Senin, 28 Januari 2019

DIGITAL PARENTING UNTUK GENERASI MILENIAL


Sumber: Dokumentasi Pribadi

Anak zaman old bangun tidur tanya: “mama mana?”
Anak zaman now bangun tidur tanya: “hp mama mana?”

Demikian bunyi status salah satu sejawat di akun media sosial miliknya beberapa hari yang lalu. Status tersebut berisi pernyataan yang memaparkan kenyataan. Betapa generasi milenial kini sudah sedemikian “lengket” dengan perangkat digital, sehingga menjadi barang yang kali pertama dicari.  

Dalam keseharian kini, kita mudah mendapati anak-anak bermain gawai (gadget) dengan leluasa. Bahkan, aktivitas tersebut dilakukan oleh anak usia di bawah lima tahun (balita) dan saat berada di dekat orang tuanya. Nyaris pada setiap kesempatan yang ada, saat menunggu pesanan makanan datang misalnya. Bukan lagi pemandangan langka ketika kita mendapati dalam satu meja, anak-anak dan orang tua sibuk dengan telepon pintar masing-masing. Anak begitu familier dengan berbagai fitur yang ditawarkan, bebas berselancar, betah menunduk menatap layar dan diam. Mereka seolah punya “dunia lain” yang lebih mengasyikkan.

Pun sama, kini kecenderungan orang tua dilanda sindrom phubbing atau phone snubbing, situasi dimana mereka lebih asyik dan sibuk dengan gawai. Bila sampai pada taraf akut, tentu phubbing akan sangat membahayakan kehidupan sosial dan hubungan internal keluarga. Dalam kehidupan sosial, sindrom ini merekatkan kehidupan sosial dengan kehidupan pribadi, campur baur dan bebas dikonsumsi publik. Adapun dampak dalam hubungan internal keluarga ialah makin minimnya interaksi tatap muka antara anak dan orang tua, sehingga hilang rasa menghargai dan memiliki.  

Pengasuhan Digital (Digital Parenting)
Perkembangan teknologi digital yang pesat dewasa ini adalah sebuah keniscayaan. Era digital tidak bisa dihindari, harus dihadapi. Pada era ini, orang tua tidak bisa serta merta mengadopsi cara atau pola orang tuanya dulu dalam mengasuh atau mendidik anak. Pun tidak tepat pula bila membanding-bandingkan anak-anaknya kini dengan masa kanak-kanaknya dulu. Gencarnya penggunaan perangkat digital di lingkungan sekitar anak juga turut berpengaruh besar. Anak akan makin sulit diisolasi, apalagi hanya sekadar secara lisan dilarang menggunakan gawai.

Anak-anak yang lahir pada era digital ini merupakan digital native. Gaya hidup mereka berbeda. Menurut Arifin (2010), digital native lebih menyukai penyajian informasi yang user friendly, yang menarik (dengan gambar gerak dan suara), dan eksplorasi seluas-luasnya (bahkan tidak urut). Diantara banyaknya efek positif perkembangan teknologi, orang tua lah yang paling bertanggung jawab terhadap efek negatif mungkin yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu pemahaman dan penguasaan literasi digital yang kuat.

Pengasuhan digital (digital parenting) memuat aturan bagi anak dalam berinteraksi dengan perangkat digital. Aturan tersebut berupa pembatasan yang jelas tentang hal-hal yang boleh maupun yang tidak boleh dilakukan saat menggunakan gawai. Beberapa prinsip dalam pola pengasuhan digital yang perlu diterapkan ialah pertama, pemberian izin penggunaan gawai disesuaikan dengan tingkat kematangan anak. Usia anak tidak selalu linier dengan kematangan emosional dan sosialnya. Orang tua lah yang harus jeli dalam menilai dan memutuskan. Hal ini vital karena akan sangat berpengaruh pada tanggung jawab saat penggunaan.

Kedua, kesepakatan waktu penggunaan. Kesepakatan tegas perlu dilakukan menyangkut alokasi waktu, komitmen anak, dan sanksi bila melanggar. Mengenai alokasi waktu, biasanya orang tua menjanjikan izin bermain gawai saat akhir pekan atau libur. Hal tersebut cukup riskan pula, anak akan defisit fokus pada hari-hari jelang akhir pekan karena secara psikis menunggu-nunggu kesempatan tersebut. Kondisi ini membutuhkan komunikasi yang intens dan efektif serta trik-trik kreatif untuk tetap berpegang pada kesepakatan awal.
 
