar dan Fauzan mau meluruhkan ego, untuk tidak mengabaikan masa depan anak-anaknya. Happy ending dengan status besan tentu cukup melegakan. Lalu kemana Mif dan Fauzia melabuhkan kecenderungan?

Ehmm… “Subuhnya tak pakai qunut, tak apa kan?” kata Mif. Fauzia tersenyum. “Tapi wiridnya yang panjang ya. Keraskan sedikit bacaannya” ujarnya. Mif mengangguk dan kemudian mengangkat takbir. Fauzia mengikuti setelah mengumamkan “ushalli”. Yaps, hahaha.

Credit point tentu untuk Cak Mahfud. Dalam berbagai postingan ia menegaskan ‘posisinya’ secara pribadi. Namun, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan apik, dalam ‘posisinya’ sebagai penulis, J      

Rabu, 01 Januari 2020

BAHASA, KEKUASAAN, DAN KEKERASAN

Dok Pribadi - Graha Sartika

Tahun baru, energi baru. Humm... menyelesaikan buku ini berasa sedang kuliah Kajian Linguistik beberapa SKS 😅. Ada banyaaaaak kalimat yang mesti kubaca berulang. Why? sepertinya aku tidak cukup cakap mencerna kalau hanya sekali baca. Super payah! 😌

Buku terbitan Univ. Sanata Dharma (USD) Press ini semula merupakan naskah pidato pengukuhan guru besar penulisnya, Prof. Praptomo Baryadi, pada Februari 2012 silam. Pantesan! Berarti benar: kadar keilmiahan buku ini terlalu tinggi bagiku! 😜

Setelah mencoba connect dengan tulisan, beberapa catatan bermunculan. Buku ini menguak spirit Critical Linguistics (CL) dalam membongkar dominasi individu/kelompok yang terepresentasi dalam komunikasi verbal, melalui bahasa.

Dominasi merujuk pada kekuasaan. Dan, kekuasaan yang koersif (paksaan) melahirkan kekerasan. Sejauh ini jenis kekerasan fisik lebih "populer"/dimengerti. Awam cenderung abai pada jenis kekerasan verbal: kekerasan yang menggunakan kata, kalimat, dan unsur bahasa lainnya. Jenisnya bisa melalui fitnah, stigmatisasi, stereotyping, membentak, memaki, mencerca, mengejek, menuduh, menghina, meremehkan, menghardik, mendiskreditkan, mempermalukan, dsb.

Nyatanya, verbal attack berdampak luka PSIKIS bagi penerimanya. Akibatnya? korban cenderung tertekan, takut, frustrasi, marah, kecewa, rendah diri, minder, sakit hati, apatis, bingung, malu, benci, marah, dendam, dsb -apalagi bila sedang dalam suasana psikologis yang tidak stabil. Belum lagi, timbulnya pertengkaran/cekcok yang berimbas pada renggangnya kohesi sosial.

Siapa korbannya? kecenderungan mengarah pada individu/kelompok yang tidak dominan. Contohnya siswa, anak, ART, bawahan, pasien, dsb. Walaupun pada beberapa kasus justru terjadi sebaliknya 😘

Merujuk pada "Nonviolent Communication: A Language of Life"-nya MB Rosenberg perlu kiranya rumusan prinsip-prinsip komunikasi verbal yang HUMANIS alias komunikasi NIR-KEKERASAN.

Peretasan mata rantai kekerasan amat perlu untuk membebaskan korban dominasi. Atau setidaknya, meminimalisasi banality of evil: kekerasan yang dianggap hal biasa, wajar, dan pelakunya tidak merasa salah.

"Kata-kata adalah sesuatu yang berbahaya. Ia kadang bertuah dan memiliki kekuatan untuk melakukan kekerasan yang mengakibatkan luka/derita - 
(Bateson @Step to an Ecology of Mind, 1972)

JALAN RUHANI SEORANG IBU

Sumber: Dokumentasi Pribadi Selesai sekali baca. Buatku, isi buku ini bukan pemahaman baru. Namun, justru berperan amat besar sebagai pengin...