Ketiga, terus melakukan pendampingan secara aktif. Pendampingan yang diharapkan sampai pada detail konten-konten yang bisa dan boleh diakses. Video viral beberapa waktu lalu, yang merekam seorang anak tengah membuka konten dewasa saat duduk di samping ibunya merupakan contoh nyata bahwa pendampingan bukan sekadar soal jarak pantau orang tua. Diskusi dan umpan balik setelah bermain gawai bisa dijadikan sarana penelusuran dan evaluasi. Bila diperlukan pemberian masukan (nasehat), orang tua perlu melakukannya di waktu yang tepat, dengan bahasa yang tidak menekan, dan memberi kesempatan anak untuk berpendapat.

Keempat, memastikan anak berada pada lingkungan yang mendukung implementasi literasi digital. Lingkungan keluarga menjadi yang pertama dan utama. Orang tua harus sadar diri, bahkan menjadi pionir dan penegak pengasuhan digital. Beberapa yang perlu dilakukan antara lain mengenalkan adab bermedia sosial, memastikan tidak ada konten pornografi di dalam gawainya, berada dalam friend list akun media sosial anaknya, tidak meng-install games yang tidak edukatif, memfasilitasi aktivitas lain misalnya olahraga, bermain di luar ruang, atau membaca, dan stop phubbing saat berkumpul dengan anggota keluarga.

Upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak terus disuarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa). Hari Anak Nasional tahun 2018 ini mengangkat tema Anak Indonesia GENIUS (gesit, empati, berani, unggul, dan sehat). Sejumlah 83,5 juta jiwa anak atau 32,24% dari total penduduk Indonesia berhak hidup, tumbuh dan berkembang, serta berpartisipasi dalam situasi yang layak dan kondusif. Oleh karena itu, jangan sampai ada kerusakan moral dan mental anak yang justru dimulai atau berasal dari rumah (keluarga).

Selamat Hari Anak Nasional, mari berupaya menjadi orang tua bijak yang terus memperbaiki cara berinteraksi. Terus belajar memantaskan diri menjadi teladan bagi anak sehingga mereka tidak mencari panutan di luar rumah. Dan, terus bertugas mengawal keseimbangan pola pikir anak antara di dalam dunia digital (maya) dan dunia nyata.

*tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Suara Merdeka, 24 Agustus 2018

9 komentar:

  1. Sehari tanpa gadget aku belum bisa, ada telfon dari ortu, wa ma suamiku, belum soal kerjaan email dan wa juga heuheu..

    BalasHapus
  2. Hihihi.. Miris jg ya kalau anak bangun tidur yg pertama dicari adalah hp. Iya sih, jelas butuh pendampingan dan kualitas interaksi yg lbh baik ya

    BalasHapus
  3. setuju mbak, anak jaman sekarang nggak bisa nggak bersentuhan dengan gadget. tapi kalo udah ketagihan juga nggak baik. memang butuh peran ortu buat membatasi ataupun memberi pengarahan agar anak bisa menggunakan gadgeg dan bisa merasakan manfaat gadget

    BalasHapus
  4. Setuju mba.. model edukasi bagi anak2 masa kini memang harus lebih kreatif dan inovatif ya..

    BalasHapus
  5. Setuju banget, harus mengecek anak saat main game online dan internet jangan sampai kecanduan

    BalasHapus
  6. Anak zaman now sobatnya ya gawai ya

    BalasHapus
  7. Barokallah ulasannya mendetail, sampai sudah dimuat oleh Suara Merdeka
    makasih sudah berbagi ilmu Mba Shan

    BalasHapus
  8. Jaman digital, orang tua harus care dengan menjadi teman ngobrol anak-anak. Orang tua harus lebih melek teknologi agar bisa memantau pergaulan anak-anak di dunia maya

    BalasHapus
  9. Tidak selamanya penggunaan gadget membawa pengaruh buruk ya, Mbak. Nyatanya, anakku justru mendapat kosa kata baru lewat nonton youtube. Aku sendiri malah terbengong2 saat mendapatinya menggunakan kosa kata baru. Hihihi.

    BalasHapus

KULIAH PAKAR ADOBSI